Konten dari Pengguna

Kualat Gunung Merapi: Firasat (BAB 2)

Didit Galaraka
KKN Desa Penari memang salah satu cerita horor yang menyeramkan. Tapi, cerita lain dari podcast horor demit tidak kalah seram. Simak cerita-cerita horor mencekam lain di collection ini dan jangan lupa subscribe untuk dapat notifikasi story terbaru.
17 Desember 2020 9:29 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kualat Gunung Merapi: Firasat (BAB 2)
zoom-in-whitePerbesar
Kualat Gunung Merapi: Firasat (BAB 2)
ADVERTISEMENT
Kualat Gunung Merapi: Firasat
Terpaksa kami berjalan kaki sejauh tiga kilometer, hitung-hitung sebagai pemanasan sebelum muncak. Kalian tahu sendiri, betapa menyedihkannya uang saku seorang pengangguran. Uang kita pas-pasan. Bisa makan satu porsi nasi kucing di angkringan pun kami sudah bahagia luar biasa.
ADVERTISEMENT
Tidak tahu kalau Ega, dia yang beberapa kali menunjukkan sikap yang tak elok, apa dia bisa mengerti, apa yang aku dan teman-teman rasakan? Atau malah, dia hanya anak egois, yang tak mau tahu perasaan orang? Entahlah, hanya Mulki yang mengenal betul karakter anak itu.
Lantas mengapa kami tetap melanjutkan perjalanan untuk mendaki? Di situlah seninya. Kami: Aku, Yoyo, Gundil, Ibang, Mulki, dan Kucay sudah sepakat ingin merasakan sedikit kepedihan hidup dari kegiatan-kegiatan pendakian yang kita lakukan. Supaya di masa depan, kita bukan termasuk orang-orang yang cengeng. Kalau kata Gundil, hal ini sering ia sebut dengan, “Filosofi Kuli Bangunan”.
Surya dari ufuk timur sudah bersiap akan menjalankan tugasnya. Udara panas khas Kota Jogja perlahan mulai menggerayangi kulitku. Peluh tak terasa mulai bermunculan dari tempat peristirahatannya. Kami berjalan membuat barisan.
ADVERTISEMENT
Gundil berada paling depan, karena menurutku, dialah yang paling tahu jalanan kota. Diikuti Yoyo, Kucay, dan Mulki yang memilih berjalan bergandengan dengan kekasihnya. Sial, terus saja mereka pertontonkan kemesraan, Aku yang jomblo bisa apa?
Di belakang sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta itu ada Si Anak Bengal yang dari semenjak turun dari kereta, tak henti-hentinya ia menghisap rokok, sampai oksigen yang kuhisap bercampur dengan asap yang ditimbulkan darinya. Di belakangnya diikuti oleh Ibang dan aku yang berjalan berdampingan.
Sampailah kita di ujung Gang yang memotong Jalan Tukangan menuju Jalan Abu Bakar Ali. Plang bertuliskan “Jl. Hansip Karnowaluyo” terpampang menyambut kedatangan kami di ujung Gang. Jembatan rel kereta api menghiasi pandanganku. Mengingatkanku dengan jembatan rel kereta api yang ada di dekat Stasiun Bandung. Gundil mengambil arah kiri, berjalan mengitari sebuah sungai.
ADVERTISEMENT
**
“Masih lama gak, Bang?” terdengar jelas teriakan Ega yang tepat berada di depanku. Gundil hanya memberi acungan tangan, lalu telunjuknya ia arahkan ke depan, tanpa menoleh ke arah Ega, memberi isyarat kalau mungkin, sebentar lagi kami sampai di Malioboro.
Perlahan tapi pasti, kami terus berjalan menyusuri jalan yang banyak sekali persimpangan. Aku tak yakin akan hafal dengan satu kali kunjungan jika melihat banyaknya persimpangan seperti ini. Di Bandung pun, sampai saat ini aku masih sering salah mengira jalan jika bertemu dengan persimpangan. Itu mungkin sebagian kecil dari resiko kota besar.
Kami menyebrang untuk berjalan di samping kanan jalan, melewati sebuah bangunan yang dihiasi dengan banyak tangga dan motor-motor terparkir di dalamnya. Wow, ini parkiran? Kereeen.
ADVERTISEMENT
Aku sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa penampakan Malioboro yang melegenda itu. Tak afdol rasanya kalau kita ke Yogyakarta, kita tidak mampir ke Malioboro. Itu kata teman-temanku yang sudah pernah melancong ke Jogja. Kulihat, Gundil sedikit berlari, meminta semua berkumpul di dekat sebuah pos polisi yang ada di sebelah kanan jalan.
“Sini, sini!” dari jauh Gundil memanggilku agar mempercepat langkah menghampirinya.
“Lihat tuh!”
Aku memutar pandanganku menuruti arah yang ditunjuk Gundil. Tertulis di plang berwarna hijau “Jl. Malioboro”, dengan aksara jawa di bawahnya.
“Oh ini, Jalan Malioboro itu Dil?”
Dengan nafas yang sedikit terengah, Gundil hanya menganggukkan kepalanya. Aku takjub dengan apa yang sering aku lihat gambarnya di internet, kini terhampar jelas di depan mata, mungkin aku akan betah berlama-lama berada disini. Mulki dan Desti berinisiatif sendiri menghampiri plang legendaris itu.
ADVERTISEMENT
Mereka saling potret satu sama lain. Lagi-lagi mereka mempertontonkan kemesraan. Ah bodo amat, pikirku. Aku lebih baik duduk sejenak sambil melihat-lihat pemandangan klasik di sekitaran sana.
“Dip, Dipta, sini!” teriak Mulki.
“Apa?”
“Fotoin!!” pintanya.
Mampus, emang sengaja dia. Dengan terpaksa dan berat hati, aku menghampiri kedua sejoli itu, memotret kemesraan mereka.
**
Aku kembali ke pos polisi, duduk di samping Gundil.
“Mau kemana lagi kita, Dip?” tanya Yoyo.
“Gak tahu Yo, gelap Jogja mah. hahaha”
“Dil, bagusnya kemana?” tanyaku balik kepada Gundil.
Kepalanya menengadah, memandang langit, sepertinya berharap turun jawaban dari sana. Mulutnya berbisik sendiri, seakan membacakan mantra memancing turun jawaban yang tepat.
“Candi Borobudur aja gimana?” Cetusnya.
ADVERTISEMENT
“Kejauhan, Cuk!” Kucay menjawab.
“Gue pernah, waktu sekolah kesana, dari sini jauh banget, Gila!” Lanjutnya seraya menatapku.
“Yaudah, Prambanan aja gimana?” Usul Gundil menyodorkan pilihan lain.
“Nah itu boleh deh, tapi naik apaan darisini? Masa iya jalan kaki lagi?” tanya Kucay.
“Kita naik Bus aja. Murah kok.” Jawab Gundil.
Yoyo lalu memanggil Mulki dan Desti yang tengah asyik berbincang mesra di dekat plang Malioboro. Mereka pun menghampiri kami sambil tetap bergandengan tangan. Syukur, setelah diumumkan destinasi selanjutnya akan berkunjung ke Candi Prambanan, semuanya sepakat, termasuk Ega. Lalu, kami semua memutuskan untuk langsung bergerak menuju halte Malioboro.
“Naik Bus apa kita, Dil?” Tanyaku.
Gundil celingak-celinguk mencari kendaraan yang ia maksud.
“Nah itu tuh.” Gundil menunjuk sebuah kendaraan seperti Bus. Hanya bentuknya lebih kecil dan imut. Bus itu berjalan semakin pelan, sampai akhirnya berhenti tepat di halte yang kita singgahi.
ADVERTISEMENT
TRANS JOGJA, Wiih keren juga Jogja punya ginian. Kalau di Bandung, mungkin ini sekelas DAMRI—Bus dalam kota. Satu persatu dari kami pun menaiki Bus Trans Jogja itu. Di awali dari Kucay hingga seterusnya. Sampai giliran Yoyo dan aku menaiki Bus itu.
Ada yang aneh ketika Yoyo melangkahkan kaki ke dalam Bus. Dia mendadak mengembalikan langkahnya kembali ke dalam halte, sehingga membuatku sedikit terkejut, dan hampir menabrak tubuhnya.
“Kenapa, Yo? Ayo naik!” Kataku.
“Lu duluan deh!” Pintanya.
Aku pun menyalipnya. Dia berhenti sejenak di dalam halte, sambil sesekali memainkan matanya ke bawah seraya menggelengkan kepala.
“Kenapa sih Lu, Ayo naik!” Aku menyembul dari pintu Bus untuk menarik Yoyo ke dalam. Kami semua duduk di kursi yang sudah disediakan, meletakkan cerrier tepat di depan kaki kami. Di dalam kendaraan yang bagiku super nyaman itu, aku melihat raut muka Yoyo yang melukiskan kegelisahan.
ADVERTISEMENT
“Cuy, ngomong kenapa sih? Gelagat Lu aneh dari tadi Gue perhatiin” Paksaku yang sedikit kesal, karena aku tahu, Yoyo tidak akan seperti itu, kalau tidak ada apa-apa.
“Gak apa-apa, Dip. Kita banyak-banyak doa aja deh! Semoga kita semua baik-baik aja.” Katanya.
Aku tidak menimpalinya lagi, karena perhatianku teralihkan oleh obrolan Gundil sepanjang perjalanan. Dia juga selalu memberitahuku suatu tempat yang menurutnya menarik: seperti menunjukkanku jalan ke Bandara Adi Sucipto. Tak hanya itu, dia pun bercerita banyak tentang Prambanan. Hari itu, dialah Tour Guide-nya.
Sekitar setengah jam yang kami butuhkan untuk menunggu di dalam Bus, sebelum akhirnya kami turun di sebuah persimpangan yang Gundil bilang, “Jalan ke kiri ini, jalan ke pintu masuk Prambanan”. Cerrier kami gendong kembali, kemudian berarak menuju pintu masuk Candi.
ADVERTISEMENT
Tak pernah aku melihat Ega tidak menghisap rokok, kecuali saat kami berada di dalam kereta api, semalam. Kuat banget ngisepnya. Aku yang perokok pun tidak seberat itu, mungkin sudah beberapa bungkus ia habiskan sejak tadi. Aku akui untuk urusan menghisap rokok, aku mengacungkan empat jempol kepadanya.
**
Matahari semakin meninggi. Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita tua dengan bakul di punggungnya, menatap kasihan ke arah rombongan kami. Yoyo tiba-tiba menghampiri wanita itu dengan berlari. Dia mencium tangannya. Siapa wanita itu? Yoyo seperti mengenalinya.
Aku yang dihinggapi rasa penasaran menghampiri mereka berdua di pinggir jalan. Gundil pun yang melihat kejadian itu ikut menghampiri wanita itu. Otomatis, teman-temanku yang lain mengikutinya. Kami mengerumuni wanita tua itu.
ADVERTISEMENT
“Lu kenal nenek ini, Yo?” Tanya Gundil.
Yoyo tidak menjawab pertanyaannya. Dia hanya diam terus memandangi wanita itu.
“Lu mau jajan apa Yo?” Tanyaku. Namun Yoyo tetap tak menjawab.
Wanita itu melihat ke arah wajah kami satu persatu dengan seksama. Bukannya menawarkan jajanan, wanita itu malah bertanya, “Sampèan ajeng tèng pundhi?”
Aku yang sama sekali tidak mengerti bahasa jawa, menanyakan artinya kepada Gundil, “Dil, naon cenah, Dil?”
“Katanya, ‘Kalian ini mau kemana?’.” Jelas Gundil.
“Ohh, Kami mau ke Candi, Nek, abis ini kita mau mendaki Gunung Merapi.” Terangku.
“Terus, tèng dhalem tas niku nopo? Kok wonten bau sèng mboten sekeco.” Ucap wanita itu dengan mengenduskan hidungnya. Kulihat, wajah Yoyo berubah keheranan.
ADVERTISEMENT
“Dil?” aku tetap mengandalkan Gundil untuk menerjemahkan kata-kata yang tak kumengerti.
“Nenek ini nanya, ‘katanya kita ini bawa apa, soalnya dia mencium bau yang busuk banget’”.
Aku seketika merasa resah, karena hidungku tidak mencium bau busuk apapun. Sial, “Ada yang bawa barang aneh gak, hey ?” Aku melontarkan pandanganku, menanyakannya kepada rombonganku. Aneh memang, mengapa aku tidak dapat menciumnya?
Kemudian, aku memerintahkan semuanya—termasuk aku sendiri untuk memeriksa isi dalam cerrier, takutnya, ada bekal makanan yang sudah membusuk. Aku dan Yoyo pun menyempatkan diri untuk memeriksa isi tas yang lain. Hasilnya, tidak ada apapun yang berbau busuk.
Wanita itu lalu pamit sambil berkata dalam bahasa jawa, “Atos-atos!, Seumpami bau niku tasèh ènten, mboten sah ngarep sampèan- sampèan saget selamat, mesti mangkè ènten sèng dadi korban.”
ADVERTISEMENT
“Celaka kita, Dip.” Gundil panik.
“Apa katanya, Dil?”
“Nenek itu bilang, ‘kalau bau busuk itu masih ada, jangan harap kita semua bisa selamat, pasti ada di antara kita yang harus jadi korban’.” Jelasnya.
Hah? Apa maksud nenek itu? Kenapa kita tidak dapat mencium bau yang dia maksud?.
“Aahh, Bukan di tas kali, mungkin maksudnya bau badan kita, kita kan belum mandi.” Perkataan Ibang menurunkan tensi keresahanku. Memang, badan kami sudah tercium sedikit bau.
“Ohh, yaudah nanti kita mandi aja di rumah sodara gue, nanti gue minta dia untuk jemput kita.” Gundil menyarankan ide yang bagus.
“Bangsat, bikin kaget aja nenek tua itu, ngomong aja belibet. Kalo cowok, udah gue hajar itu orang.” Ega menggerutu.
ADVERTISEMENT
“Jaga omongan Lu, Ga!!” seru Mulki.
Kami lantas merapikan kembali isi cerrier yang sudah kami acak-acak itu. Menaruhnya kembali di punggung, lalu melanjutkan langkah kaki menuju pintu masuk Candi Prambanan. Kami terus masuk ke dalam menuju loket untuk melakukan administrasi.
Setelah menyelesaikan administrasi, kami semua berkeliling untuk melihat salah satu peninggalan di Indonesia yang paling bersejarah itu.
“Loh, Mulki sama Desti kemana Yo?” Aku menanyakan keberadaan Mulki yang mendadak hilang.
“Ke kamar mandi dulu, katanya.” Jawab Yoyo.
Kami pun melanjutkan melihat-lihat keindahan Candi Prambanan. Udara yang masih sejuk, berseliweran di antara celah-celah tubuhku. Keren banget. Aku merasa takjub dengan apa yang aku lihat ini. Peradaban jaman dahulu dapat membangun Candi se-keren ini? itu luar biasa.
ADVERTISEMENT
***
“Dip, Dip, Desti sama kalian gak?” Mulki menepuk bahuku dari belakang. Dia terlihat panik.
“Lah?, bukannya tadi bareng sama Lu ke kamar mandi kan?”
“Iya, tapi, pas gue keluar dari toilet, di luar dia udah gak ada, gue cari-cari juga gak ada.”
Aku berusaha untuk menenangkannya. Lagi-lagi Ibang menghibur dengan mengatakan, “Dia lagi lihat-lihat ke tempat lain mungkin, Ki.”
Mulki tetap tidak bisa tenang. Dia terus memanggil-manggil nama Desti, sampai hampir meneteskan air mata.
“Aduuhh, Kalo hilang beneran, gue mau bilang apa ke bapaknya?”
“Udah Ki, mending sekarang kita berpencar aja nyari Desti.” Saranku langsung disetujui oleh Mulki.
Semua berpencar. Apapun yang terjadi, kita harus menemukan Desti. Dan setiap satu jam, kita wajib berkumpul di dekat patung tulisan “Prambanan”, untuk mengabarkan info terakhir pencarian Desti.
ADVERTISEMENT
Aku memilih untuk melakukan pencarian ke area kamar mandi. Karena aku yakin, Desti masih tidak jauh berada disana. Aku mencari ke setiap sudut, dan hampir berulang kali aku memeriksa sudut yang sama, akan tetapi, hasilnya masih nihil.
Satu jam sudah aku berkutat di area itu. Ini waktunya untuk berkumpul di titik yang sudah aku tentukan sebelumnya. Siapa tahu, di antara teman-temanku sudah ada yang menemukan Desti. Aku berharap, insting seorang Ibang yang kuat dapat mendinginkan suasana. Aku bergegas menuju titik kumpul, namun dari kejauhan, kulihat wajah teman-temanku itu masih tampak lesu.
“Gimana udah ketemu?” Tanyaku memastikan, tapi semuanya kompak menggelengkan kepala.
“Kita cari lagi! Keburu siang ini. Desti harus ketemu.” Pintaku.
ADVERTISEMENT
Sekarang, aku berencana untuk mencari Desti ke area utama Candi Prambanan. Instingku yang lebih kuat, memintaku untuk mencarinya disana. Entah kenapa, kali ini aku merasa yakin akan menemukan Desti disana.
Aku mempercepat langkahku masuk ke area Candi. Kunaiki tangga menuju area itu dengan secepat kilat. Tanpa ragu, aku langsung melesat menuju Candi Siwa. Aku tidak mau terlalu lama berada disini, karena aku ingin menghemat tenagaku untuk pendakian Merapi. Kunaiki kembali tangga yang menjadi akses ke ruangan utama candi.
Semakin atas aku menaiki tangga, “Woy, Dip, Lu nyari kesini juga?” Ibang mengagetkanku. Ternyata, insting kuat Ibang pun menuntunnya ke tempat yang sama. Semakin atas kita menaiki tangga, samar aku melihat sepasang kaki yang dibalut celana jeans dan sepatu yang tak asing bagiku. Tepat di samping kaki itu juga terdapat sebuah cerrier yang tak asing.
ADVERTISEMENT
“Itu, Desti.” Ucap Ibang.
Aku mencoba untuk memanggil namanya. Namun, Desti tetap diam tak menoleh sedikitpun. Aku lihat, pandangannya terus menatap wajah Patung Siwa di ruangan yang lembab itu.
Aku dan Ibang mencoba untuk mendekatinya. Aku sedikit terheran karena tatapan Desti ternyata kosong. Dia hanya berdiri mematung, seperti tersihir oleh sesuatu yang membuatnya takjub. Kucoba untuk menggoyahkan tubuhnya, namun tak ada respon sama sekali.
“Bang, Bang, bawa cerriernya, Bang!”
Aku buru-buru menggotong paksa tubuh Desti. Ada yang tidak beres, kenapa Desti bisa seperti ini?. benakku dihujani pertanyaan. Pandangannya masih kosong, meski Desti sudah ada dalam pangkuanku. Matanya seketika tertutup, tubuhnya seketika bertambah berat ketika kakiku sepenuhnya menyentuh lantai dasar area utama Candi.
ADVERTISEMENT
Aku berusaha untuk tetap tenang karena takut ada apa-apa dengan Desti. Segera aku menghampiri titik kumpul untuk kemudian kutidurkan kepala Desti di atas pahaku. Yang lain belum menunjukkan batang hidungnya. Setengah jam sudah aku dan Ibang menunggu temanku yang lain dengan keadaan Desti yang masih pingsan.
***
Dari kejauhan, teman-temanku itu berlarian menghampiriku. Jelas Mulki sangat panik melihat kekasihnya tergeletak lemas.
“Dia kenapa, Dip?” Tanya Mulki.
“Gak tau, gue sama Ibang tadi nemuin dia di dalem ruangan Candi Siwa. Tatapannya kosong.”
“Yo, minta kayu putih, Yo!” Pintaku kepada Yoyo. Semua peralatan P3K ada di dalam cerriernya. Tanpa pikir panjang, Yoyo langsung segera melepas cerriernya dan menyodorkanku sebotol kayu putih.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, sebuah tangan langsung menyabet botol kayu putih yang disodorkan Yoyo kepadaku. Sepertinya, Mulki ingin mengambil alih menciumkan kayu putih itu ke hidung kekasihnya, agar Desti cepat tersadar. Syukurnya, tak butuh waktu lama bagi Desti untuk siuman. Matanya terbuka sedikit demi sedikit dan menoleh kesana-sini seperti keheranan. Ia seketika bangkit dan bilang, “Orang-orang tadi mana?”
“Orang-orang apa?” Mulki langsung menyerobot.
“Orang-orang kerajaan. Mereka pake baju kerajaan sambil bawa sesaji.” Jawab Desti.
“Udah, udah, kita keluar aja yuk!” Seru Yoyo.
“Katanya sodara Lu udah di jalan mau jemput kita, Dil?” lanjutnya bertanya kepada Gundil.
“Iya, Gue telpon dulu ya, siapa tau udah deket.” Jawab Gundil.
Aku masih kebingungan. Apa yang sebenarnya dilihat Desti? Apa mungkin, dia berhalusinasi?. Ribuan tanya semakin menghujani isi kepalaku.
ADVERTISEMENT
“Udah deket katanya, Ayo kita keluar!” Ucap Gundil.
Kami semua bergegas pergi keluar area Candi menuju pintu masuk. Menurut Gundil, saudaranya yang bernama Mas Irwan akan menjemput di depan pintu masuk. Desti dibopong oleh Mulki, sedangkan cerriernya dibawa oleh Ibang, Sang Pendekar dari daerah Dago. Tidak ada kata yang terucap dari kami semua, ketika berjalan menuju pintu masuk. Mungkin kami masih sedikit syok dengan pengakuan Desti. Karena selama kami—para lelaki berada disana, kami tidak melihat satu orang pun yang mengenakan baju kerajaan.
**
“Tuh, mobilnya.” Gundil menunjuk sebuah mobil Avanza berwarna hitam.
Kami semua langsung bergegas masuk ke dalam mobil. Mobil yang berkapasitas sekitar tujuh orang itu kami jejali, meskipun harus saling berbagi celah dengan cerrier. Kami dibawa oleh Mas Irwan meninggalkan Candi Prambanan menuju rumahnya di kota Solo.
ADVERTISEMENT
“Itu temenmu yang cewek kenapa, Gun?” tanya Mas Irwan kepada Gugun Dirgantara alias Gundil.
“Habis pingsan Mas, katanya tadi dia lihat banyak orang pake baju kerajaan di Candi Prambanan.” Jelas Gundil.
Sebenarnya, aku masih penasaran kepada sosok wanita tua yang dihampiri oleh Yoyo, seperti seorang yang sudah ia kenal.
“Yo, wanita tua tadi itu siapa sih, kayaknya Lu kenal?”
“Itu Mbok Irah, beberapa kali gue pernah ketemu kalo pas muncak ke Merapi.” Jawabnya. Pantas saja, ternyata Yoyo pernah bertemu dengan wanita itu.
“Itu orang gila ya, Bang?” tiba-tiba Ega menyela.
“Hèh, kampret, sikap sama mulut Lu bisa dijaga gak sih?” Ibang mulai meradang.
“Lu, gue diemin, karena gue masih ngehargain si Dipta sama si Yoyo disini. Kalo gak ada mereka, rahang Lu udah ketinggalan di stasiun Lempuyangan tadi.” Kepalan kelerengnya itu Ibang arahkan ke hadapan Ega.
ADVERTISEMENT
“Slow Bang, gue kan Cuma nanya.” Ucap Ega dengan nada sedikit ngegas.
“Ehh, udah Bang, udah ah! Tahan emosi Lu!” Pintaku, bahaya kalau Ibang sudah melayangkan pukulannya.
“Dia Cuma penjual jajanan biasa.” Jawab Yoyo dengan santai, tanpa menoleh ke arah Ega.
Hawa panas di dalam mobil perlahan diredakan oleh AC. Jalanan menuju tempat tinggal Mas Irwan terbilang lancar jaya. Enak nih kalo di Bandung kaya begini. Aku sangat menikmati perjalanan. Namun tidak dengan Yoyo. Mukanya pucat dan tatapan matanya yang hampir kosong.
“Keresek, ada keresek gak?” sepertinya Yoyo ingin muntah. Aku segera mengambil keresek yang sengaja ku simpan di saku samping cerrierku. Benar saja, Yoyo mengeluarkan si perutnya lewat mulut. Karena kebetulan dia belum makan, jadi yang keluar hanyalah cairan putih yang encer.
ADVERTISEMENT
“Berhenti dulu mas, maaf!” Ucap Yoyo.
Mas Irwan mengiakan permintaan Yoyo, mencari titik yang pas untuk memberhentikan mobilnya. Setelah melihat spot yang pas, Mas Irwan kemudian menyalakan lampu sign kiri seraya memperlambat laju mobilnya. Mobil berhenti di pinggir jalan yang tak jauh dari sebuah selokan. Yoyo langsung bergegas lari keluar mobil dan mengeluarkan isi perutnya. Sebagai sahabat, aku berinisiatif membawakannya minyak angin untuk meredakan rasa mualnya.
“Kok Lu mabok, Yo?” Aku tahu Yoyo bukan orang yang suka mabuk kendaraan.
“Gak apa-apa, ayo lanjut aja!” Ucapnya seraya membersihkan mulutnya yang basah dipenuhi cairan isi perutnya.
Kami melanjutkan perjalanan. Tak berselang lama setelah mobil melaju, Yoyo kembali merasakan mual. Terhitung, sampai lima kali Mas Irwan harus menepikan mobilnya di tepi jalan. Padahal, keadaan jalan waktu itu tidak terlalu ekstrim seperti Jalan Gentong yang ada di Garut.
ADVERTISEMENT
“Udah deket kok, Mas bawa mobilnya pelan-pelan aja ya.” Ucap Mas Irwan.
Semua orang masuk ke dalam mobil. Kecuali aku dan Yoyo yang masih berada di luar.
“Gue ngerasa kayak ada yang nolak perjalanan ini. makanya, dari tadi gue mual-mual terus.” Jelasnya.
Yoyo memang sensitif, dia sangat peka terhadap energi halus yang menghampiri dirinya. Kali ini, aku mencoba untuk menenangkan Yoyo. Karena mungkin saja, itu efek dari kelelahan.
“Mungkin Lu Cuma kecapean, Yo, Ayo kita ke dalem mobil aja. Tanggung katanya udah deket.” Aku dan Yoyo melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil.
Di dalam perjalanan yang katanya “sudah dekat” itu, aku melewati sebuah Universitas ternama di Kota Solo. Dan memang, tak lama dari sana, jalanan semakin menghimpit, sampai akhirnya, mobil berhenti di sebuah rumah yang unik.
ADVERTISEMENT
Rumah itu mempunyai dua lantai dan dua garasi yang berbeda: satu khusus motor dan satunya lagi khusus mobil. Tepat di sebrang rumah itu terdapat lahan kosong yang ditanami banyak pohon pisang.
Satu persatu dari kami menuruni mobil dengan usaha yang lebih ekstra, karena barang bawaan kami yang bukan barang kecil. Desti masih dibopong oleh Mulki, Yoyo pun sesekali masih menghela nafas panjang dengan minyak angin di tangannya. Ada apa dengan perjalanan ini? firasatku mulai sedikit tidak enak. Tapi, itu semua aku kubur dalam-dalam dan memaksakan diriku untuk selalu berpikiran positif.
**
“Ya, kenapa?” Desti menoleh ke belakang.
“Kenapa apanya, sayang?” Tanya Mulki.
“Itu tadi ada yang manggil nama aku, Yang.”
ADVERTISEMENT
Kami semua saling pandang. Karena tidak ada di antara kami bertujuh yang memanggil nama Desti. Apalagi Mas Irwan, dia sudah mendahului kami masuk rumah, dan dia belum mengetahui sama sekali nama kekasih Mulki itu.