Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kualat Gunung Merapi: Pendakian I (BAB 4)
28 Januari 2021 8:42 WIB
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kualat Gunung Merapi: Pendakian I (BAB 4)
“Yo ... Yo, Lu gak apa-apa kan?” Yoyo nampak lesu. Lehernya kehilangan kekuatan untuk menopang kepalanya. Mungkin topi yang ia kenakan terlalu berat? Matanya terus ia tatapkan ke bagian bawah mobil. Mulutnya tak henti komat-kamit bak dukun yang sedang membacakan mantra penyembuh bagi pasiennya yang mengeluh.
ADVERTISEMENT
“Ya, Dip.” Kepala yang semula tertegun tadi menoleh ke arahku. Tak kusangka, sahabatku itu menatapkan matanya yang berkilauan mengeluarkan air mata.
“Kenapa Lu, Yo?” tanyaku membangunkan rasa penasaran teman-temanku yang lain.
“Ya ampun, Bang Yoyo kenapa nangis?” tanya Desti yang duduk di samping kiri Mulki, di kursi tengah, seraya membalikkan badannya ke arah Yoyo yang duduk di paling belakang pojok kanan mobil, bersama aku dan Ibang.
Semua mata temanku tertuju ke satu wajah yang dihiasi kesedihan itu.
“Gak apa-apa, gue cuma gak enak perasaan aja.” Jawabnya sambil berusaha mengguratkan senyuman, namun berat.
“Yaah, kita kan udah dikasih wejangan sama Mbah Wongso, Yo, yang penting kita nanti di pendakian, jaga Desti baik-baik! kita juga gak usah repot-repot mikirin cowok sok pemberani itu kan?” Ibang berusaha meredakan Yoyo.
ADVERTISEMENT
“Ega maksud lu, Bang?” tanya Mulki.
“Iya, siapa lagi ... tangan gue nyicip dikit pipinya aja, dia langsung kabur tuh. Cemen banget, gede bacot doang. Gak dibedong kali itu orang, sama orang tuanya dulu.” Jawab Ibang.
“Kalo kita nanti di Merapi ketemu si Ega gimana?” tanya Mulki mewakili keresahan kami semua.
“Kita kan gak tahu, dia tahu jalan kesana atau nggak, Ki” aku memajukan tubuhku melepaskan punggung ini dari sandarannya.
“Juga ... kita kan gak tahu dia naik jalur pendakian yang mana, mudah-mudahan sih gak ke Selo, sama kaya kita.” Jawabku.
Aku menoleh ke arah Yoyo, merangkulnya dan menepuk-nepuk pundaknya, berharap semua kecemasan dan kesedihannya tersingkirkan. “Tenang, Yo ... bener kata si Ibang, kita jaga bener-bener si Desti.”
ADVERTISEMENT
Aku kembali menoleh ke wajah-wajah yang juga terpahat kecemasan yang sama, lalu berkata, “pendakian ini, akan kita kenang selamanya.”
Suasana mendadak hening, dengan tatapan yang kembali pada tempatnya. Hanya terdengar suara kedap dari kendaraan lain dan dinginnya AC mobil yang selalu mengusap halus leher ini. Perasaan sedih Yoyo mungkin sudah mulai tersingkirkan. Ia menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Matanya terus mengarah ke langit-langit mobil, sebelum akhirnya ia terlelap.
***
Tubuh sebelah kiriku dibuat tak nyaman oleh gerakan Ibang yang tak karuan. Dia seperti mencari sesuatu.
“Lu kenapa sih, Bang? Gak bisa diem.”
“Gue nyari HP, Dip, biar kita happy lah, jangan pada merenung terus, kayak di pemakaman aja.” Ucapnya.
ADVERTISEMENT
“Nah ketemu ... Darso dulu Guys!!” Lanjutnya seraya mengeluarkan HP Blackberry hitam yang ia temukan terjatuh di bawah jok mobil. Ibang lalu menyetelkan lagu dari King of Pop Sunda itu yang berjudul “Kabogoh jauh”.
“Tah ... kitu atuh, Bang.” Kucay semangat menyambut musik yang Ibang nyalakan.
Memang dua orang ini, tak bisa kupungkiri, aku sangat salut dengan mereka. Mereka selalu berusaha menghibur kita di kala situasi sedang kalut. Aku rasa, sebenarnya Ibang dan Kucay pun merasakan kecemasan dan kesedihan yang sama. Tapi entah mengapa, keduanya seperti mempunyai obat penawar bagi diri mereka sendiri, sebelum mereka menularkannya kepada yang lain. Terutama Ibang, selalu saja mempunyai cara yang unik untuk menghibur kita semua—entah itu dengan celetukannya yang khas, atau tindakannya yang selalu bisa mendinginkan suasana. Beruntung aku mempunyai sahabat seperti mereka.
ADVERTISEMENT
“Tiap sms-an, atawa nelepon ...” Ibang dan Kucay terus saja menirukan lirik demi lirik dari lagu legendaris itu. Hingga akhirnya, suasana asyik mereka berdua tertular kepada Gundil yang duduk di depan. Tak berselang lama, suasana asyik itu merasuk kami semua—tak terkecuali dengan Yoyo. Dia jadi terbangun kemudian ikut bernyanyi bersama. Mas Irwan yang sedang duduk manis di pusat kendali mobil, hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil sesekali tersenyum. Aneh lihat kita ya, Mas? Hehe.
Kami berusaha mengubur segala bentuk keresahan yang menghinggapi. Tak ubahnya seperti mengubur kotoran dalam-dalam di sebuah tanah yang gembur. Kami tidak akan membiarkan tujuan awal kami kesini digoyahkan oleh angan-angan panjang. Walaupun sudah ada pertanda yang tidak baik sebagai pendahuluan dari petualangan ini, aku masih tetap yakin. Ada setitik harapan untuk bisa “baik-baik saja”.
ADVERTISEMENT
Terhitung lima lagu sudah Almarhum Abah Darso bernyanyi menemani kami. Gundil yang sedari tadi menikmati setiap ketukan nada yang ada, berubah sedikit cemas ketika melihat speedometer mobil Mas Irwan ini.
“Mas, bensinnya abis tuh.” Seru Gundil kepada kakaknya.
“Ehh, iya, kelupaan. Nanti sambil jalan, kita berhenti dulu di pom bensin.” Ucap Mas Irwan.
“Kita patungan buat belinya ya, Mas?” Tawarku.
“Gak usah, simpen aja duitnya buat bekal kalian!” Mas Irwan menolak tawaranku.
Mobil terus melaju membelah keindahan kota. Sesekali Mas Irwan mencondongkan badannya, hampir merapatkan dadanya dengan setir mobil. Matanya terus awas melihat ke kiri jalan untuk menemukan keberadaan pom bensin.
“Itu, pom bensin, Mas.” tunjuk Gundil ke arah kanan jalan.
ADVERTISEMENT
“Gak ah, cari yang di sebelah kiri aja, biar gak usah susah-susah nyebrang.” Jawabnya.
Selang beberapa menit kemudian, Mas Irwan menyalakan lampu sign kiri. Terpampang jelas dari kejauhan, satu tugu merah yang di atasnya dihiasi bacaan “Pasti Pas!” dengan tokoh kartun yang mengangkat jempol di sampingnya.
Mobil berjalan melambat, mengikuti jarak yang semakin dekat dengan tempat pengisian bahan bakar. Beruntung, kondisi pos bensin ketika itu tidak terlalu ramai. Sehingga, Avanza Hitam milik Mas Irwan ini dapat melepas dahaganya.
Dinginnya AC membuatku tidak tahan ingin buang air kecil. Sudah tidak kuat rasanya, karena jika kutahan sampai Basecamp Selo, aku tak yakin dapat menahan supaya tidak ngompol di celana. Mobil tepat berhenti tepat di stasiun pengisian. Aku terburu-buru ingin keluar dari mobil.
ADVERTISEMENT
“Mas, tunggu ya, saya ke toilet dulu.” Aku meminta izin kepada Mas Irwan setelah menyingkirkan semua temanku yang menghalangiku di dalam mobil.
“Oke, Mas tunggu di pintu keluar.”
Aku bergegas menggunakan langkah seribu untuk cepat sampai di toilet.
**
Ah Lega...
Kurapikan kembali pakaianku setelah kubuang semua hajatku. Kulangkahkan kaki keluar tiolet dan merogoh saku celanaku untuk mengambil uang dua ribu rupiah—membayar jasa tunggu si penunggu toilet. Karena tak ingin membuat kawan-kawanku menunggu lama, kembali kugunakan langkah seribu untuk cepat sampai di mobil. Di tengah aku berlari, seketika ada yang membuat langkahku terhenti.
“Hah, Mbok Irah?” aku melihat Mbok Irah sedang berdiri memandangi mobil Mas Irwan dari sebrang jalan, masih dengan bakul jajanan yang ia simpan di punggungnya. Aku berniat untuk menghampirinya. Akan tetapi, setelah truk besar pembawa pasir lewat, Mbok Irah menghilang.
ADVERTISEMENT
Lho, kemana dia? Jelas tadi kulihat dia ada di sebrang jalan.
Aku melihat ke setiap sudut jalan, keberadaan Mbok Irah tetap tidak terdeteksi. Mungkin sudah masuk gang, Pikirku. Karena aku melihat tepat di belakang Mbok Irah berdiri tadi, terdapat sebuah gang yang hanya bisa dilalui oleh dua orang.
“Dip, ayo!!” teriakan Ibang terdengar olehku. Aku bergegas menghampiri mobil untuk melanjutkan perjalanan.
**
“Tadi gue lihat Mbok Irah di sebrang jalan.” Ucapku yang sedikit ngos-ngosan di depan pintu mobil.
“Alah, udah ayo!” Timpal Ibang.
Aku melihat ke arah Yoyo, dia hanya tersenyum dan memberiku kode untuk segera masuk dan duduk di sampingnya. Mobil pun segera berada pada jalurnya, melanjutkan perjalanannya mengantar kami.
ADVERTISEMENT
“Asli, Yo, gue lihat Mbok Irah tadi.” Ceritaku kepada Yoyo. Aku masih terheran karena jarak dari Prambanan ke tempat tadi, kurasa sangat jauh. Agaknya tidak mungkin bagi seorang wanita yang sudah tidak muda lagi berjalan sejauh itu.
“Mbok Irah emang suka jalan jauh, Dip.” Timpal Yoyo dengan santainya. Ohh, mungkin saja Yoyo benar. Aku tidak kepikiran sama sekali dengan angkutan umum yang ada disana. Bisa saja Mbok Irah menggunakan angkutan umum untuk mejajakan jajanannya ke setiap sudut kota. Atau bisa saja, tadi itu hanya halusinasiku.
Mobil terus melaju dengan pasti. Lagi-lagi, Ibang menghibur kami dengan menyalakan musik dari HP-nya. Dan lagi-lagi lagu Pop Sunda yang ia pilih untuk menggema di seluruh ruangan mobil. Semua pun ikut bernyanyi bersama mengikuti setiap lirik yang ada. Asyik memang, cara Ibang menghibur kami dapat menghilangkan sedikit kecemasan.
ADVERTISEMENT
O ya, aku hampir terlupa dengan perbekalan makanan kami yang sudah sedikit menipis. Kalau saja kami tidak jalan-jalan dulu ke Malioboro, Prambanan lalu mampir ke rumah Mas Irwan, mungkin perbekalanan makanan kami masih tersedia. Tapi, ah sudahlah. Mungkin itu memang jalannya. Dengan malu, aku berkata kepada Mas Irwan, “Mas, maaf perbekalan makanan kita udah mulai menyusut, bisa mampir dulu ke pasar gak?” Mas Irwan dengan kebaikannya memperbolehkan.
“Nanti, gak jauh darisini ada Pasar ... Pasar Cepogo namanya.” Ucap Mas Irwan.
Semua setuju, terutama Desti. Dia sekalian ingin membeli pembalut sebagai persediaan. Karena yang tersisa tinggal beberapa lagi, katanya.
“Hati-hati juga nanti di atas gunung kalo ngebuang pembalutnya, sayang, cuci dulu yang bersih!” Mulki memperhatikan betul tindak-tanduk kekasihnya itu.
ADVERTISEMENT
“Iya, kalo gitu sekalian kita beli air kemasan yang gede, masing-masing bawa satu atau dua!” Seruku kepada yang lain. Selain persediaan untuk kami minum atau memasak, air itu juga diperuntukkan bagi Desti yang hendak membersihkan pembalutnya. Aku harus memperhatikannya pula. Karena jujur, aku khawatir. Jika saja tidak ada air untuk mencuci, maka pembalut itu akan terus berisi darah. Yang dimana, darah itu dapat menjadi aroma wangi yang mengundang para lelembut.
Setelah kulihat menara listrik dari kejauhan kemudian Mas Irwan memutar kemudi mobilnya ke arah kanan, aku disuguhkan dengan pemandangan beberapa kios warung yang berjejeran di sisi jalan. Tanpa aba-aba, Mas Irwan kembali menyalakan lampu sign kiri, lalu memberhentikan mobilnya di tepi jalan.
ADVERTISEMENT
“Mas tunggu disini.” Ucapnya sambil menarik tuas rem tangan.
Meskipun kembali susah payah karena harus berbagi celah dengan cerrier, satu persatu dari kami menuruni mobil. Dan seketika tanpa perintah, semuanya berpencar mencari kebutuhan masing-masing—sebelumnya, kami membuat janji untuk belanja secukupnya dan sesegera mungkin berkumpul kembali di mobil. Aku pun bergegas sendiri melangkah menuju kios makanan. Entah dibawa oleh siapa dan dituntun oleh siapa, tiba-tiba kaki ini berjalan ke dalam pasar, seakan mengetahui kemana ia harus mampir. Sampailah aku di sebuah kios yang menjual berbagai makanan. Terutama mie instan. Tidak afdol rasanya jika mendaki tanpa ditemani oleh mie instan.
Aku membeli beberapa bungkus untuk keperluan selama di atas gunung. Kegiatan mendaki itu membutuhkan tenaga yang kuat. Sedangkan tubuh ini akan mendapatkan tenaga jika kita menyuplainya dengan makanan. Bagiku, tidak ada lagi makanan yang lebih praktis dibanding dengan memasak mie instan. Aku kira kalian setuju dengan hal ini.
ADVERTISEMENT
“Mas, mas.” Seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Aku lantas membalikkan tubuhku ke arah dimana suara itu berasal. Seorang pemuda dengan senyum hingga membuat matanya sipit, berdiri sedikit membungkuk tepat di belakangku. Dia hanya memakai baju Surjan dan celana pangsi hitam. Sedangkan kepalanya ditutupi oleh blangkon. Kelihatannya ramah banget orang ini, siapa dia?.
“Mas-nya mau kemana?” tanya pemuda itu dengan lembut.
“Mau ke Merapi, Mas.” Jawabku.
“Boleh saya nitip sesuatu, Mas?” Tanyanya lagi.
Pemuda itu lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Dia mengeluarkan sebuah koin, lalu memberikannya kepadaku. Koin itu aneh. Nampaknya, aku tidak pernah menemukan koin itu semasa hidupku. Koin yang mempunyai lubang persegi di tengahnya dan memiliki ukiran-ukiran yang aku pun tak tahu pasti, ukiran apa yang terdapat pada sisi-sisi lubang perseginya itu.
ADVERTISEMENT
“Tolong titip ini, Mas, kasihkan ke bapak saya yang sedang berjualan di atas!.” Pintanya.
“Lho, maaf loh mas, tapi saya gak bisa buru-buru ngasih koin ini, paling nyampe di atas sekitar malam hari.” keluhku.
“Iya gak apa-apa, Mas, memang jualannya malam hari.” Ujarnya.
“Sekalian nitip ini juga, Mas, kasihkan bapak saya!” Pemuda itu memberiku sebuah ranting yang ia pegang sedari tadi. Tanpa basa-basi aku menyanggupi permintaannya.
“Tapi, Mas, jangan sampai teman-teman Mas tahu ya?” Pintanya kembali.
“Lho, darimana Mas tahu saya ke Merapi bareng teman-teman saya?” Aku heran.
“Tadi saya lihat, Mas turun dari mobil bareng teman-teman Mas.” Tandasnya. Tatapannya begitu menyejukkan kalbuku, seperti tak ada sedikitpun bekas guratan angkara di wajahnya.
ADVERTISEMENT
“Jaga ya, Mas, jangan sampai hilang, saya mohon! Benda itu ditunggu bapak saya.”
Aku bergegas pamit kepada pemuda itu karena aku tidak mau berlama-lama berada disana. Aku lalu meninggalkannya di depan kios makanan tadi. Penasaran, aku menoleh ke belakang, ke arah pemuda itu. Akan tetapi, dia sudah tidak ada disana. Cepet banget jalannya, gumamku. Kusimpan koin aneh itu di saku celanaku dan kutenteng ranting kayu yang sepertinya itu dari kayu jati—aku merasakan betapa kerasnya ranting itu.
Semua temanku sudah menungguku: ada yang sandaran di mobil, dan juga ada yang duduk-duduk pinggiran jalan. Aku mempercepat langkah supaya mereka tidak kesal menungguku.
“Ranting itu buat apa, Dip?” Mulki menunjuk ranting yang kuselipkan di samping cerrierku.
ADVERTISEMENT
“Hiasan aja, Ki, bentuknya cantik, jadi gue ambil tadi di jalan.” Jawabku mengalihkan.
Kami segera menaiki mobil Mas Irwan. Mobil itu kembali melaju membawa kami menuju tempat tujuan.
“Guys, sehabis dari Merapi gak sekalian aja ke Merbabu?” candaku pada semua.
“Ayo!” seru Ibang.
“Ah, kalian aja, gue mah ogah, mening pulang.” sahut Gundil.
“Takut lutut lu lemes lagi ya, Dil? hahaha” candaku.
Gundil ini memang tipe orang yang gampang sekali lelah kalau naik gunung. Bahkan, dia sering sekali menjadi bahan bully-anku setiap kali pulang dari pendakian.
***
Penantian panjangku akhirnya berakhir juga. Setelah sekian lama kunanti dan hanya bisa ku khayalkan dalam benak, kuda besi yang kami naiki akhirnya memarkirkan dirinya tepat di sebuah tempat yang selama ini kuimpikan. Jantung ini berdegup kencang layaknya seorang pemuda yang tengah dilanda asmara yang sedang makan berdua di cafe pinggir jalan bersama wanita pujaannya.
ADVERTISEMENT
Kusambut pemberhentian mobil dengan senyumku yang lebar. Kami semua turun dari tumpangan yang diberikan Mas Irwan. Kufokuskan mataku melihat sekitar, dan alangkah tambah berbunganya hatiku ketika aku melihat tulisan besar “NEW SELO”. Semoga semuanya terbayarkan indah, tak ada malapetaka seperti apa yang kulihat dari guratan kekhawatiran wajah Yoyo. Kukira hatinya telah terobati oleh hiburan dari Ibang. Namun ketika dia menginjakkan kaki di tanah Basecamp New Selo, mulutnya tak henti-hentinya komat-kamit lagi. Mungkin dia sedang banyak berdoa—sesuai apa yang diperintahkannya kepadaku kemarin. Aku tidak mau mengganggunya. Biarkan dia dengan pendiriannya.
“udah jam 11, nih, kita shalat jumat yuk!” ajakku.
“shalat jumat dimana, Dip? Gak ada masjid jami disini.” Sahut Ibang.
Lalu kupandangi sekitar, dan memang, aku tidak menemukan masjid yang khusus dipakai shalat jumat pada umumnya. Ya sudah, dalam kondisi darurat begini, aku berniat akan menggantinya dengan shalat dzuhur saja.
ADVERTISEMENT
“Ya udah, gue langsung urus administrasinya aja ya?” aku bergegas menuju pos pendaftaran ditemani Yoyo untuk mengurus administrasi.
Setelah semua administrasi terselesaikan, aku dan Yoyo lanjut menemui rombongan di parkiran basecamp.
“Langsung aja, kita?” tanyaku.
“ke warung dulu, Dip, ngopi-ngopi dulu kita, rusuh amat.” Timpal Ibang.
Kami semua berarak menuju salah satu warung yang ada di area basecamp. Sekadar ngopi-ngopi untuk menghilangkan penat dan ketegangan. Mas Irwan masih setia menemani kami. Katanya, dia ingin memastikan kami berjalan di jalur pendakian Merapi. Memang the best kakak Gundil yang satu ini. Kebaikannya patut aku contoh.
Semua kursi di salah satu warung kami sesaki. Tak ada celah barang sedikitpun bagi seseorang untuk menyela tempat duduk kami. Pesanan kopi hitam tersaji manis di atas sebuah nampan yang diantar oleh penjaga warung.
ADVERTISEMENT
“Buat kalian, Mas cuma ngingetin sesuatu. Jangan lupa sama pesan Mbah Wongso, jaga terus Desti. Ingat, ini alam. Kita gak akan pernah tahu misteri apa yang ada di dalamnya.” Mas Irwan mengingatkan kami.
“Kadang alam itu bisa jadi sahabat, kadang pula bisa jadi kayak guru galak yang suka menghukum memukuli muridnya yang bandel” lanjutnya. Semua mata memperhatikan setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut Mas Irwan. Pesan itu kupegang erat-erat dalam genggamanku, lalu kusimpan dan kukunci rapat-rapat di dalam kepalaku.
Acara wisata kuliner di basecamp New Selo berakhir sudah. Karena tidak mau terlalu siang, kami segera melakukan briefing untuk menyampaikan pesan terakhir sebelum kita berarak beriringan menaiki jalur pendakian Merapi. Yoyo memimpin koordinasi terakhir itu.
ADVERTISEMENT
“Guys, ini koordinasi terakhir kita sebelum naik, gue pesen, semuanya harus bisa kerjasama, inget pesan yang sudah disampaikan orang tua kita sebelumnya. Jaga terus Desti, terutama Lu, Ki, pepet terus Desti kemanapun. Jangan biarin dia sendirian. Lu tahu, gak akan selamanya kita bisa beriringan, ada kalanya kita renggang satu sama lain.” Tatapannya begitu serius.
“Dip, selama lu jadi sweeper, jangan sungkan buat teriak kalo ada apa-apa. Senang bareng, susah juga harus bareng.” Lanjutnya.
Yoyo mendongakkan kepalanya ke langit sambil memejamkan mata. Dia menarik nafas dalam-dalam dan mengehembuskannya seraya berkata, “Semoga kita semua bisa selamat ... Berdoa dimulai ...” Kutundukkan hati ini untuk memohon pertolonganNya.
“Selesai.” Tutup Yoyo. Matanya kembali meneteskan air mata. Aku berusaha menenangkannya dengan merangkulkan tanganku di bahunya.
ADVERTISEMENT
“Yuk semangat, semangat.” Ibang berteriak menyemangati sambil bertepuk tangan.
“Semangat.” Gundil tak mau kalah dari Ibang.
Kami berjalan perlahan menuju titian pertama jalur pendakian. Tak ada kata yang bisa terucap untuk menggambarkan suasana rombongan kami. Senang, cemas, dan resah berkumpul di dalam diri. Kondisi langit yang mulai berwarna abu-abu gelap seakan mendukung suasana hati.
“Hati-hati di jalan ya, Mas!” Gundil sedikit teriak sambil melambaikan tangannya ke arah Mas Irwan.
Tanpa alasan yang jelas, Yoyo tiba-tiba berlari menuju mulut jalur. Aku melihatnya, ya, aku jelas melihatnya. Disana berdiri seorang wanita parubaya dengan bakul jajanan di punggungnya. Mbok Irah? Cepet banget udah sampe sini? Atau mungkin aku benar, yang tadi kulihat di pom bensin adalah halusinasi? Rasanya seperti deja vu dari kejadian pertemuan pertamaku dengan Mbok Irah di Prambanan. Kami pun kompak berlari menuju tempatnya berdiri. Menyalaminya dan melempar senyum padanya.
ADVERTISEMENT
Tatapan Mbok Irah semakin memperihatinkan. Ia memeluk Yoyo dan berkata, “Wayahé koé balik, Yo!”
Hah, balik? Baru mau naik kok disuruh balik? Gumamku.
“Iya, Mbok, nanti saya antar dulu teman-teman saya.” Jawabnya.
Ya, jelas dong, setelah pendakian ini kita memang langsung pulang. pikirku.
Aku tidak terlalu mengindahkan percakapan Yoyo dengan Mbok Irah. Karena seperti orang tua pada umumnya, sepertinya Mbok Irah menyampaikan pesan yang sama kepada Yoyo: yaitu jaga diri. Hingga akhirnya kudengar kata-kata yang sedikit mengagetkanku.
“Jaga Desti, Yo!” Serunya.
Lho, darimana Mbok Irah tahu nama Desti, dan mengapa pesan terakhir yang disampaikannya sama dengan pesan Mbah Wongso?
Aku hanya melempar senyum kepadanya. Lalu kami pun menyalaminya lagi untuk kemudian pamit hendak mendaki. Jalanan mulus yang terbuat dari semen menemani awal pendakian. Yoyo berada di paling depan, disusul Kucay, Gundil, Mulki dan Desti yang berjalan beriringan, kemudian Ibang, lalu aku yang paling belakang.
ADVERTISEMENT
Beberapa meter ke depan, aku mencoba untuk melihat ke belakang memeriksa keberadaan Mbok Irah. Tapi ternyata, wanita itu sudah tidak ada. Mungkin dia lanjut jualan di parkiran, pikirku. Aku kembali membalikkan badanku menatap teman-temanku yang beriringan membelah pepohonan di sekitar jalur pendakian.
Selangkah demi selangkah terus berjalan pasti. Jejak dari sepatu gunung, terlukis indah di atas semen yang semakin jauh semakin terjal berubah tanah—layaknya sebuah kuburan panjang yang terpajang sepanjang jalur. Permukaan tanah yang bergelombang membuat setiap kaki harus hati-hati melangkah. Salah sedikit saja, resiko patah tulang atau minimalnya memar, selalu menghantui. Apalagi, ditambah beban cerrier yang membawa logistik dan peralatan pribadi, bisa menambah kemungkinan tubuh untuk tidak seimbang. Pendakian bukanlah hal sepele. Banyak hal yang mesti dipertimbangkan matang-matang.
ADVERTISEMENT
“Ki, Ki.” Aku dikagetkan dengan suara Ibang yang mendadak meneriaki nama Mulki seperti memberi tanda awas.
Di depan aku melihat, Mulki tersungkur, hingga Desti harus memeganginya. Yoyo yang sudah berjalan paling depan pun turun kembali untuk melihat kondisi Mulki. Itulah pentingnya kebersamaan ketika mendaki. Jarak yang tidak terlalu jauh dapat meminimalisir hal yang tidak diinginkan.
Aku dengan sedikit melangkah panjang di antara tanah yang bergelombang, menghampiri Mulki yang terduduk di tepian jalur.
“Mual gue, gak kayak biasanya.” Ucap Mulki dengan sedikit meringis.
Dia berusaha membetulkan posisi duduknya. Namun, mungkin karena mual yang sudah tidak dapat ia tahan, Mulki akhir muntah dengan mengalihkan badannya ke sebelah kiri.
“Mabok mobil mungkin gue, ya?” Ucap Mulki.
ADVERTISEMENT
“Iya kali.” Desti menyahut.
“Di depan ada pos bayangan. Kita rehat dulu disana, kebetulan ada kayak pendopo disana. Jadi, Mulki bisa istirahat dulu disana.” Kata Yoyo sambil mengarahkan telunjuknya ke depan.
Mulki gontai memperbaiki posisi tubuhnya. Semua menyemangatinya.
“Ayo, Ki, semangat.” Sahut Gundil yang berdiri dari posisi jongkoknya.
Kami lebih merapatkan barisan. Selain menjaga Mulki yang gontai, kami juga tidak lupa menjaga Desti yang sedang haid.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di pos bayangan. Disana, Mulki dibaringkan untuk meredakan rasa mualnya. Cerrier yang ia pakai jadi bantalan untuk kakinya supaya mempercepat pemulihan. Tak lupa, Desti menghirupkan minyak angin yang dibawa Yoyo. Hanya sekitar lima belas menit berselang, Mulki terbangun dengan mata yang lebih cerah.
ADVERTISEMENT
“Udah cukup, gue udah enakan. Ayo lanjut!” Ucapnya semangat.
Kami melanjutkan pendakian, melewati plang informasi yang menuliskan durasi ideal bagi para pendaki untuk mencapai titik-titik sebelum puncak. Kulihat, ideal waktu yang dibutuhkan untuk ke pos selanjutnya adalah sekitar empat puluh lima menit. Formasi barisan masih tetap sama—Yoyo di depan, sedangkan aku paling belakang.
Terus kujejaki tanah-tanah itu dengan penuh keyakinan. Perlahan tapi pasti, tidak perlu terburu-buru. Kicauan burung di sekitar, udara dingin yang menggerayangi kulit wajahku menjadi teman setia perjalanan. Banyak sekali warna hijau di sekelilingku. Tidak seperti di perkotaan—apalagi di Bandung. Warna hijau dari pepohonan yang sudah bercampur warna yang lain menjadi pemandangan yang tak asing disana. Hiruk pikuk kota tak kurasakan disini. Oksigen yang masuk ke lubang hidungku pun terasa lebih bersih dibanding oksigen bandung yang sudah tercampur asap knalpot dari banyaknya kendaraan. Tuhan, jaga alam ini. jangan sampai tangan-tangan jahil dapat mencuri keindahan yang menyelimutinya. Sungguh aku tidak rela, Tuhan!
ADVERTISEMENT
Tak terasa, barisan mulai merenggang. Mungkin karena aku yang terlalu banyak melamun dan berhenti karena terpesona dengan keindahan yang tersaji, sehingga aku tidak melihat teman-temanku di depan kecuali Ibang yang berjarak sekitar dua puluh meter di depanku. Kupicingkan lagi mataku, ku pererat lagi otot-otot kakiku untuk fokus melangkah agar tidak terlalu terlena dengan keindahan sekitar. Cukup kunikmati seperlunya saja.
“Semangat, Dip.” Suara Gundil menyemangatiku dari belakang.
Lho, si Gundil kesusul ternyata.
Aku hanya memberinya kode mengangkat tangan tanpa membalikkan badanku ke belakang.
“Semangat!” teriakku.
“Semangat!!” sahut Ibang yang berada jauh di depan.
Jalanan terjal terus kita lalui. Batu-batu yang menyembul keluar dari tanah menghiasi jalur pendakian. Lagi-lagi, kehati-hatian dan kewaspadaan adalah kunci. Jangan sampai lengah!
ADVERTISEMENT
Beberapa saat kemudian aku melangkah, dari kejauhan aku melihat plang yang di sampingnya, Kucay sedang asyik merokok. Dia mengacungkan rokoknya itu lalu menunjuk ke arah dalam. Seperti memberi kode kalau teman-teman yang lain sedang beristirahat disana. Aku pun mempercepat langkah ingin segera sampai disana. Aku tidak ingin kalah dari Kucay. Sebatang rokok menungguku untuk kuhisap disana.
Walaupun nafas tersengal, aku tetap memperlebar langkahku. Ketika aku sampai di plang yang bertuliskan “Welcome to Pos 1 Watu Belah” dan melihat ke arah pendopo yang persis kulihat seperti yang ada di pos bayangan, aku melihat Gundil sedang asyiknya duduk melamun, sambil sesekali menyeruput madu sachetan yang ada di tangannya. Lho, kok dia sampe duluan? Aku berlari ke arahnya dan memukul bahunya agak keras.
ADVERTISEMENT
“Lu, bukannya tadi ada di belakang?” Ucapku kepada Gundil dengan nafas tersengal.
“Gue daritadi disini, Cuy.” Ujarnya.
Berarti, aku tadi memang paling belakang? Lantas siapa yang menyemangatiku di belakang tadi?