Kualat Gunung Merapi: Pendakian II (BAB 5)

Didit Galaraka
KKN Desa Penari memang salah satu cerita horor yang menyeramkan. Tapi, cerita lain dari podcast horor demit tidak kalah seram. Simak cerita-cerita horor mencekam lain di collection ini dan jangan lupa subscribe untuk dapat notifikasi story terbaru.
Konten dari Pengguna
28 Januari 2021 8:49 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi petir di gunung  Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petir di gunung Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kualat Gunung Merapi: Pendakian II (BAB 5)
Otakku tidak berhenti menerka. Siapa yang menyemangatiku di belakang tadi? Sangat jelas kudengar, itu adalah suara Gundil. Aku yakin seyakin-yakinnya. Tapi apa yang kulihat kemudian, kenyataan berbicara lain—Gundil memang sudah berada di depanku.
ADVERTISEMENT
“Bang, lu tadi denger ada yang nyemangatin gue di belakang, kan?” tanyaku kepada Ibang, hanya memastikan.
“Enggak, Dip. Gue juga teriak, soalnya denger lu yang teriak duluan.” Jawab Ibang.
Apa? apa iya tadi aku ini halusinasi?
Terasa aneh ketika aku bisa banyak berhalusinasi begini. Aku paham betul diriku ini, aku merasa diri ini masih belum kelelahan. Jadi, mana mungkin aku berhalusinasi. Ah sudahlah. Daripada aku jadi banyak menerka hal-hal yang belum pasti, aku memilih untuk mencairkan suasana dengan cara mengeluarkan candaan kepada Gundil.
“Dil, tapi lutut lu masih aman kan?” ledekku kepada Gundil.
“Aman, Dip, di pendakian ini, gue gak akan ngecewain lu.” Matanya mendelik sinis ke arahku.
“Walah, paling cuma lagu lu doang, di Ciremai lu juga bilang kaya gitu kan? Buktinya, keropos juga lutut lu, hahaha.” Perkataanku membuat Mulki, Desti, dan Ibang ikut tertawa. Sedangkan Gundil, hanya memalingkan pandangannya ke arah semak-semak dengan madu yang terus dia cicipi.
ADVERTISEMENT
Aku memang suka bercanda dengan Gundil. Meskipun ekspresinya selalu terlihat tidak senang, entah kenapa aku selalu semangat untuk terus memojokannya. Gak apa-apa lah ya, Dil? Kalo gak kaya gini gak rame. Hehehe.
Candaan itu sedikit menjadi obat penenangku dari ingatan kejadian yang menimpaku tadi. Suasana yang renyah, lepas, penuh canda tawa melukiskan kenangan indah di dalam kamus kehidupanku. Kamus yang akan kubuka isinya sedikit demi sedikit kepada anak cucuku kelak.
Suasana hangat itu serasa tak lengkap tanpa kehadiran Kucay dan Yoyo. Kutengok, Kucay masih dengan asyiknya menghisap rokok, berjongkok tepat di bawah plang Pos 1. Semakin lama kuperhatikan tingkah lakunya itu, lidahku jadi merasa kecut. Ingin rasanya aku bergabung dengannya menikmati sebatang saja untuk mengusir kecutnya lidahku ini.
ADVERTISEMENT
“Yo, ayo kita ngudud dulu. Jangan ngelamun terus lu, Ah.” Ajakku kepada Yoyo yang daritadi duduk melamun di atas sebuah batu.
“Dari lu, ya?” pintanya.
Aku membalasnya dengan senyuman. Itulah yang aku rindukan dari Yoyo, yang belum aku temui sejak pertama berangkat dari stasiun Kiaracondong. Di balik sifatnya yang pendiam, dia selalu meminta rokok atau kopi kepadaku. Padahal sebenarnya aku tahu, dia tidak semiskin itu.
Yoyo mengikuti langkahku untuk menghampiri Kucay. Aku selalu melakukan keakraban ini kepada sahabat-sahabatku. Hal itu semata aku lakukan untuk lebih mempererat hubunganku dengan mereka. Aku tidak ingin jika di kemudian hari, aku atau sahabat-sahabatku saling melupakan satu sama lain.
Dua batang dari sebuah bungkus yang ada di celanaku, aku tarik dengan perlahan. Satu untukku dan satu lainnya kuberikan kepada Yoyo. Segera kunyalakan untuk menghilangkan kecutnya lidah ini dan mengusir sedikit hawa dingin yang menghinggapi tubuhku.
ADVERTISEMENT
Obrolan ngalor ngidul di antara kami bertiga membuat suasana menjadi tambah hangat. Cerita tentang pengalaman pendakian sebelumnya pun menjadi topik pembahasan. Jujur kukatakan kepada Yoyo, pengalamanku kali ini—mendaki Gunung Merapi, terasa sedikit berbeda. Yoyo dan Kucay pun setuju dengan itu.
“Kalo gue, pertama ngerasa aneh itu pas di Prambanan, Dip, pas si Desti hilang.” Kucay mengamini.
“Gue juga dari pertama di stasiun itu udah curiga, kenapa dia diajak shalat kok cuma diem aja.” Yoyo membuka suara.
“makanya pas di rumah Abangnya si Gundil, gue beraniin diri buat nanya langsung, gak pake basa-basi.” Lanjutnya.
Sepertinya, kecemasan itu masih menghuni sanubari mereka. Tak bisa dipungkiri, Kucay yang terlihat cuek luar biasa pun ternyata menyimpan kecemasan itu.
ADVERTISEMENT
“O, ya. Yo, Mbok Irah itu sebenernya siapa sih? Kok lu bisa akrab banget sama dia?” tanyaku. Aku dan Kucay menatap penasaran ke wajah Yoyo. Jujur, aku masih penasaran dengan sosok Mbok Irah. Siapa sebenarnya dia dan apa yang disembunyikannya. Bukan jawaban yang kudapat, suasana malah hening seketika. Yoyo hanya menghela nafas panjang, seraya mematikan bara api rokoknya ke tanah.
“Ngopi yu, ah!” jawabnya tidak memuaskan. Yoyo sedikit melemparkan senyum ke arahku dan Kucay, sambil beranjak melangkahkan kakinya menuju pendopo.
“Kenapa sih dia?” tanya Kucay.
“Udah, biarin aja.” Jawabku.
Jawabannya hanya Yoyo yang tahu. Kalau sudah begitu, mau ditanya secara paksa pun, Yoyo tetap tidak akan menjawab. Kali ini, aku tidak akan memaksanya. Aku sudah tahu perangainya. Biarkan ia dengan pendiriannya begitu, toh, semua akan terjawab pada waktunya—mungkin. Aku dan Kucay mengikuti Yoyo dari belakang. Hawa dingin yang semula menyentuh halus kulitku, kini menjadi sedikit tidak terasa.
ADVERTISEMENT
“Bang, kita ngopi dulu. Keluarin perbekalan!” seruku kepada Ibang.
Tanpa jeda, Ibang langsung mengeluarkan perbekalan yang ia simpan di cerriernya. Kopi dan cemilan, siap menemani istirahat kami di tempat itu. Kalau sudah di jalur pendakian, kami tidak mau terburu-buru ingin sampai puncak. Kami ingin menikmati prosesnya—bukan hasilnya. Karena kalau dilihat dari informasi yang kudapat di pos bayangan, untuk sampai ke Pasar Bubrah tidak membutuhkan waktu yang lama. Tidak seperti pengalamanku mendaki Gunung Ciremai yang membutuhkan waktu sedikitnya sebelas jam untuk sampai di Goa Walet.
Nesting dan kompor portabel sudah siap untuk dipakai memasak air. Masing-masing dari kami mengambil gelas plastik sebagai tempat penampungan kopi yang ingin kami seduh. Lain dengan Desti, dia tidak suka kopi, dia hanya memakan makanan ringan yang dibawanya.
ADVERTISEMENT
**
“Gue tidur dulu, entar jam dua bangunin gue ya, Dip?” Ujar Yoyo yang sudah menghabiskan satu gelas kopi. Aku mengiakan permintaannya itu.
Selelapnya Yoyo tertidur, beberapa dari kami masih asyik dengan camilan dan kopinya. Logistik bertahap Ibang rapihkan ke dalam cerriernya. Candaan demi candaan pun kami lontarkan kepada satu sama lain. Tawa yang tergurat di masing-masing wajah berharap menghapuskan segala bentuk keresahan. Sementara itu, aku biarkan Yoyo memulihkan tenaganya. Karena, butuh tenaga yang ekstra bagi seorang leader untuk memimpin pendakian.
**
“Sayang, aku ganti sekarang, ya?” suara Desti terdengar risih.
Mulki mengarahkan pandangannya ke segala arah seakan ingin memastikan tempat yang dirasa tepat untuk mengganti pembalut.
“Malu, Yang, banyak orang disini.” Ujar Mulki dengan pandangan risih menatap pendaki lain.
ADVERTISEMENT
“Tapi udah gak nyaman banget ini.” Ucap Desti sambil membenarkan posisi duduknya.
“Nanti aja di jalan mau ke Pos 2, Des!” seruku.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Tidak terasa, waktu sudah berlalu satu jam semenjak Yoyo tertidur. Sesuai permintaannya, aku membangunkan Yoyo untuk melanjutkan pendakian. Dengan mata sembabnya, Yoyo berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
Kami semua bergegas memakai kembali cerrier di punggung. Beban itu terasa lagi. Beban yang akan selalu menemani pendakian ini. di sisi lain, yang dinamakan beban itu ada pada diri Desti. Di lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku tak habis pikir, mengapa Desti ingin memaksakan ikut pendakian ini. Padahal kalau dia ingin bersabar sedikit saja, dia tinggal menunggu kami di rumah Mas Irwan. Toh, disana juga ada Niken yang sudah bukan anak kecil, lagipula kami juga tidak akan meninggalkannya begitu saja.
ADVERTISEMENT
Dan Mulki, mengapa dia begitu bucin? Agak berlebihan menurutku, terpaksa mendukung keputusan Desti setelah ia mengancam putus hubungan dengan Mulki. Padahal kalau itu terjadi padaku, lebih baik aku memilih untuk putus, daripada harus menanggung resiko tinggi. Lagipula, masih banyak wanita di luar sana. Bahkan dari Lempuyangan sampai Basecamp New Selo pun, entah berapa ratus wanita muda nan cantik yang sudah kami temui. Mengapa Mulki bisa sebegitunya? padahal ini semua demi kebaikan Desti juga.
Keegoisan yang ada pada diri Desti terpaksa harus membuat kami selalu siaga. Gerak-geriknya harus selalu diperhatikan, tindakannya harus kami jaga. Sepertinya sudah pantas bagi kami menyandang titel seorang intel yang baik. Bukan begitu?
Atas persetujuan Yoyo, aku memerintahkan semua rombongan untuk berbaris merapat berjarak kisaran satu meter. Lagi-lagi, itu semua aku lakukan untuk kebaikan Desti. Dalam kondisi penuh darah di daerah kewanitaannya, para lelembut gunung akan otomatis terundang mendekat. Aku tidak mau jika barisan direnggangkan, para lelembut di Gunung Merapi bisa dengan bebasnya menggerayangi Desti. Gunung adalah salah satu tempat yang jarang dijamah manusia dan gunung pun menjadi habitat tetap berbagai lelembut. Aku percaya kita hidup berdampingan dan dapat berinteraksi satu sama lain dengan caranya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Jalur dari Pos 1 menuju Pos 2 berubah lebih sadis. Bukan lagi tanah sebagai pijakan, kini jalur berubah menjadi bebatuan. Kemiringannya pun dapat dikatakan hampir mendekati sembilan puluh derajat. Aku sangat puas dengan apa yang aku lihat ini. Selain melatih otot-otot kakiku, jalur seperti ini juga melatih intuisi dan kesabaran. Hingga tak terasa, jarak masing-masing di antara kami sedikit merenggang. Tak apalah, yang penting semuanya masih terlihat olehku.
Di tengah pendakian yang sangat menguras banyak tenaga itu, aku dikagetkan dengan seorang pendaki yang menyusul dan mengiringi langkahku. Kok jalannya cepet banget? Dia tidak membawa cerrier. Dia hanya memakai topi hitam, jaket berwarna coklat, celana jeans hitam, dan dengan wajah yang sedikit pucat. Aku merasa pernah melihatnya, tapi entah dimana. Wajahnya begitu familiar bagiku.
ADVERTISEMENT
“Kenapa, mas, buru-buru banget?” tanyaku.
Pendaki itu tidak menjawabku. Dia tetap berjalan tepat di sampingku. Kulihat matanya terus fokus ke jalur pendakian.
“Mas, sehat? Kalo lagi sakit, mening putar balik aja, Mas. Saya khawatir Mas kenapa-kenapa.” Ucapku.
“Cerrier saya masih di atas, Mas.” Pendaki itu menjawabku dengan ekspresi dingin. Lantas, dia menepuk bahuku kemudian berjalan cepat menyalip teman-temanku yang lain. Mungkin, pendaki itu sedang ada urusan sehingga dia harus ke bawah lalu kembali ke atas untuk melanjutkan pendakiannya.
Tak lama berselang dari hilangnya pendaki itu dari pandanganku, kabut mulai turun. Perlahan tapi pasti, kabut itu semakin menebal. Sehingga membuat oksigen yang kuhirup sedikit bercampur dengan air. Hal demikian membuatku harus menepi untuk mengatur nafas agar tidak sesak. Langkahku tidak beraturan. Banyak momen dimana aku harus berhenti dan mengatur nafasku lagi. Akibat kabut yang semakin menebal, pandanganku menjadi terbatas. Aku tidak bisa melihat Ibang yang semula berada beberapa meter di depanku. Lama dalam kondisi seperti itu, membuatku sangat kelelahan.
ADVERTISEMENT
“Guys, Break dulu, kabut tebel banget nih!” teriakku tidak dijawab oleh siapapun. Aku terus berteriak memanggil satu persatu nama temanku. Namun, tetap tidak ada sahutan dari siapapun. Aku kembali berhenti agak lama untuk mengatur nafasku, berharap itu menjadi cadangan energi bagiku untuk mempercepat langkahku sampai kembali ke barisan—karena sepertinya aku sudah tertinggal jauh. Kuatur nafasku di tepian jalur. Sayup-sayup ku dengar suara langkah kaki dari arah bawah. Tetapi, setelah lama kutunggu, tidak ada pendaki yang menyusulku. Aku masih bisa berpikir positif, menyangka kalau tadi hanyalah suara daun yang bergesekkan dengan batu.
Setelah dirasa cukup untuk menyiapkan tenaga, bergegas kulebarkan langkah kaki ini untuk cepat menemui teman-temanku. Aku bersyukur, karena beberapa langkah lebar yang kulakukan, kabut mulai menipis. Dari kejauhan dapat kulihat Ibang dan yang lainnya sedang duduk membentuk barisan menghadap ke bawah, di tepian jalur. Aku senang bertemu lagi dengan mereka. Namun, aku tidak melihat Desti dan Mulki disana.
ADVERTISEMENT
“si Desti lagi ganti?” tanyaku kepada Ibang.
Ibang hanya menjawabnya dengan mengangguk dan dada yang kembang kempis dengan cepat. Kemudian kuistirahatkan tubuhku, duduk di atas bebatuan yang ada. Cerrier tidak kulepas. Ia menjadi sandaran empuk bagiku.
Sepuluh menit sudah aku menunggu Mulki dan Desti. Mereka tak kunjung menghampiri kami. Hingga tak terasa, angin sepoi-sepoi yang menyapa wajahku membuatku terlelap begitu saja. Aku ingat betul, di dalam tidurku itu, aku bermimpi hal yang membuatku menyangka bahwa itu adalah kenyataan.
Di dalam mimpi itu, aku berada tepat dimana aku terlelap—duduk bersandarkan cerrier di sebuah batu besar. Namun, ada yang aneh dari sebelumnya. Tepat di depanku, aku melihat ramai sekali makhluk aneh sedang berdiri menatap ke arah rombongan kami. Rupa makhluk-makhluk itu bermacam-macam: dari yang kecil sampai yang paling besar ada disana. Bahkan, di antara makhluk-makhluk itu, aku melihat Ega berada di tengah kerumunan. Ia hanya terdiam menunduk tanpa melakukan apa-apa, tanpa cerrier, dan tanpa topi koboynya. Semua makhluk menatap kami dengan tatapan kosong, kecuali satu orang kakek bertongkat yang menatap kami dengan penuh amarah. Apa ini? aku sangat ketakutan. Jantungku berdegup kencang. Namun aku tidak bisa melakukan apapun. Menolehpun tak bisa. Tatapan mereka seperti memaku sukmaku untuk tetap berada duduk di batu itu. Bahkan, memejamkan mata pun aku tidak bisa.
ADVERTISEMENT
Dari setiap makhluk yang ada, kulihat, ada sesosok kuntilanak yang melemparku dengan batu kecil yang tepat mengenai kakiku. Aku seperti dipaksa menonton mereka yang terus saja menatap kami kosong dan berperilaku sangat aneh. Akh, tuhan, kenapa ini?
Tatapan makhluk-makhluk itu seketika teralihkan. Menatap ke satu titik yang terdapat banyak semak dan pepohonan. Ekspresi mereka semua mendadak berubah menjadi menyeringai. Apalagi sosok genderuwo yang kulihat meneteskan air liur dari sela-sela taringnya. Aku mencoba kabur dari mereka. Mencoba untuk bangun, namun diriku ini tetap mematung. Tanpa aba-aba, makhluk-makhluk itu beriringan berjalan menuju satu titik yang mereka lihat. Seketika juga, tubuhku menjadi bisa digerakkan. Di antara perasaan takut dan penasaran, aku mencoba untuk mengikuti mereka secara perlahan. Aku melangkah perlahan di antara rerumputan yang terhampar. Kakiku melangkah gontai. Tanpa mengawasi langkahku, tiba-tiba aku terjatuh dan terjerembap di dalam sebuah lubang. Dan seketika itu juga, aku terbangun dari tidurku.
ADVERTISEMENT
Nafasku tersengal, dadaku kembang kempis tak beraturan. Jantungku masih berdegup kencang—iramanya sama seperti apa yang terjadi dalam mimpi. Anehnya lagi, aku melihat sebuah batu kecil yang berada tepat di bawah kakiku. Batu itu persis dengan batu yang dilemparkan kuntilanak di dalam mimpiku tadi. Aku terheran. Apa ini sebuah kebetulan? Atau memang, ini adalah kenyataan? Aku tidak bisa memastikan itu. Aku hanya tertarik ke sebuah titik yang dilihat oleh makhluk-makhluk mengerikan yang ada di dalam mimpiku tadi.
Aku segera mengalihkan pandanganku ke titik itu. Lama sekali kuperhatikan titik yang sedikit terhalang kabut itu, akhirnya keluarlah dua sosok yang perawakannya aku kenal betul. Itu adalah Desti dan Mulki. Aku beranggapan, mungkin saja makhluk-makhluk itu berlarian kesana karena tertarik oleh pembalut yang dibuang Desti.
ADVERTISEMENT
Mulki dan Desti berjalan beriringan. Namun, gangguan yang kudapat bukan hanya melalui mimpi. Akan tetapi, dapat kulihat dengan jelas oleh mata kepalaku sendiri, sebuah tangan yang sangat pucat merangkul bahu kiri Mulki. Padahal, kedua tangan Desti sama sekali tidak merangkulnya. Aku lantas meneriaki Mulki dan memberinya isyarat untuk segera melihat ke bahu kirinya. Namun, Mulki seakan tidak mengerti bahasa tubuhku. Ia malah terus berjalan begitu saja menggandeng Desti. Kulihat lagi, tangan pucat itu perlahan tertarik ke belakang dan menghilang, seiring dengan sampainya mereka di tepi jalur pendakian.
“Des, lu nyuci pembalutnya bersih gak?” tanyaku khawatir apa yang ada di dalam mimpiku itu memang benar-benar terjadi.
Desti tertunduk dan berusaha menjawab, “Itu, tadi ...”
ADVERTISEMENT
“Yaa, Bersih lah.” Mulki menyela dengan jawaban yang tergesa-gesa. Aku kira dia memang kelelahan, sehingga membuatnya terburu-buru seperti itu. Aku berteriak kepada Yoyo agar kembali melanjutkan perjalanan. Yoyo mengangguk dan berbalik mencondongkan badannya ke depan, bersiap mengambil langkah. Semuanya telah siap. Pendakian pun dilanjutkan.
Kabut belum juga menghilang, namun tipis. Membuatku tidak terlalu banyak menghisap air dalam nafas. Kujejaki batu-batu yang menjulang itu. Otot-otot kakiku saling bersahutan mendukung langkah pasti yang kulakukan. Suasana Merapi kala itu seperti sedang dirundung kesedihan. Berwajah muram. Gunung Merbabu yang katanya dapat dilihat dari jalur pendakian itupun ditutupi oleh kabut yang menyelimuti. Aku hanya bisa berprasangka baik terhadap Merapi. Mungkin ia menyimpan keindahannya setelah kami berada di puncak. Semoga saja.
ADVERTISEMENT
Tak terasa, barisan kembali merenggang. Kulihat kali ini teman-temanku semakin semangat untuk mendaki. Ibang sampai mengeluarkan jurus monyetnya untuk melangkahi bebatuan yang ada. Tak terkira semangat yang mereka punya, mereka sepertinya ingin segera sampai di Pos 2. Akupun berusaha mengimbangi kecepatan teman-temanku. Namun, karena nafasku ini adalah nafas Gudang Garam, aku jadi cepat sekali merasa kelelahan. Tapi entah mengapa meskipun teman-temanku itu perokok, mereka mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa.
Hingga akhirnya, kabut mulai menebal kembali. Aku tidak ingin cepat panik. Perlahan aku telusuri jalur pendakian itu supaya tidak tersesat. Aku memang pertama kali ke Merapi. Akan tetapi, jika keadaannya seperti ini, mau tidak mau aku harus menguatkan instingku dan pantang untuk cengeng. Jarak pandang tinggal sekitar tiga meter ke depan. Sehingga yang dapat kulihat hanya bayangan Ibang yang terus menerus mendaki dengan yakinnya. Sebisa mungkin aku tidak ingin kehilangan jejaknya.
ADVERTISEMENT
“Bang, yang lain aman, Bang?” teriakku.
“Aman, masih pada kelihatan di depan, Dip.”
Syukurlah. Itu berarti aku harus tetap melihat Ibang mendaki. Perlahan tapi pasti, pahit manisnya jalur pendakian itu, aku nikmati.
Kabut semakin menebal. Jarak pandang pun semakin terbatas. Ibang meneriakiku untuk diam di tempat, “Dip, pesan berantai dari si Yoyo, kita break dulu nunggu kabut. Terlalu bahaya!”
Aku menuruti suara dari bayangan Ibang yang sudah semakin tak terlihat. Aku membalikkan badan dan kembali duduk di sebuah batu bersandarkan cerrier. Aku mengatur nafasku agar cepat menemukan kesegaran.
Ssrrrkk ... Ssrrrkkk..
Aku dikejutkan oleh suara yang berasal dari sebuah kantong kresek hitam yang berada tepat beberapa senti di sampingku. Awalnya aku menyangka, kalau itu adalah kucing yang sengaja dibuang oleh pemiliknya disini. Rasa kasihanku tak bisa kubendung. Aku ingin melepaskannya saat itu juga.
ADVERTISEMENT
Perlahan kubuka bungkusan itu dan, “Astaga” bau busuk seketika menyeruak menusuk-nusuk hidungku. Ternyata yang kulihat di dalam bungkusan itu adalah kumpulan kaki dan tangan manusia yang sudah pucat, dan beberapa masih ada yang bergerak-gerak. Tak pikir panjang, aku langsung membuang bingkisan itu dan memaksakan diri untuk menghampiri Ibang.
“Lu kenapa, Dip?” tanya Ibang kepadaku.
“Itu... di bawah gue lihat bungkusan, isinya kaki sama tangan, Bang.” Jawabku sambil mengecap ludah yang sudah mengering.
Ibang menenangkanku, lalu memberiku minum untuk menghilangkan dahaga dari cairan yang terbuang akibat kupaksakan berlari menujunya. Setelah dahagaku terselesaikan sementara kabut sudah mulai perlahan menipis, Ibang mengajakku untuk turun memeriksa bungkusan itu. Aku pun menyetujuinya untuk memastikan.
ADVERTISEMENT
“Bang, ayo lanjut!” teriak Kucay yang berada di atas kami berdua, sehingga Aku dan Ibang tidak bisa memeriksa bungkusan tadi. Aku masih terkejut. Tangan, kaki siapa itu tadi? Apa ada orang yang sudah melakukan mutilasi disini?
Sekitar sepuluh menit mendaki, kedatanganku disambut oleh banyaknya tenda di atas sebuah lahan yang lumayan luas. Jurang begitu dekat dengan keberadaan lahan itu. Yoyo yang tengah berdiri di samping tenda pendaki lain, melambaikan tangannya tanda memangilku.
“Lanjut, atau Camp?” tanyanya singkat.
“Lanjut, Yo, keburu malem.” Jawabku.
Yoyo segera memberi isyarat kepada yang lainnya untuk melanjutkan perjalanan. Barisan kembali seperti semula. Aku mengincar matahari terbit dari puncak. Maka dari itu, aku mengusulkan untuk lanjut dan bermalam di Pasar Bubrah saja. Di sisi lain, aku harus memberikan koin aneh dan ranting jati yang kudapat dari seorang pemuda ramah yang kutemui di Pasar Cepogo beberapa jam lalu, kepada ayahnya yang berjualan disana.
ADVERTISEMENT
“Woy!!” seru dari suara tak berwujud dari arah Pos 2, yang membuat langkah kami terhenti. Aku mengenal betul suara itu. Semuanya kompak membalikkan badan ke arah Pos 2. Dan dapat dipastikan, suara itu memanggil rombongan ini.
Mulki berbalik dengan ekspresi terkejut, “Ega?”
Aku melihat raut kecemasan dari semua temanku. Mereka merasakan apa yang aku rasakan. Kami tidak mau bertemu dengan Ega di jalur pendakian ini. kalau saja kita dipertemukan setelah selesai pendakian, itu tidak masalah.
“Udah... lanjut aja lanjut!!” seruku kepada semuanya.