Kualat Gunung Merapi: SIAL!! (BAB 8)

Didit Galaraka
KKN Desa Penari memang salah satu cerita horor yang menyeramkan. Tapi, cerita lain dari podcast horor demit tidak kalah seram. Simak cerita-cerita horor mencekam lain di collection ini dan jangan lupa subscribe untuk dapat notifikasi story terbaru.
Konten dari Pengguna
3 Maret 2021 14:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kualat Gunung Merapi: SIAL!! (BAB 8)
zoom-in-whitePerbesar
Kualat Gunung Merapi: SIAL!! (BAB 8)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suara ayam berkokok membangunkan tidur lelapku.
........
Ah, suara alarm HP-ku ternyata. Aku kira, seekor ayam bisa mendaki begitu jauhnya hingga mencapai Pasar Bubrah. Memang sengaja aku pasang nada kokok ayam supaya terdengar klasik.
ADVERTISEMENT
Jam yang tertera di layar HP, menunjukkan angka empat lebih sepuluh. Teman-teman satu tendaku, semuanya masih tertidur pulas. Entah apa yang diimpikan Kucay. Mulutnya terbuka, dan kadang tertawa kecil tanpa sebab.
Nyawaku masih belum terkumpul semua. Sebagian masih terbang di awang-awang. Belum sepenuhnya masuk kembali ke dalam tubuh ini.
Aku terduduk. Dengan sleeping beg yang menyelimuti kakiku. Aku ambil kuplukku di pojokan tenda yang terlepas ketika aku tertidur.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Semalam dalam keadaan sadar tidak sadar, samar kudengar, suara Ega yang meminta maaf kepadaku.
Kasihan juga dia. Siapa tahu dia memang mengakui kesalahannya. Dan mungkin, sekarang ini dia tertidur di luar.
Aku segera melorotkan sleeping beg-ku dan segera menyembulkan kepalaku memeriksa keberadaan Ega di luar.
ADVERTISEMENT
Lho, kemana dia? Aku tidak melihat Ega.
Melihat suasana di luar tenda, Seketika bulu kudukku meremang hebat. Aku tidak lagi melihat pedagang-pedagang yang menjajakan dagangannya disana. Pasar itu sudah raib bak ditelan bumi. Disana hanya menyisakan tenda para pendaki lain yang masih dalam kondisi tertutup.
Udara dingin mencengkram wajahku. Indera penciumanku sedikit terhalangi. Ingin rasanya kubangunkan Yoyo dan yang lain untuk segera “ngopi bareng” dan “ngudud bareng”, supaya tubuh ini terasa lebih hangat.
Urusanku belum selesai dengan Ega. Kugeserkan cerrier yang menghalangi mulut tenda, kupakai kaus kaki, kemudian kusiapkan otot-otot kakiku untuk beranjak keluar tenda, memeriksa keberadaan sahabat Mulki itu.
“Ga ... Ega!” aku sedikit mengeraskan suaraku, sembari memutarkan badan tiga ratus enam puluh derajat.
ADVERTISEMENT
Kuharap, yang semalam meminta maaf di samping tendaku itu memang benar-benar Ega. Bukan “Ega” yang kulihat terpasung, dijajakan salah satu pedagang di Pasar Setan semalam.
“Ga ... Ega!” aku terus memanggil namanya. Berkeliling sekitaran tenda, namun, Ega tetap tidak ada. Kuputuskan untuk kembali ke tenda, membangunkan teman-temanku untuk segera bersiap naik ke puncak gunung.
“Darimana lu, Dip?” ternyata Ibang sudah terbangun. Matanya masih sepet.
“Gue nyari si Ega, gue denger pas malem, dia bilang minta maaf di pinggiran tenda kita.”
Ibang terdiam. Awalnya, kusangka dia akan berontak seperti kejadian di Pos dua. Kali ini dia tertunduk. Beberapa kali, dia memejamkan mata sembari mengembuskan nafas panjang.
“Kenapa, Bang?” tanyaku
“dia juga dateng ke mimpi gue. minta maaf juga.” Jawabnya.
ADVERTISEMENT
Dahiku mengkerut. Kubungkukkan badan seraya menatap matanya yang terpancar keseriusan. Berbeda dengan Ibang, yang kualami semalam memang benar-benar nyata terdengar.
“di mimpi itu, gue keluar tenda. Gue lihat di luar, si Ega udah duduk nungguin.”
“Muka dia banyak banget luka. Kemejanya juga udah compang-camping. Dia minta maaf terus ke gue, sambil nangis. Gue jadi kasihan lihatnya.” Tutup Ibang.
Aku mengusap wajahku. Apa yang dilihat Ibang dalam mimpinya, sama dengan apa yang dilihat olehku sewaktu aku melihat Ega terpasung.
“Bang, coba bangunin si Kucay sama Gundil juga. Kita tanya. Siapa tahu mereka juga mimpiin si Ega. Sekalian bangunin buat siap-siap ke puncak!” pintaku.
Ibang dan aku membangunkan Kucay dan Gundil. Namun, entah makhluk apa yang mendekap Kucay, ia susah sekali dibangunkan. Berbeda dengan Gundil. Dia seketika terbangun ketika aku menepuk kakinya.
ADVERTISEMENT
Ibang berinisiatif mengambil air segenggam, lalu dicipratkan ke wajah Kucay. Ternyata cara itu berhasil. Kucay terperanjat. Mukanya kesal.
“Kampret, apa-apaan sih lu!” Kucay menggerutu sambil mendorong Ibang.
“Bangun, kita ke puncak.” Ibang menimpal.
“Dil, Cay. Kalian dimimpiin si Ega, gak?” aku langsung masuk ke inti pertanyaan.
Kompak, Kucay dan Gundil menggelengkan kepalanya. Lalu, aku menceritakan apa yang terjadi padaku dan Ibang. Mereka semua hanya bisa terdiam.
Kucay menggaruk lehernya. Dia bilang, “udah, gak usah dipikirin.”
Kami merenung sesaat. Beberapa pertanyaan mencemaskan hinggap di kepalaku. Bagaimana kalau itu pertanda buruk bagi Ega di luar sana?
Beberapa menit sudah waktuku hilang percuma gara-gara melamunkan Ega. Hampir saja aku terlupa tujuanku untuk melanjutkan pendakian ke puncak.
ADVERTISEMENT
“Ehh, gue bangunin si Yoyo dulu.” Ucapku. aku beranjak keluar tenda. Melangkah perlahanan menuju tenda Yoyo.
“bangun, bangun. Yo ... Ki ... Desti, ayo kita siap-siap” seruku dari luar tenda.
Tak lama, pintu tenda terbuka. Mulki yang membukanya. Kulihat ke dalam, di tenda itu hanya berdua. Aku lagi-lagi tidak melihat Yoyo.
“Lho, si Yoyo belum juga balik?”
“Belum, Dip.” Jawab Mulki.
Kemudian Mulki membangunkan Desti yang masih tertidur pulas. Mesranya Mulki membangunkan kekasihnya itu, membuatku harus menahan rasa iri. Nasib memang nasib. Apa harus, kubelai pasir yang aku duduki ini, dan kuciumi layaknya mencium kekasih? Bisa-bisa sepulang aku dari pendakian ini, aku dibawa ke rumah sakit jiwa oleh teman-temanku.
Kemana Yoyo? Lama sekali dia meninggalkan tenda.
ADVERTISEMENT
Aku kembali teringat dengan Si Mbah. Dia yang mengatakan ada desa di belakang puncak ini. Apa mungkin Yoyo benar-benar kesana?
Aku kembali berdiri. Debu-debu yang menempel di celanaku, aku singkirkan. Aku akan mencarinya. Sekaligus mengobati rasa penasaranku tentang desa itu.
“Kemana, Dip?” tanya Mulki, ketika langkahku kuputar menuju belakang tenda.
“Nyari si Yoyo dulu.” Ucapku tanpa menoleh kepadanya, terus melangkah menjauhi tenda.
Sebelum pergi menuju desa misterius itu, terlebih dahulu aku akan menyisir setiap tenda pendaki lain. Siapa tahu, Yoyo mampir kesana.
Aku berjalan menyisir setiap tenda. Meskipun ada beberapa yang sudah dibuka dan pendaki lain tengah bersiap, masih banyak pula tenda yang masih tertutup dalam keadaan gelap.
“Yo ... Yoyo!” aku terus memanggil namanya. Berharap Yoyo tidak benar-benar pergi ke desa itu.
ADVERTISEMENT
“ya, ada apa?” ada yang menjawab seruanku dari dalam tenda. Langkahku terhenti. Menunggu orang yang menjawabku keluar tenda.
Beberapa saat kemudian, keluarlah seorang laki-laki yang tak kukenal keluar dari dalam tenda.
“Manggil saya, Bang?” laki-laki itu bertanya.
“Oh. Maksud saya, Yoyo teman saya.” Aku sedikit menahan malu. Karena ternyata, dari sekumpulan pendaki itu ada yang bernama sama.
Kulanjutkan langkahku. Instingku mengatakan, Yoyo memang tidak benar-benar ada di antara tenda-tenda itu.
Akihrnya, benar-benar kuputuskan untuk menyambangi desa misterius yang disebut-sebut Si Mbah dengan sebutan “desa saya”.
Hingga di ujung tenda yang didirikan di area itu, kakiku tidak lagi mampu menahan dinginnya udara yang sedari tadi menembus masuk melalui celah-celah kaus kaki.
ADVERTISEMENT
“gue ambil sepatu dulu, deh.” Ucapku kepada diriku sendiri.
Sembari menahan dingin yang terus saja terasa, aku mempercepat langkahku. Hingga sampai di dekat tendaku, aku melihat satu pemuda yang tak asing, yang sedang berdiri di dekat plang papan “Pasar Bubrah”.
Itu Yoyo. Aku segera menghampirinya dengan sedikit berlari, meski kaki selalu amblas tertelan pasir.
“Lu darimana, Yo?”
“Dari rumah Si Mbah.”
“Lho, desa itu bener-bener ada?” tanyaku heran.
“Iya.” Jawabnya singkat.
Lalu, Yoyo merogoh sakunya. Mengambil dua batang rokok—satu untuknya, satu untukku. Aku pun diberi pinjam koreknya untuk menyalakan rokok itu.
“Jaga yang lain ya!” Yoyo bersungut. Memonyongkan bibir bawahnya, seraya menatap langit yang mulai sedikit lebih terang.
“Lu gak akan ikut ke puncak?” tanyaku.
ADVERTISEMENT
“Ikut.”
“terus?”
“Jagain aja temen-temen kita kalau habis pendakian ini, lu mau ngajak mereka lagi mendaki gunung lain.” jawabnya.
“lah, lu mau kemana emang?” tanyaku tersentak.
Matanya yang semula terus menatap langit, ia tundukkan, sembari mematikan api rokok yang masih panjang itu.
“ke luar negeri.” Jawabnya sambil tersenyum kepadaku. Tergurat tiga garis senyum di setiap pinggiran matanya.
“serius lu?” tanyaku kembali.
“Iya. Udah, siap-siap ayo!” Yoyo beranjak sambil sedikit memukul bahuku.
Aku memang pernah mendengar keinginannya untuk ke luar negeri. Dia ingin bekerja di perusahaan IT yang berlokasi di Singapura. Memang kebetulan, Om dan Tantenya tinggal disana.
Katanya, gaji IT yang berbasis di luar negeri, gajinya selangit. Sehingga lumayan untuk membantu ekonomi keluarganya yang berkecukupan.
ADVERTISEMENT
Tapi apakah secepat ini?
Aku mengikuti Yoyo dari belakang. Dia menghampiri tendanya. Sementara aku, singgah di tendaku. Aku melihat Ibang dan Kucay. Di antara keduanya, sepertinya tengah ada perdebatan yang serius.
“si Kucay katanya mau naik ke puncak tusuk gigi, Dip.” Ucap Ibang, mengerutkan dahi.
Mendengar pengakuan itu, darahku berdesir. Aku sedikit terkejut karena tempat itu adalah tempat dimana seorang pendaki terpeleset lalu terjun bebas ke kawah, hingga akhirnya tewas beberapa waktu lalu.
“apa-apaan lu, Cay. Lu gak tahu apa, puncak itu pernah makan korban?” aku memarahinya.
“slow aja, Dip. Gue gak akan kenapa-napa. Gue penasaran aja pengen naik itu puncak.”
“lu bisa jamin? Kalo elu kenapa-kenapa, kita juga yang repot. Inget ibu lu. Gak usah macem-macem deh, Cay.” Aku terus menggerutu.
ADVERTISEMENT
“pokoknya, gue gak akan apa-apa. gue yakin.” Ucap Kucay bersikukuh dengan pendiriannya.
Aku melihat wajah yang penuh keyakinan dari Kucay. Dengan berat hati, aku tidak bisa melarangnya lagi.
“ya udah, ayo kita kumpul dulu!” seruku sembari menahan kekesalan.
***
Kami berkumpul di antara dua tenda—tendaku dan tenda Yoyo. seperti apa yang dilakukannya di basecamp, Yoyo memimpin doa.
“Guys, pendakian ini, gak akan pernah bisa kita lupain. Sebentar lagi, kita berdiri di tanah tertinggi gunung ini. semua lelah akan sirna, semua harap akan segera terkabul” Yoyo bertutur berbarengan dengan kepulan asap dari nafas yang ia hembuskan.
“dari sini, gue udah titip ke si Dipta. Kalian mau mendaki kemana pun, percaya sama dia. Sekaligus, ini pendakian terakhir gue bareng kalian.” Lanjut Yoyo. matanya menatap agak lama kepada Mulki dan Desti.
ADVERTISEMENT
Perkataannya membuat semua bingung. Ibang, Gundil, Mulki, dan Kucay saling memandang.
“Lu mau kemana sih, Yo?” tanya Gundil.
“mau ke luar negeri dia, kayaknya jadi mau menetap di Singapur.” Aku menjawab pertanyaan Gundil.
“santai aja kali, Yo, kalau elu balik ke Indo, sempet-sempetin aja mendaki bareng kita lagi.” Ucap Ibang sambil menepuk-nepuk bahu Yoyo.
Yoyo hanya membalasnya dengan senyuman dan berkata, “udah, kita berdoa dulu. Berdoa, mulai!”
Kami menundukkan kepala. Bukan hanya itu, lisan dan hati kami berkolaborasi memanjatkan doa mengharap keselamatan dari Sang Pencipta.
Matahari masih sedikit malu-malu menunjukkan dirinya. Di balik desiran angin dingin yang membuatku bergidik, tatapanku tertuju fokus ke pijakan tertinggi gunung Merapi.
“berdoa, selesai.” Yoyo mengakhiri doa. Ia lalu menjulurkan tangannya ke tengah-tengah lingkaran. Diikuti oleh aku dan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
“semangat!” teriak Yoyo. kami menjatuhkan tangan dengan cepat. Melemparkan segenap rasa keraguan berganti dengan semangat yang tinggi.
Yoyo menepuk bahuku. Kami berjalan beriringan. Tidak ada leader, ataupun sweeper. Semua mata tertuju pada titik yang sama.
Kontur pasir yang terus menelan langkah kaki, sedikit menghambat. Padahal, yang terlihat oleh mata, puncak sudah sangat dekat. Namun apa daya, sebuah penglihatan hanyalah ilusi, yang dapat menipu diri.
“Dip, Yo. Bentar.” Teriak Mulki dari belakang.
Aku dan Yoyo menoleh. Desti nampak memegangi kepalanya. Segera, aku berlari ke tempat mereka berdiri.
“Pusing.” Erang Desti.
Wajahnya sedikit pucat. Mungkin Desti sudah banyak mengeluarkan darah. Aku khawatir. Jujur, ini yang aku khawatirkan jika membawa orang yang sedang haid, bukan hanya mitos yang kupercayai. Ada sedikit penjelasan ilmiah yang membuatku tidak mau membawa Desti kesini.
ADVERTISEMENT
“balik ke tenda aja, Des. Tunggu disana!”
Desti menatapku. Lalu menatap Mulki. Tatapan itu sama seperti sesaat sebelum Desti mengancam hubungannya dengan Mulki.
Akhh, terserah deh. Gumamku dalam hati.
Desti tetap ingin memaksakan. Mulki memintakan minum untuk kekasih egoisnya itu kepada Yoyo. Dengan sukarela, Yoyo memberikan botol minumannya kepada Mulki.
Setelah Pangeran Mulki memanjakan Ratunya, kami melanjutkan langkah.
***
Satu jam waktu tempuh dari tenda ke puncak Merapi. Pemandangan indah dari matahari yang masih mulai terbit, dan pemandangan mengerikan dari kawah yang seakan ingin melahap tubuh-tubuh yang bengal, tersaji disana.
Lelahku luruh. Semua beban yang kupikul dari awal berangkat dari Bandung, sirna sudah. Berganti kesenangan dan kebahagiaan yang tak dapat kulukiskan meski dalam kata.
ADVERTISEMENT
Kupajamkan mata sejenak. Menikmati setiap desiran angin kencang yang menerpa wajah.
Indah sekali, Tuhan. Ajari kami menjaga keindahan ini. Jangan sampai negeri ini, dirusak oleh tangan-tangan yang tidak pernah mengerti akan keindahanMu. Ajari kami menjaganya... ajari kami menjaganya.
Kubuka kembali mataku secara perlahan. Hamparan awan menggumpal-gumpal layaknya samudera dengan ombaknya. Ditambah, warna putihnya diberi sedikit gradasi oranye oleh cahaya matahari yang baru muncul.
Aku menghampiri Yoyo.
“Yo, seneng banget gue bisa kesini. Makasih, ya.”
Yoyo tersenyum sembari mengangguk.
“habis ini, kita mau ke gunung mana lagi, Yo?”
“Oh iya. Gue lupa habis ini, elu jadi ke Singapur, kan.” lanjutku. Sebenarnya aku menahan kesedihanku. Tapi, seperti kata pepatah, seorang laki-laki pantang menunjukkan dirinya sedang bersedih.
ADVERTISEMENT
Dalam duduknya, Yoyo menatap langit. Dia berkata, “Gue, mau ke bulan aja. Gue pengen tahu rasanya ngelihat indahnya bumi dari tempat yang lebih tinggi.”
“Yeehh. Malah bercanda lu.” Aku mendorong bahunya.
**
Matahari sudah menunjukkan dirinya dengan sempurna. Kulihat, Kucay akan melancarkan aksinya. Ditemani Ibang dan Gundil.
“si Kucay mau kemana?” tanya Yoyo menyikut bahuku.
“dia mau naik ke puncak tusuk gigi katanya.” Ucapku.
“ohh, hati-hati aja.” Ujar Yoyo.
“Woy, Cay, elu hati-hati ya!” aku meneriaki Kucay. Aku tidak ingin dia menerima hal pahit seperti pendaki yang sebelumnya terjatuh disana.
“Siap.” Teriak Kucay dari jauh.
Aku kembali menatap indahnya samudera awan. Kuambil rokok yang ada di saku celanaku untuk kuhisap. Begitupun dengan Yoyo.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, aku mengakui, merokok bukanlah hal yang baik. Namun apa mau dikata, aku sudah kecanduan. Pernah beberapa bulan aku berhenti merokok karena pacarku dulu. Namun, setelah aku putus hubungan dengannya, aku kembali merokok.
Pesanku, bagi kamu yang memang bukan perokok dan hendak mendaki gunung, masih banyak cara lain untuk sekadar menghangatkan badan. Seperti meminum wedang jahe atau memakan mie instan.
**
“Dip.” Mulki memanggilku. Dia tersenyum picik. Matanya terus berkedip cepat. Hmmm, aku tahu maksudnya.
“Belum puas lu manas-manasin gue. Mana, sini HP lu.”
“Lu emang sahabat gue yang pengertian, Dip. Makanya, cari pacar dong, jangan kalah sama mantan lu yang udah nikah. hahahaha” tawa Mulki memekik telingaku. Kakiku menendang pantatnya, tapi Mulki berhasil mengelak.
ADVERTISEMENT
“udah, sana.” Aku menggerutu.
Aku menyelaraskan lensa kamera dengan pose mereka. kuatur posisi mereka supaya terlihat bagus—kebetulan kakakku adalah seorang potografer. Sehingga, aku mengenali sedikit ilmu tentang seni potret.
Terus kucocokkan posisi mereka agar terlihat serasi dengan view samudera awan sebagai background-nya.
“Astaga.” Aku terkaget sendiri setelah melihat sebuah tangan pucat pasi yang menyampir di bahu Mulki. Tangan itu sama seperti tangan yang kulihat sebelumnya.
Aku berniat akan meneriakinya. Memberitahu ada tangan yang menyampir santai di bahunya. Namun, setelah kupalingkan mataku dari layar HP, dalam kenyataannya, tangan itu tidak ada. Aku memeriksa kembali layar HP dan benar, tangan itu memang sudah menghilang.
“Bang Dipta, ayo cepet!” teriak Desti sembari menyandarkan kepalanya menyamping di bahu Mulki.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa jepretan yang kulakukan, aku mendengar riuh dari pendaki lain yang berlarian menuju satu titik. Puncak tusuk gigi. Ya Tuhan, Kucay
.
“Ada yang jatuh ... ada yang jatuh” teriak salah satu pendaki yang tak kukenal.
Tak pikir panjang, aku segera berlari ke puncak yang membahayakan itu. Yoyo, Mulki, dan Desti pun ikut berlari menghampiri titik yang sama.
Sesampainya di kerumunan, dapat kulihat, Gundil panik. Dia terus meneriaki nama Kucay.
Benarkan, apa aku bilang.
Kami membelah kerumunan. Memeriksa kondisi apakah Kucay sudah terjatuh jauh ke dalam sana. Aku dilanda kepanikan. Apa yang harus aku katakan pada ibunya? Masa iya, kejadian tahun lalu terulang kembali, dan kali ini menimpa saudaraku?
ADVERTISEMENT
Aku melihat Ibang seperti memegangi sesuatu di tepian jurang. Aku mendekatinya. Syukurlah, ternyata Ibang tengah memegangi Kucay.
Aku lantas meminta bantuan pendaki lain untuk menarik Kucay, lalu membawanya ke titik aman.
“Gue bilang juga apa.” aku memarahi Kucay. Dia hanya terdiam dengan nafas tersengal.
Dengan rasa malu, aku berterima kasih kepada pendaki-pendaki yang membantu evakuasi kecelakaan Kucay. Hampir saja. Hampir saja Kucay menjadi headline news di media-media negeri ini.
Aku memutuskan untuk kembali turun menuju tenda. Semua menyetujui keputusanku. Aku rasa cukup. Sekarang waktunya, untuk kembali ke rumah masing-masing, dengan selamat.
Sampailah kami di tenda. Sesegera mungkin, kami membereskan barang-barang, merapikannya kembali ke dalam cerrier. Tak butuh waktu lama, kami semua bersiap untuk meninggalkan Pasar Bubrah.
ADVERTISEMENT
Sejenak, aku menghadap Puncak Merapi. Dalam hati ini, tak rela aku berpisah dengannya. Namun, aku berharap, suatu saat dapat kembali ke tempat ini. Selamat tinggal, Merapi!
Kami melakukan koordinasi terakhir sebelum menuruni gunung. Dikomandoi oleh Yoyo, kami semua saksama mendengar arahannya.
Yoyo memintaku untuk menjadi leader. Sedangkan dia menjadi sweeper. Kali ini, aku mempunyai rasa percaya diri yang tinggi menerima titah Yoyo.
Rombongan kami mulai berarak turun. Terus melangkah hati-hati untuk bisa selamat sampai basecamp. Kewaspadaan perlu ditingkatkan, ketika kami dihadapkan dengan jalur yang mempunyai kemiringan yang sangat ekstrim. Salah saja tumpuan, kami bisa terjatuh.
Dengan cepat, aku menuruni jalur pendakian. Turunan demi turunan itu kulewati dengan penuh kehati-hatian. Hingga akhirnya, aku merasa ada yang aneh dengan sekelilingku. Nampak asing. Bukan seperti jalur pendakian yang kemarin kulalui.
ADVERTISEMENT
Aku memastikan dengan menoleh ke belakang. Kulihat Yoyo, Mulki, dan desti tidak ada. Hanya ada Gundil, Kucay, dan Ibang.
Kepanikanku berusaha kuredam. Aku meminta semuanya untuk menunggu. Siapa tahu Yoyo, Mulki, dan Desti masih berjalan di belakang, dan segera menghampiri kami.
Setengah jam kami menunggu, Yoyo belum juga datang. Kami pun tidak berpapasan dengan pendaki lain. Padahal, saat turun dari Pasar Bubrah tadi, rombongan pendaki lain ada yang ikut turun juga.
Waktu semakin siang. Tidak mungkin bagiku untuk kembali ke atas. Karena kalau begitu, waktu akan terkuras banyak. Sedangkan, Mas Irwan sepertinya sudah di jalan untuk menjemput.
Aku meyakinkan diri dengan melihat jalan setapak yang terdapat di hadapanku. Jalan itu terlihat normal. Bukan jalan yang jarang dilalui oleh manusia. Aku yakin, jika menelusuri terus jalan ini, kami pasti menemukan jalan keluar.
ADVERTISEMENT
Aku memutuskan untuk terus merangsek masuk ke dalam jalan yang asing itu. Terus kujejaki jalan yang kurasa normal untuk dilalui.
Setelah beberapa lama kami berjalan, benar saja, dari kejauhan aku dapat melihat sebuah persimpangan. Tepat di persimpangan itu pula, aku melihat Yoyo, Mulki, dan Desti. Aku mempercepat langkahku untuk segera menghampiri mereka.
Semakin dekat jarakku dengan mereka, semakin jelas aku melihat, wajah ketiganya pucat pasi. Mulki beberapa kali terlihat menahan muntah. Dan Desti, hanya terkulai lemas bersandarkan tanah. Sementara Yoyo, dia berusaha keras mengatur nafasnya.
Keadaan Desti sangat lemah. Aku yakin sekali, kalau gadis itu kehabisan banyak tenaga.
“Gimana ini, Yo?” tanyaku.
“Lanjut aja. Tanggung sebentar lagi.” Jawabnya.
Aku membopong Yoyo. Kucay membopong Mulki, dan Ibang membopong Desti. Tidak jauh dari persimpangan tadi, kami sampai di Pos satu.
ADVERTISEMENT
Aku sempat menanyakan kepada Yoyo, apakah akan rehat sejenak disana atau lanjut. Namun, dengan yakin walau terlihat pucat, Yoyo ingin melanjutkan perjalanan.
Tidak ada penolakan dari Mulki ataupun Desti. Mereka berdua setuju dengan Yoyo dan seperti ingin buru-buru sampai di basecamp.
Kami terus melanjutkan perjalanan. Walaupun banyak terhenti, aku sangat bersyukur. Kami bisa selamat sampai basecamp.
Rasa kebahagiaanku terbayar sudah. Mitos yang melekat pada pendaki yang sedang haid, kami lewati dengan susah payah. Namun sepertinya, itu hanya prasangka awalku saja.
Keresahan ternyata belum juga reda, ketika kami menginjakkan kaki di tanah parkiran basecamp, Yoyo tiba-tiba pingsan.
Aku langsung membawa Yoyo ke salah satu warung disana. Bersama Mulki dan Desti yang kondisinya tidak kalah memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Aku berusaha untuk tetap tenang, dengan menciumkan minyak angin ke hidung Yoyo. aku harap dia lekas sadar. Akan tetapi, Yoyo tidak bereaksi apapun.
Gundil segera merogoh saku celananya dan mengambil HP-nya. Ia mengaktifkan kembali HP-nya.
“banyak panggilan tak terjawab dari Mas Irwan.” Ucap Gundil dengan nada sedikit meninggi.
Lantas, Gundil menelpon Mas Irwan.
“Mas Irwan udah deket, masih di jalan.” Bisiknya memberitahu kami. Kemudian, dia mendekatkan kembali HP-nya ke telinganya.
Dalam percakapannya itu, ekspresi Gundil berubah drastis. Kecemasannya terlukis jelas, setelah menerima informasi selanjutnya dari Mas Irwan. Gundil tergesa menutup telponnya.
Dia berkata, “Si Ega, udah ada di rumah Mas Irwan. Dia lagi pingsan.”
Aku dan Ibang saling memandang. Aku sendiri terkejut mendengar kabar itu. Apalagi, semalam aku didatangi Ega di puncak. Tidak mungkin secepat itu dia kembali ke rumah Mas Irwan.
ADVERTISEMENT
Belum sempat aku meredakan kepanikanku karena Yoyo, Mulki, dan Desti terkapar, aku harus menerima kabar buruk mengenai Ega. Kenapa dia?