Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kualat Gunung Merapi: Wejangan (BAB 3)
21 Desember 2020 9:09 WIB
Tulisan dari Didit Galaraka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kualat Gunung Merapi Babak Ketiga
Di dalam rumah yang tergolong besar itu, kami disambut oleh seorang wanita cantik yang nampaknya, umurnya tidak terpaut jauh dari Mas Irwan.
ADVERTISEMENT
“Ini Mbak Lies, istrinya Mas Irwan.” Terang Gundil.
Senyum yang tergurat di wajahnya begitu indah, sedap dipandang. Tangannya ia rapatkan tepat di depan dadanya yang ditutupi oleh kerudung panjang itu—menyalami kami dari kejauhan. Ibang dan Kucay yang mempunyai sifat yang sama—yaitu menyukai wanita cantik, tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Mbak Lies.
“Mata, mata, cuk!” Gundil dengan cekatan mengusap keras wajah mereka berdua dengan telapak tangannya.
Kami dipersilakan duduk di ruang tamu. AC ruangan membuat kami dapat membedakan secara jelas hawa di luar rumah dengan di dalam rumah. Sejuk dan membuat nyaman.
“Nak, bawain minum dari dapur, sini!” Teriak Mbak Lies ke arah sebuah kamar yang berada tepat di samping ruang tamu.
ADVERTISEMENT
“Iya, Bu.” Terdengar suara lembut seorang perempuan dari kamar itu. Suara yang bagaikan nyanyian merdu seorang diva. Dengan cekatan, Ibang dan Kucay bersiap mengawasi siapapun yang keluar dari kamar itu. Sesekali mereka saling melempar senyuman dan saling sikut. Urusan wanita, memang mereka lah yang paling cekatan.
Engsel pintu kamar terdengar ada yang membukanya dengan perlahan. Mataku tertuju ke arah pintu itu memastikan siapa yang keluar.
“Ehh, ada Om Gugun.” Suara lembut yang disertai senyuman itu ternyata datang dari seorang wanita yang dua kali lipat lebih cantik dari Mbak Lies. Rambutnya yang diikat, berkulit putih seakan tak pernah disentuh oleh sinar matahari, sedikit bulu halus ditepian wajahnya membuat setiap gerak-geriknya memberi makna keindahan, apalagi ditambah tahi lalat yang menghiasi pipi kanannya, ditunjang dengan bentuk wajahnya yang oval dan bentuk tubuh yang ideal. Bagiku, dia adalah sosok wanita yang sempurna. Siapapun laki-laki yang meminangnya kelak, dia adalah laki-laki yang sangat beruntung. Dapat kupastikan, Ibang dan Kucay terlihat kegirangan. Mereka seperti menemukan harta melimpah yang jauh terpendam di dalam bumi.
ADVERTISEMENT
“Hai, Niken. Maaf ya nggak ngabarin kamu sebelumnya.” Gundil menyapa wanita itu.
“Kenalin, itu anak saya, Niken.” Ujar Mbak Lies. Ibang dan Kucay beranjak dari duduknya, berebutan menyalami Niken. Berbahaya kalo lama-lama disini, bisa-bisa si Ibang sama si Kucay gak jadi muncak.
“Bang, Cay. Duduk, ganteng!” Pintaku. Tahi lalat yang ikut terbawa oleh senyuman di pipi Niken, kuakui memang semakin menambah aura kecantikannya. Setelah menyalami Ibang dan Kucay, Niken kemudian berjalan menuju belakang rumah.
“Niken, masih sekolah Mbak?” Tanyaku.
“Iya, dia masih kelas 2 SMA.” Jawab Mbak Lies.
“Pasti di sekolahnya jadi incaran banyak lelaki ya, Mbak?” Celetukan Ibang membuat Mbak Lies tersenyum.
“Iya, dong. Kaya mamanya dulu jadi incaran para cowok di kampus.” Mas Irwan menimpali kami sambil menuruni tangga. Mendengar pengakuan itu, Mbak Lies tersipu malu.
ADVERTISEMENT
“Udah Mas siapin satu kamar di atas, temen kamu yang cewek, tidur sama Niken aja ya!” Ucap Mas Irwan kepada Gundil.
“Semua tas, simpen di gudang aja. Masih banyak ruang yang kosong kok.” Terusnya seraya duduk di samping Mbak Lies.
Sejurus kemudian, datanglah Niken dengan membawakan kami minuman. Reaksi Ibang dan Kucay tak bisa dielakkan. Mereka berdua tetap dengan keterpesonaannya kepada Niken.
“Maafin temen-temen saya ya, Mas?” Gundil mungkin merasa risih dengan kelakuan Ibang dan Kucay. Mas Irwan menanggapinya hanya menggangguk sambil tersenyum. Setelah melaksanakan tugasnya, Niken kembali ke kamarnya.
Sesampainya Niken ke dalam kamarnya, Ibang mengingatkan yang lain dengan pesan yang disampaikan Mbok Irah. Bau busuk itu harus segera dihilangkan.
ADVERTISEMENT
“Ohh, Iya, inget pesen wanita yang kita temui di Prambanan, kita harus mandi!” Serunya.
Aku tidak langsung menuruti perintahnya itu, Aku meminta Ibang dan yang lainnya, terlebih dahulu membersihkan diri di kamar mandi. Aku beralasan ingin memindahkan dulu barang-barang ke dalam gudang, dan merapihkannya. Padahal, aku ingin segera ke kamar untuk beristirahat sejenak. Aku, Gundil, dan Yoyo segera menuju gudang untuk menyimpan semua cerrier yang kami bawa.
Gudang itu berada di bagian belakang rumah, tepat di depan pintu masuknya, terdapat sebuah meja makan dan kitchen set. Gudang itu bukan seperti apa yang aku bayangkan sebelumnya: gelap, pengap, penuh debu. Gudang ini layaknya kamar biasa: pencahayaan yang baik, sirkulasi udara yang baik—karena terdapat sebuah jendela yang langsung mengarah ke halaman belakang yang ditanami banyak pepohonan, dan sedikit sekali debu yang terdapat disana. Mbak Lies rajin banget bersihin ruangan ini, pikirku. Gudang ini hanya menyimpan beberapa barang yang sudah tidak terpakai, seperti sepeda, printer, dan perabotan yang lainnya. Memang, masih banyak celah kosong yang terdapat disana, sehingga, aku dapat leluasa menyimpan delapan cerrier di ruangan itu. Terdengar jelas suara guyuran air dan senandung cinta dari Ibang di kamar mandi yang berada tepat di samping gudang.
ADVERTISEMENT
Aku kembali, menutup pintu gudang supaya tak terlalu banyak debu yang masuk. Aku dituntun oleh Gundil ke lantai dua melewati tangga berbelok—dekat ruang tamu. Kami menaiki tangga itu lalu belok kanan untuk sampai tepat di ruangan keluarga: disana terdapat sebuah karpet dan televisi LED yang terpajang di dinding. Gundil lalu menunjukkan satu ruangan lain di samping kamar Mas Irwan, sebagai tempat kami bertujuh dapat beristirahat—kamar yang belum ada kasurnya sama sekali. Kecuali hanya dihiasi oleh satu lemari baju dan meja TV di dalamnya. Kamar itu beriringan dengan balkon, mempunyai dua jendela—berbeda sisi, yang tepat mengarah ke luar, dan satunya lagi mengarah ke balkon.
Suara langkah kaki dari tangga terdengar buru-buru, Kulihat, itu Yoyo yang sedikit tergesa-gesa menuju kamar yang kami tempati. Yoyo menyusulku dan Gundil.
ADVERTISEMENT
“si Ibang, lama banget mandinya.” Tegasnya. Tak lama, Kucay pun turut menyusul Yoyo ke kamar atas.
“Capek, Ah, pengen rebahan dulu.” Ucap Kucay dengan malas.
Lidahku sudah terasa semakin kecut, membuatku ingin segera merasakan nikmatnya sebatang rokok. Aku mengajak Yoyo ke balkon untuk melepaskan rasa kecut di lidah ini. Sebatang rokok yang membuatku merasa rindu, kunyalakan dengan api. Ahh, nikmat memang. Di samping kenikmatan hakiki yang kurasakan di setiap hisapan, pandanganku teralihkan kepada Desti yang berada di luar—tepat berdiri di depan gerbang sebuah lahan kosong sebrang rumah ini. Gerak-geriknya sedikit mencurigakan, dia seperti melihat sesuatu ke arah sana. Ingin kusahuti dia, tapi Mulki lebih cekatan, mengajaknya masuk kembali ke dalam rumah.
ADVERTISEMENT
Kenikmatan itu tak terasa menemaniku hingga senja tiba. Kembali kulihat dari balkon, Desti keluar seorang diri untuk menghampiri lahan kosong itu. Lagi-lagi, tak lama berselang, Mulki membawa Desti kembali ke dalam rumah.
“Mau kemana, Yo?” Aku melihat Yoyo yang membuang rokoknya di tempat sampah yang berada di balkon, terburu-buru menuju lantai bawah—tanpa menjawabku. Aku penasaran, ada apa dengan dia? Akupun mengikutinya dari belakang.
“Kenapa, Dip?” Tanya Ibang yang sudah berada di kamar sejak tadi.
“Biasa ini si Yoyo.”
Ibang, Kucay, dan Gundil mengikutiku dari belakang. Mungkin merekapun penasaran dengan apa yang terjadi. Kami berempat menuruni tangga, menyusul Yoyo yang sedang tergesa-gesa. Sesampainya di lantai bawah, aku melihat Yoyo menghampiri Mulki dan Desti yang sedang duduk di sofa. Kulihat, Ega masih dengan rokoknya berada di depang pintu masuk.
ADVERTISEMENT
“Kamu Cuma halusinasi, sayang.” Itu yang kudengar dari mulut Mulki. Yoyo mendekat, duduk di depan sepasang kekasih itu, lalu tanpa basa-basi mengeluarkan sebuah pertanyaan langsung ke intinya.
“Des, lu lagi haid?” Tanya Yoyo.
Awalnya Desti terdiam, Yoyo mengulangi pertanyaan itu lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. Mulki akhirnya mengambil peran menanyakan hal yang sama. Dengan kondisinya yang semakin terpojok, Desti mengangguk.
“Celaka kita, Dip, masalah bertambah” Yoyo menghela nafas.
Kami semua kebingungan. Aku sendiri sebenarnya tidak rela jika pendakian Gunung Merapi harus dibatalkan. Di satu sisi, aku tidak mau kualat menghadapi mitos mendaki bersama orang yang sedang haid, di sisi lain, aku ingin tetap mendaki Gunung Merapi. Bisa saja, kami tetap melakukan pendakian, asalkan, Desti tetap tinggal di rumah Mas Irwan.
ADVERTISEMENT
“Des, gimana kalo lu tetep disini aja, kita-kita lanjut mendaki, paling sabtu siang juga pulang.” usulku.
Desti menatapku dengan tajam, “Gak mau, gue juga pengen ngerasain mendaki Merapi bareng kalian.”
“Tapi, Lu lagi haid, Des?”
“Pokoknya, gue pengen tetep kesana.”
Mulki berusaha mendinginkan suasana dan mengambil alih keadaan. Dia terus membujuk kekasihnya itu supaya tidak ikut mendaki. Akan tetapi, bukannya semakin luluh, Desti malah semakin berontak dan mengancam akan memutuskan hubungannya dengan Mulki, jika dia tidak diizinkan untuk mendaki. Mulki tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang dia bisa, hanya terpaksa menuruti kemauan Desti.
Ega kulihat masuk ke dalam rumah. Dengan santainya, dia berkata, “Lagi-lagi percaya mitos, biarin aja si Desti ikut, dia gak akan kenapa-kenapa kok.”
ADVERTISEMENT
Yoyo angkat bicara—mendebat ucapan yang dikeluarkan oleh Ega. Namun, Ega tetap dengan pendiriannya. Dia terus ngotot ingin membawa Desti ikut, seakan ingin membuktikan kalau mitos itu tidak ada. Bahkan, sesekali Ega mengeluarkan kata-kata kasarnya kepada Yoyo.
Ibang yang sedari tadi kulihat diam memperhatikan gerak-gerik Ega, akhirnya mengambil tindakan. Ia melayangkan pukulannya tepat di pipi Ega sebelah kiri. Ega terpental—jelas, anak egois itu dipukul oleh pendekar silat.
“Bangsat emang lu, ya. Hargain Yoyo.” Teriak Ibang sambil menunjuk Ega.
“Lu ini emang mau cari masalah ya?” Kucay menghampiri Ega yang tergelepar di lantai, menarik kerah bajunya—seakan ingin mengambil bagiannya menghajar Ega. Aku segera memisahkan mereka dan meredakan suasana. Aku tak mau pendakian ini tercoreng oleh sebuah keegoisan. Mas Irwan—yang berlari menghampiri kami setelah menutup pintu gudang, ikut melerai perseteruan itu. Semua orang rumah: Mbak Lies dan Niken pun keluar dari kamar.
ADVERTISEMENT
Mas Irwan mempertanyakan keadaan. Lantas, aku jelaskan sedetail mungkin. Mas Irwan pun mengerti dan memang, semenjak dia menjemput kami di Candi Prambanan, Mas Irwan sudah merasa ada yang tidak beres dengan Desti. Karena melihat Desti yang bersikukuh, nanti malam Mas Irwan akan memanggil salah satu sesepuh setempat yang juga tetangganya—yang mengerti seputar hal mistis, untuk membujuk Desti. Matahari semakin tenggelam, Mas Irwan meminta kami untuk segera bersiap melaksanakan shalat maghrib.
Sore itu, kami semua beranjak ke kamar. Kulihat Ega yang ditemani Mulki hanya terdiam memegangi pipinya, tidak berani memasuki kamar. Nyalinya mendadak menciut, berbanding terbalik dengan sikapnya semula. Sedangkan di dalam kamar, kami terpojok oleh kebingungan.
“Gue udah ngerasa gak enak di awal kita ke Prambanan.” Yoyo membuka percakapan.
ADVERTISEMENT
Pantas, mungkin itu yang membuatnya memundurkan langkahnya ketika akan menaiki bus hingga banyak melamun.
“Terus gimana ini?” Tanya Kucay.
“Dilema kita, maju kena, mundur kena.” Jawab Yoyo.
“Kalo dari gue, lebih baik kita batalin pendakian ini, daripada kejadian yang enggak-enggak.” Lanjutnya.
“Batalin gimana, Yo? Kita udah capek-capek sampe sini, kasian juga si Mulki entar diputusin pacarnya. Kita tunggu aja, Siapa tahu ada jawaban nanti.” Gundil mengangkat suaranya.
“Iya, Yo, siapa tahu ada jawabannya. Lagian, kita jangan nyerah gitu aja.” Ucapku berusaha tenang. Yoyo tertunduk, ia sepertinya sedang menyemangati dirinya sendiri. Di bawah lampu kamar yang sedikit temaram itu, kami menunggu kepastian dari Mas Irwan yang akan membawakan kami sedikit titik pengharapan.
ADVERTISEMENT
Ega dan Mulki berpindah dari ruang keluarga menuju balkon. Kebetulan, aku duduk di samping jendela yang mengarah langsung ke arah balkon. Sehingga, dapat terlihat kegiatan apa saja yang ada di luar sana. Ega dan Mulki, kulihat seperti melakukan percakapan yang serius. Sesekali Mulki seperti menahan Ega. Aku tidak dapat memastikan apa yang mereka bicarakan, karena terhalang jendela dan jarak mereka yang cukup jauh berada di ujung balkon. Tak berselang lama, aku melihat Ega beranjak tanpa ditahan oleh Mulki. Aku mengetuk kaca jendela, memberi isyarat pertanyaan, kemana Ega pergi. Mulki lalu memberiku jawaban dengan mendekatkan tangannya ke mulutnya. Ohh makan.
“Ehh, Iya, daripada terus bengong sambil nunggu Mas Irwan, kita cari makan yuk!” Ajakku kepada teman-temanku.
ADVERTISEMENT
Mereka menyetujui ajakanku dan keluar dari kamar menuju lantai bawah, kemudian keluar rumah untuk mencari makanan di angkringan terdekat. Gundil memberi tahu, kalau ada satu angkringan—dan hanya satu-satunya, yang enak dan murah. Dia membawa kami ke jalan yang sedikit memutar. Sambil jalan-jalan, katanya. Kami memutar jalan cukup jauh. Setelah sekitar berjalan seratus meter, aku melihat sebuah angkringan yang dijejali pelanggan, yang terparkir di atas trotoar jalan. Kami langsung memercepat langkah, menyerbu angkringan itu.
“si Ega mana, Ki, katanya nyari makan?” Tanyaku.
“Gak tau, mungkin dia nyari makan di tempat lain.” Jawabnya.
Satu persatu dari kami memakan makanan yang dijajakan pedagang angkringan, menjejali perut yang sudah terasa sangat lapar. Setelah acara wisata kuliner itu selesai, kemudian kami kembali ke rumah Mas Irwan dalam keadaan perut kenyang.
ADVERTISEMENT
Dari kejauhan aku dapat melihat, dari pintu rumah muncul cahaya yang menerangi halaman. Pintu rumah Mas Irwan terbuka lebar, sehingga ketika aku mendekatinya, aku dapat melihat dari luar, sedang duduk di sofa ruang tamu, seorang yang asing sekali bagiku. Itukah sesepuh yang Mas Irwan maksud?, aku yakin karena melihat penampilannya. Kami bergiliran memasuki rumah dengan sungkan. Guratan senyum yang terlempar dari wajah orang yang berada di samping Mas Irwan itu menyapa kami.
“Ini Mbah Wongso, salah satu sesepuh disini. Kalian duduk!” Mas Irwan memperkenalkan seseorang pria berperawakan kecil, rambut gondrong yang sudah memutih, dan raut wajah yang sedikit membuatku sungkan. Kami semua duduk di sofa ruang tamu untuk melihat Mbah Wongso membujuk Desti. Kami terlebih dahulu dibawa berbasa-basi oleh Mas Irwan, agar sedikit mengenal sosok Mbah Wongso tu.
ADVERTISEMENT
“Kamu Desti, ya?” Di sela-sela percakapan kami, Mbah Wongso menunjuk Desti yang duduk di samping kekasihnya.
Desti mengangguk sungkan. Lantas, Mbah Wongso melanjutkan pembicaraannya.
“Ada beberapa hal yang harus kita hormati sebagai pendatang, apalagi ini mau menyambangi tempat yang sakral di tanah jawa.”
“Disana terdapat beberapa pantangan, hal pertama yang harus kita taati adalah tidak mendaki di malam jumat. Saya yakin, kalian kesini karena menghormati hal itu. Yang kedua, jangan mendaki ketika haid, karena itu akan mengundang hal-hal yang tidak baik. Dan ketiga, saya kira kalian sudah tahu, jangan bertindak macam-macam ketika berada di alam. Apalagi di Merapi.” Lanjutnya.
Pembicaraan itu seperti angin lalu bagi Desti. Dia tetap bersikukuh ingin ikut mendaki Gunung Merapi. Beberapa kali kami, Mas Irwan, bahkan Mbah Wongso sudah membujuknya. Namun, pendiriannya tetap tak tergoyahkan. Bahkan Mbah Wongso sampai menggelengkan kepalanya dan berkata kepada Mas Irwan, “Angel, bocah iki, Cak. Wis lah sekarepé déwé.”
ADVERTISEMENT
Akhirnya, dengan nada yang sedikit terangkat, Mbah Wongso berkata, “Kalo kamu tetap ikut, bisa nyawa, taruhannya tahu.”
Desti tertunduk, menghela nafas panjang. Kemudian, ia menatap Mulki dan keluarlah kata-kata terakhirnya membuat Mulki tersentak.
“Ya sudah, kalau aku gak boleh ikut, kita putus.” Matanya ganas menatap tajam wajah Mulki.
Mulki sontak menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau hubungannya berakhir begitu saja.
“Ada cara lain nggak Mbah, supaya pacar saya ini tetap ikut?” Tanya Mulki.
Sihir apa yang dikeluarkan Desti? Sampai Kami pun sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya berharap jawaban keajaiban yang keluar dari mulut Mbah Wongso. Kami tidak mungkin membatalkan pendakian ini. karena kalau begitu, Desti pun akan tetap mengancam putus dengan Mulki. Aarrgghh! Kenapa situasi jadi sulit begini? Situasi ini sama saja mengantarkan kami ke lembah duri tajam yang siap menyambut wajah-wajah kami dengan tusukannya.
ADVERTISEMENT
Mbah Wongso menatap kasihan ke arah kami semua, terutama kepada Yoyo, Mulki, dan Desti. Beliau beberapa kali menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
“Sebenarnya ada. Cara paling terakhir jika ingin selamat adalah jangan pernah meninggalkan Desti sendirian ketika mendaki. Kalian semua harus bekerja sama melindunginya dan memperbanyak doa.”
“Tapi aku tidak yakin.” Lanjutnya.
“Aku merasa ada yang tidak beres dari salah satu dari kalian yang saat ini tidak ada disini.”
“Oh iya, si Ega, kemana dia?” Tanya Ibang.
Memang, dari tadi Ega belum juga kembali. Tanpa perintah dan ancang-ancang, Gundil mengambil langkah cepat mencari Ega keluar rumah. Dia tahu semua titik tempat makan yang berada dekat dengan rumah kakaknya itu.
“Gue cari dia!” Gundil permisi.
ADVERTISEMENT
“Gue ikut, Dil.” Aku menyusulnya.
Di bawah langit cerah malam itu, Aku bersama Gundil berlari menyisir setiap titik angkringan dan rumah makan yang kami sambangi. Tetapi hasilnya tetap sama, Ega tidak ditemukan. Jika saja ditemukan, aku ingin membawanya ke hadapan Mbah Wongso untuk diinterogasi—hal apa yang ada di dalam dirinya sehingga Mbah Wongso mengetahui hal rahasia itu. Tapi sepertinya hal itu tidak akan pernah terjadi. Karena Kita tidak menemukan keberadaannya. Apa mungkin dia kabur karena muak sama kita? Aku sempat berpikir demikian.
Aku dan Gundil kembali ke rumah Mas Irwan, tidak membawa hasil apa-apa. Mbah Wongso dan yang lainnya tetap setia menunggu di ruang tamu.
“Ega nggak ada.” Ujar Gundil dengan nafas lelah.
ADVERTISEMENT
“Kita udah tahu, Mbah Wongso tadi bilang, Si Kampret itu udah duluan ke Merapi.” Ucap Ibang dengan kesalnya.
Aku terkejut, lalu berlari ke gudang untuk memastikan—apakah cerriernya masih ada disana atau tidak. Anehnya, aku melihat pintu gudang sedikit terbuka. Aku memasuki gudang dihinggapi rasa penasaran. Benar saja, kucari-cari ke setiap sudut, Aku tidak menemukan cerrier milik Ega. Apa benar dia kabur ke Merapi? Darimana Mbah Wongso tahu hal itu? Aku segera kembali ke ruang tamu.
“Iya, bener, cerriernya juga gak ada.” Ucapku.
“Hati-hati dengan dia, saya menduga ada maksud buruk darinya. Itu saja, selebihnya aku serahkan kepada kalian. Semoga saja, di pendakian besok kalian selamat. Saya pamit.” Jujur, aku mencium ada aroma kekhawatiran yang hebat dari Mbah Wongso. Kukira, Yoyo pun begitu—karena sedari tadi, Yoyo hanya tertunduk tanpa bisa berkata apa-apa.
ADVERTISEMENT
“Bagus kalo dia sendirian muncak ke Merapi, jadi gak akan jadi musibah buat kita.” Ucap Kucay, ketika kami berenam menaiki tangga menuju kamar untuk beristirahat. Desti pun kulihat sudah memasuki kamar Niken.
“Sebatang dulu yuk!” Ajak Ibang.
Sebelum ke kamar, kami menyempatkan dulu menikmati sebatang rokok di balkon rumah. Asap mengepul tebal ke langit, menyampaikan pengharapan kami dan menetapkannya di Nirwana.
Aku membuka percakapan, “Besok, kita ke Merapi jam 9 dari sini. Jangan ada yang telat, jangan ada yang begadang!”
“Gue mau curhat nih!” Terucap kata-kata lesu dari Mulki.
“Sebenernya, awalnya gue gak mau si Ega itu ikut. Gak sama sekali. Tapi dia maksa banget sampe ngancem gue, mau nyelakain gue kalo sampe dia gak diajak.” Lanjutnya.
ADVERTISEMENT
“Dia kayaknya dimanja ortunya ya? Kayak bocah banget perasaan, untung tadi sore tangan gue udah nyicip mukanya.” Timpal Ibang.
“Ya, begitulah, gue gak berani sama dia, dulu di sekolah, dia itu premannya, sampe sekarang sifatnya masih sama. Dia juga agak sering mukulin gue, kalo gue ngelabrak dia.”
Aku terus mendengar keluhan Mulki mengenai Ega. Benar menurutku, Situasi ini sama saja mengantarkan kami ke lembah duri tajam yang siap mencelakai kami seketika itu juga—harga minimal cacat, harga maksimal kami bisa mati. Hanya keajaiban lah yang bisa menolong kami dalam pendakian esok hari.
“Om Gugun, Mbak Desti gak ada.” Teriakan Niken mengagetkan kami semua. Apa lagi ini?
Tanpa pikir panjang, kami menghampiri Niken yang berdiri di samping sofa ruang tamu dengan ekspresinya yang terlihat sangat panik.
ADVERTISEMENT
“Kenapa bisa gak ada?” Tanya Gundil.
“Gak tahu, tadi sih udah tidur, cuman, pas Niken bangun mau ke toilet, Mbak Desti udah gak ada.” Jawab Niken.
“Kita berpencar! sebagian cari di rumah, sebagian cari di luar!” Perintahku.
Aku, Gundil, dan Kucay mencari Desti keluar rumah. Siapa tahu, dia hanya keluar membeli camilan. Tapi karena sudah terlalu larut malam, aku tetap khawatir keadaannya. Sedangkan Yoyo, Ibang, dan Mulki aku perintahkan untuk mencarinya di dalam dan disekitaran rumah.
Kami bertiga mencari ke setiap sudut terdekat dari rumah itu. Karena pasti, Desti belum jauh melangkah. Anehnya, meski kami sudah mencari ke setiap sudut, Desti tetap tidak ditemukan. Bahkan, instingku tak bekerja—mungkin karena merasakan kantuk yang luar biasa. Kami memastikan kembali ke rumah untuk melihat keadaan, siapa tahu, Desti sudah ditemukan.
ADVERTISEMENT
Aku berlari kecil untuk cepat sampai di rumah Mas Irwan—sebenarnya aku ingin kejanggalan ini cepat berakhir sehingga aku bisa menyiapkan tenagaku untuk esok hari. Ketika aku berbelok memasuk gang rumah Mas Irwan, aku melihat Mulki sedang menggotong tubuh Desti keluar dari sebrang rumah. Aku segera berlari menghampirinya.
“Dia ada dimana, Ki?” Aku bertanya kepada Mulki yang masih menggotong tubuh Desti.
“Gue temuin di lahan kosong sebrang rumah, gue lihat dia tidur di sela-sela pepohonan.” Jawab Mulki.
“Tadi gue lihat, gerbang yang ada di lahan kosong itu, pintunya kebuka. Gak tahu kenapa, gue rasa Desti ada disana” Tutupnya.
Aku terheran dan berpikir, ternyata masih ada yang “mengincar” Desti. Setelah di Prambanan, kini kejadian hilangnya itu terjadi di rumah Mas Irwan. Seperti apa yang dilakukan di Prambanan, Mulki mengenduskan kayu putih ke hidung Desti. Tak butuh waktu lama, Desti terbangun.
ADVERTISEMENT
Aku yang penasaran bertanya kepadanya, “Kok bisa ada di lahan kosong itu, Des?”
“Lho, gak tahu, aku dari tadi tidur.” Jawab Desti sedikit pelan.
Tidak mungkin. Apa Desti ini ngigau, sampai berjalan dalam keadaan tertidur? Atau mungkin ada makhluk yang membawanya kesana? Kantukku yang kurasakan sangat, memupuskan segala pertanyaan yang ada di kepala ini.
“Ya udah, gue mau tidur di ruang tamu aja.” Ucapku, sekalian, aku akan menjaga Desti, jika saja Desti mengalami hal serupa barusan.
“Gue juga tidur disini.” Mulki dan Kucay mengusulkan hal yang sama denganku. Kami bertiga tidur di sofa, dan tidak mematikan lampu supaya aku dapat tidur dalam keadaan waspada.
***
Suara indah panggilan ilahi mendesir masuk ke dalam telinga sehingga membangunkanku. Hal pertama yang kulakukan adalah membangunkan Niken. Selain ini juga sudah subuh, di samping aku menanyakan keberadaan Desti, sekalian juga dia melaksanakan shalat subuh.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali kuketuk pintu kamar Niken memastikan keberadaan Desti. Syukurlah, ketika Niken terbangun dan membukakan pintu, aku dapat melihat Desti tertidur pulas di sebuah ranjang. Kemudian aku berbalik untuk membangunkan semua temanku supaya dapat menunaikan shalat subuh. Sebagian dari mereka ada yang terbangun dan ada yang tetap tertidur. Tak apalah, yang penting aku sudah berusaha membangunkan mereka. Aku lantas melaksanakan shalat seraya berharap pendakian esok hari tidak akan terjadi apa-apa. Setelah semua selesai, aku melihat ke arah jendela. Lumayan, kulihat langit pun masih gelap, sehingga masih ada waktuku untuk kembali tertidur dan memasang alarm pukul 7 untuk membangunkanku mempersiapkan keberangkatan.
***
Alarm yang kupasang membangunkanku tepat pukul 7. Yoyo dan Gundil pun terlihat menuruni tangga dalam keadaan yang masih menahan rasa kantuk. Kubangunkan teman-temanku yang tersisa untuk mempersiapkan keberangkatan. Sementara Mas Irwan masih menyiapkan kendaraannya, kami semua keluar rumah sebentar untuk membeli sarapan.
ADVERTISEMENT
Setelah semua persiapan dikatakan telah siap, kami satu persatu menaiki mobil avanza hitam yang beraromakan khas. Seketika aku teringat dengan Ega. Jujur, setelah mendapat wejangan dari Mbah Wongso, aku tidak berharhap bertemu dengan Ega di Merapi—aku khawatir dia berubah menjadi hewan buas yang bisa menyerang secara mendadak. Tuas gas mobil sudah Mas Irwan injak. Perlahan, si Hitam Manis membawa kami menjauh dari rumahnya. Semoga semuanya baik-baik saja.
Kuhelakan nafas panjang, kupejamkan mata ini, dan berkata dalam hati, “Merapi, kami datang.”