Konten dari Pengguna

AI: Peluang Emas atau Ancaman Tersembunyi bagi Masa Depan Manusia?

Philia Zefanya
I am a Sociology Education student at Universitas Negeri Jakarta that passionate in understanding the world through the lens of social technology
27 April 2025 16:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Philia Zefanya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah gemuruh abad ke-21, kecerdasan buatan (AI) muncul bukan sekadar sebagai alat, tetapi sebagai kekuatan baru yang mulai mendefinisikan ulang batas antara manusia dan mesin. Dengan janji kemudahan, efisiensi, dan keajaiban teknologi, AI tampak seperti fajar baru peradaban. Namun di balik cahaya itu, tersembunyi bayang-bayang ancaman sunyi: pergeseran sosial, ketimpangan, hingga krisis etika yang belum pernah dihadapi manusia sebelumnya.
Menghadapi masa depan, di antara harapan dan ketakutan, kita membentuk dunia baru. Foto: id.pngtree.com
zoom-in-whitePerbesar
Menghadapi masa depan, di antara harapan dan ketakutan, kita membentuk dunia baru. Foto: id.pngtree.com
Seperti yang dikatakan Stephen Hawking (2014), “The development of full artificial intelligence could spell the end of the human race.” Peringatan itu seolah menggaung lebih keras hari ini, saat kita menyaksikan AI menyusup ke setiap aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), potensi kontribusi AI terhadap pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mencapai 4,4 triliun dolar AS per tahun. Sementara riset dari INDEF (2024) memperkirakan implementasi AI dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,5% setiap tahun. Dunia menatap AI seakan menatap "El Dorado" baru sebuah tanah emas yang menjanjikan kekayaan tak berujung.
Namun, sejarah membisikkan peringatan: setiap revolusi membawa ketidakadilan baru. Studi dari Oxford Economics (2024) memperingatkan bahwa sekitar 20 juta pekerjaan manufaktur berisiko tergantikan oleh robot pada 2030. World Economic Forum (2024) memperkuat kegelisahan ini, menegaskan bahwa 40% keterampilan di dunia kerja saat ini akan hilang atau berganti dalam lima tahun ke depan.
Seperti yang pernah dikatakan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018),
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, AI bukanlah pahlawan atau monster, ia hanya cermin bagi manusia itu sendiri.
Di sisi moral, AI memperparah dilema. Kasus bias rasial pada sistem COMPAS (Angwin et al., 2016) menunjukkan bahwa algoritma dapat memperkuat ketidakadilan sosial yang sudah ada. Jika tanpa kesadaran etis, teknologi ini hanya akan memperbesar luka masyarakat. Seperti dikatakan Cathy O'Neil dalam bukunya Weapons of Math Destruction (2016): "Algorithms are opinions embedded in code." Maka, menganggap AI netral adalah kesalahan fatal.
Lebih menakutkan lagi, era deepfake kini mengaburkan batas realitas. Laporan Global Disinformation Index (2024) mencatat peningkatan 80% dalam penyebaran konten deepfake hanya dalam dua tahun terakhir. Di dunia di mana kebenaran bisa dipalsukan semudah mengedit gambar, kita menghadapi realitas Benjamin Franklin yang dulu memperingatkan, "Half a truth is often a great lie."
ADVERTISEMENT
Maka, pertanyaannya bukan sekadar: "Apakah kita siap mengadopsi AI?"
Tetapi lebih dalam: "Apakah kita siap mengendalikan monster yang kita ciptakan sendiri?"
Seperti yang dinyatakan Max Tegmark (2017) dalam Life 3.0:
Dalam menghadapi kecerdasan buatan, kita berdiri di persimpangan jalan sejarah: Apakah kita memilih menjadikan AI sebagai sekutu yang memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, atau tanpa sadar membiarkan kotak Pandora terbuka lebar, melepaskan kekacauan yang tak bisa kita kendalikan lagi?