Sekelumit Cerita Kekatolikan di Jepang

Philipus Mikhael Priyo Nugroho
Seorang mahasiswa program sarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga yang memiliki ketertarikan terhadap politik dalam negeri pula, namun tidak melupakan isu-isu sosial dan kemasyarakatan.
Konten dari Pengguna
25 November 2020 13:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Philipus Mikhael Priyo Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jepang Foto: Shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jepang Foto: Shutter stock
ADVERTISEMENT
Di mata orang kebanyakan, Jepang adalah negara yang terkenal akan agama aslinya yakni Shintoisme. Beberapa alasan kuat mengapa agama ini mengakar dengan kuat di keseharian masyarakat Jepang, adalah karena kebijakan isolasionis pemimpinnya di masa lalu, serta ketakutan akan erosi budaya yang mendalam pula.
ADVERTISEMENT
Melihat, membaca, dan memperhatikan kondisi persebaran agama pada demografi Jepang pun, kita dapat menyimpulkan bahwa kepercayaan 'non-Timur' pasti akan selalu menjadi minoritas di kepulauan tersebut. Walaupun begitu, penulis mendapati satu orang Jepang dalam sejarah yang alih-alih hanya menerapkan falsafah Kristiani, ia juga berupaya mengakulturasikannya.
Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai Shusaku Endo, sang "Penulis Katolik Jepang". Terdapat beberapa alasan khusus mengapa titel tersebut disematkan kepadanya. Pertama, karena dirinya tidak menanggalkan iman Katoliknya tersebut hingga meninggal. Kedua, karena dirinya juga menyebarkan pengajaran Kristiani melalui cara yang terbilang sangat unik.
Sumber: id.pinterest.com
Novelis pada umumnya akan memiliki ciri khusus yang membedakannya dari penulis lainnya. Bagi Endo, ciri khusus tersebut adalah tema yang dibawakannya, sekaligus cara ia menyebar dan memberikan pemahaman tentang Kekristenan kepada masyarakat Jepang.
ADVERTISEMENT
Shusaku Endo dikenal oleh karena tema-tema unik yang jarang dibawa oleh penulis lainnya. Tajuk yang sering dituliskannya berkutat kepada perspektifnya dan masyarakat Jepang pada umumnya tentang Yesus yang 'seharusnya'. Pun dengan derita yang dijalaninya hidup sebagai seorang minoritas.
Novel-novel Endo yang paling menunjukkan tema-temanya tersebut penulis rangkum sebagai berikut. Di antaranya White Man (1955), Wonderful Fool (1959), Foreign Studies (1965), Silence (1966), Life of Jesus (1973), The Samurai (1980), dan karya besar terakhirnya, Deep River (1993). Selain Life of Jesus, tentu pertanyaan akan muncul di manakah pengajaran Yesus akan dilesapkan ke dalam novel-novel tersebut.
Meskipun dengan adanya kebingungan tersebut, dengan praktik pelesapan alegori dan metafora tentang kehidupan Yesus di dalamnya, Endo telah berupaya untuk menguatkan akar Kekristenan di 'tanah rawa' perubahan seperti Jepang. Dalam kata lain, ia berusaha membawa Katolik dengan atribut agama yang dikenal oleh masyarakat paling susah dimasuki nilai asing selayaknya Jepang.
ADVERTISEMENT
Menurut Kato, dalam Philips (2003), cara yang diambil oleh Endo ini berasal dan dipengaruhi oleh persepsi orang Jepang dalam menganut konsep Keilahian. Mereka memandang bahwa Tuhan (Dewa), sepatutnya 'menyerupai' seorang Ibu yang pemaaf dan bijak, ketimbang seorang Ayah yang tegas dan penuh hukum.
Sumber: koorong.com
Di dalam Life of Jesus juga, dirinya secara gamblang menyatakan bahwa Tuhan adalah Ia yang mengambil rupa yang mirip dengan pengikut-Nya. Ada pun melalui depiksi penderitaan, perjuangan bersama, serta tuntunan sejati walau lemah secara duniawi, Endo menganggap cara-cara tersebut haruslah bagaimana Katolik diperkenalkan di benak orang-orang Jepang.
Melalui salah satu novel lainnya berjudul Silence, Endo kembali menyatakan posisinya tentang iman Katolik. Sebagain kritiku bahkan menyebut buku tersebut merupakan mahakarya dari sang Penulis Katolik Jepang. Akan tetapi, dengan dirilisnya buku itu, dunia Katolik sempat digegerkan dengan jalan cerita yang Endo patrikan.
ADVERTISEMENT
Seperti dituliskan di dalamnya, dikisahkan seorang Pastor Jesuit bernama Rodriguez harus dihadapkan kepada pilihan yang sulit di Jepang abad ke-17. Usahanya menyebarkan Kekristenan haruslah dirundung hambatan ketika Shogun Tokugawa mendengar kabar tentangnya dan memaksa Rodriguez murtad dari imannya, atau nyawa penganut lainnya menjadi taruhan, yang mana Rodriguez merelakan imannya.
Murtad, apalagi bagi seorang pemuka agama adalah suatu dosa besar di dalam Katolik. Namun, dalam sebuah wawancara dengan karibnya, seorang Pastor Jesuit bernama Johnston di tahun 2016, Endo memberitahu bahwa beribadah adalah soal menghadapi tantangan iman apapun. Pandangan ini, nantinya dibagi pula oleh seorang biarawati di California yang percaya bahwa Rodriguez tidak pernah kehilangan iman Katoliknya, walau harus menjalani hidup murtad.
sumber: medium.com
Sekiranya begitu cerita tentang dinamika Kekatolikan di Jepang, yang penulis bisa sarikan dari Shusaku Endo, sang Penulis Katolik Jepang. Penulis berharap dengan sangat bahwasanya para pembaca sanggup mendapat pengetahuan lebih dan dapat memetik pula pembelajaran tentang kasih dari tokoh yang diceritakan.
ADVERTISEMENT
Penulis adalah mahasiswa tahun pertama Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya
Referensi:
Johnston, William, 2016. “From the archives: Shusaku Endo discusses faith with his Jesuit translator” [daring], America The Jesuit Review, 30 September. dalam https://www.americamagazine.org/issue/vantage-point/interview-shusaku-endo [diakses 29 Oktober 2020].
Phillips, Caryl, 2003. “Confessions of a true believer” [daring], The Guardian, 4 Januari. dalam https://www.theguardian.com/books/2003/jan/04/featuresreviews.guardianreview15 [diakses 30 Oktober 2020].