Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Growth 8 Persen: Bisa, Tapi?
28 Oktober 2024 12:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Pihri Buhaerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Target pertumbuhan 8 persen dijanjikan presiden terpilih, Prabowo Subianto dalam lima tahun ke depan. Ia menyampaikan optimisme itu pertama kali dalam Geoportal One Map Policy 2.0 dan White Paper OMP Beyond 2024, Juli 2024. Hingga beberapa hari jelang pelantikannya, ambisi tersebut masih menjadi pembicaraan hangat. Tak hanya pakar ekonomi, masyarakat juga merespons “cita-cita mulia” tersebut. Namun tak sedikit yang meragukan. Pasalnya sejak reformasi, pertumbuhan kita belum pernah kembali menyentuh level tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pakar telah merekomendasikan berbagai strategi dan kebijakan untuk mendorong misi 8 persen tersebut. Sayangnya, narasi yang dibangun sejauh ini, masih mengerucut pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sisi industri (supply side). Mulai dari peningkatan penanaman modal asing dan industri promosi ekspor hingga hilirisasi sumber daya alam. Padahal kita tahu, menggenjot pertumbuhan melalui peningkatan investasi dalam waktu cepat selain sulit juga kurang realistis. Jika dipaksakan, maka pertumbuhan mungkin saja tercapai, namun sangat rapuh, karena tidak ditopang oleh fondasi yang kuat.
Selain itu, rasio investasi dalam satu dekade terakhir rata-rata sekitar 32 persen terhadap PDB. Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding rasio investasi Korea Selatan yang berada di angka 31 persen terhadap PDB. Hal itu mengindikasikan bahwa rasio investasi saat ini sejatinya cukup memadai bagi Indonesia untuk tumbuh ke level yang tinggi. Yang menjadi masalah di sini adalah kualitas investasi yang masuk. Realisasi investasi lebih banyak masuk ke industri pertambangan dan turunannya seperti industri logam dasar, barang logam, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Menengok ke belakang, Korea Selatan juga pernah mengalami periode pertumbuhan tinggi pada 1960-1973 meski rasio investasi terhadap PDB pada saat itu hanya di angka 20 persen terhadap PDB. Menariknya, dengan modal investasi segitu, nyatanya pertumbuhan bisa mencapai di atas 8 persen. Pada saat yang sama, belanja pemerintah Korea Selatan rata-rata menembus angka 10 persen. Hal itu mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan rasio investasi terhadap PDB. Sebaliknya, rasio belanja pemerintah yang tinggi memberikan jaminan kepastian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Pentingnya Penurunan Pengangguran
Atas dasar itu, maka kenaikan belanja pemerintah menjadi kata kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen. Dalam konteks ini, rasio belanja pemerintah perlu naik ke angka 10-11 persen terhadap PDB. Namun, pada saat yang sama, anggaran tersebut dibelanjakan untuk peningkatan permintaan efektif (effective demand).
ADVERTISEMENT
Alasannya, menurut Keynes, permintaan efektif merupakan faktor utama yang akan memengaruhi pertumbuhan produktivitas dan keputusan investasi karena permintaanlah yang menciptakan penawaran (demand creates its own supply) bukan penawaran yang menciptakan permintaan (supply creates its own demand).
Menariknya, pengangguran (termasuk setengah pengangguran) merupakan indikasi lemahnya permintaan efektif. Ketika pengangguran turun, maka permintaan akan meningkat. Perusahaan kemudian akan memanfaatkan lebih banyak kapasitas produksi terpasangnya, yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan penurunan rasio modal terhadap output.
Argumen ini setidaknya juga menjawab mengapa produktivitas Indonesia rendah dan memiliki nilai ICOR yang cukup tinggi. Ke semua itu mengindikasikan bahwa agenda penurunan pengangguran tidak boleh lagi dikesampingkan jika pemerintah serius ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
ADVERTISEMENT
Celakanya, pengangguran sejauh ini hanya dilihat sekadar fenomena rendahnya keterampilan para pencari kerja daripada ancaman terhadap penurunan permintaan efektif. Jika dibiarkan terlalu lama, pengangguran akan menimbulkan kerugian (langsung dan tidak langsung) yang besar pada negara, masyarakat, dan individu.
Beberapa studi telah mengungkap beban biaya yang harus ditanggung negara, masyarakat, dan individu akibat persoalan pengangguran yang tak kunjung selesai. Di Australia, total kerugian akibat pengangguran mencapai 33,5 miliar dolar atau setara dengan 5,5 persen terhadap PDB Australia (Watts & Mitchell, 2000). Di Arab Saudi, total kerugian imbas pengangguran sebesar 95 miliar dolar atau 13,7 persen terhadap PDB riil (Alrasheedy, 2019).
Sementara itu, jika pengangguran diselesaikan secara cepat, maka perekonomian akan tumbuh lebih cepat dan menjanjikan. Terkait hal itu, Hukum Okun (Okun’s Law) yang diperkenalkan oleh ekonom dari Arthur Okun, menyatakan bahwa penurunan tingkat pengangguran 1 persen akan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi 2 persen (Abel & Bernanke, 2005). Artinya, dalam skenario yang moderat, jika ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 8 persen maka tingkat pengangguran setidaknya perlu diturunkan ke level 2-3 persen.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sebagai Employer of the Last Resort
Guna menurunkan pengangguran secara cepat, maka pemerintah perlu bertindak sebagai employer of the last resort (ELR). Dalam konteks ini, pemerintah perlu memperluas perannya sebagai penyedia lapangan pekerjaan secara massal di sektor publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Alasannya, permintaan tenaga kerja sektor pemerintah tidak mengikuti siklus bisnis sehingga naik turunnya permintaan tenaga kerja sektor pemerintah tergantung dari tingkat pengangguran yang ingin dicapai. Bahkan jika kondisi ekonomi lagi krisis, permintaan tenaga kerja sektor pemerintah bisa naik signifikan.
Sebaliknya, permintaan tenaga kerja sektor swasta terkait dengan siklus bisnis. Permintaan akan naik saat kondisi ekonomi sedang tumbuh dan juga dapat turun saat kondisi ekonomi lagi lesu. Selain itu, sektor swasta hanya merekrut pekerja sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka untuk memaksimalkan keuntungan. Apalagi, tenaga kerja dari sisi pengusaha adalah biaya yang harus diminimalkan. Kesimpulannya, sektor swasta tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan persoalan pengangguran. Oleh karenanya pemerintah harus mengisi ruang itu agar terjadi job creation massal sehingga dapat menyelesaikan persoalan pengangguran.
ADVERTISEMENT
Banyak strategi yang bisa dilakukan, mulai dari membuat program padat karya, membuat pekerjaan untuk pelestarian lingkungan (green jobs), maupun merevitalisasi sektor pertanian. Padat karya bisa dilakukan dengan menarik sebanyak mungkin tenaga kerja pada bidang-bidang, pertama, pembangunan/perawatan infrastruktur desa. Kedua, pemanfaatan lahan tidur untuk meningkatkan produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Kedua, pemberdayaan warga melalui pengelolaan sampah, limbah, lingkungan pemukiman, dan sebagainya. Ketiga, petugas kebersihan jalan, sebagaimana PPSU di Jakarta. Jika semua kabupaten, kota di Indonesia melakukan hal yang sama, akan ada puluhan ribu lapangan kerja baru di sektor ini.
Dengan demikian, sampai titik ini dapat dikatakan bahwa agenda penurunan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja massal di sektor publik bisa dijadikan sebagai jalan tercepat dan realistis guna menggenjot pertumbuhan ekonomi ke level 8 persen. Sayangnya, agenda penurunan pengangguran hingga kini masih terpinggirkan. Padahal, pengalaman di masa lalu mengajarkan bahwa target tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi sulit tercapai jika agenda penurunan pengangguran secara signifikan belum menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan.***
ADVERTISEMENT