Gudeg Basah: Merawat Kenangan Lama, Membangun Kenangan Baru

Pilar Paradewi
Diplomat Indonesia yang suka jajan, jalan-jalan, melamun, dan mencari inspirasi. Generasi 90-an. Peminum kopi dan air kelapa.
Konten dari Pengguna
20 November 2023 8:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pilar Paradewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bicara kuliner Yogyakarta, tentu yang langsung muncul di pikiran kita adalah gudeg. Berbagai restoran gudeg ternama dengan mudah ditemui ketika kita mencari inspirasi di internet. Yu Djum, Bu Tjitro, Bu Amad, Yu Narni, dan lain-lain. Area Widjilan menjadi yang paling identik dengan gudeg, dan setiap orang (dan keluarganya) pasti punya langganannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sebagai mantan akamsi (anak kampung sini—bahasa slang untuk menyebut seseorang yang lama tinggal di suatu tempat), saya punya tradisi sendiri soal gudeg Yogya yang sedikit berbeda dengan referensi gudeg ternama.
Kilas balik saat saya pertama kali berlibur ke Yogya 20 tahun lalu. Saya dan keluarga menginap di salah satu hotel di area Malioboro. Setiap jam 6 pagi, ayah saya selalu mengajak kami sekeluarga untuk berburu gudeg. Berbeda dengan gudeg-gudeg yang dijual di restoran, gudeg yang kami sambangi adalah gudeg yang dijual trotoar pertokoan Malioboro.
Penjual akan duduk dengan bangku pendek lalu menggelar baskom dan bakul di sekeliling tempat duduknya. Baskom dan bakul itu berisi gudeg beserta lauk dan condiment-nya, seperti ayam, telur, sambal krecek, dan kuah areh. Gudeg pun tidak hanya disajikan dengan nasi, tetapi juga bubur.
ADVERTISEMENT
Berbeda pula dengan gudeg-gudeg restoran ternama, gudeg yang dijual di pagi hari biasanya merupakan gudeg basah, alias gudeg yang berkuah. Gudeg disajikan dalam kondisi hangat dan segar. Perpaduan semua condiment membuat gudeg basah terasa lebih ringan, gurih, dan tidak semanis gudeg kering. Sangat menyenangkan dan mengenyangkan untuk sarapan. Alih-alih seperti sedang wisata kuliner, gudeg basah membuat kita serasa makan di rumah atau di warung makan langganan.
Sejak saat itu, sarapan gudeg basah menjadi tradisi keluarga kami setiap berlibur ke Yogya, hingga bertahun-tahun kemudian ketika saya pun melanjutkan kuliah di UGM.
Ketika tidak lagi tinggal di Yogya, gudeg basah adalah makanan yang paling saya rindukan. Satu-satunya solusi yang bisa saya lakukan adalah membeli gudeg kering kalengan yang dijual oleh restoran ternama, misalnya Bu Tjitro. Karena tentu saja tidak mungkin gudeg basah dibawa perjalanan jauh.
Suasana di kios Gudeg Mbok Lindu di pagi hari. (Sumber: Dok. pribadi)
Ketika berkunjung ke Yogya minggu lalu, berburu gudeg basah adalah misi utama saya. Sayangnya, pedagang gudeg yang menjadi langganan keluarga saya sudah tidak ada. Akhirnya saya mencari penjual gudeg basah lainnya, dan saya temukan Gudeg Mbok Lindu. Meski cukup ternama, Gudeg Mbok Lindu disajikan dengan cara tradisional. Lokasinya di Jalan Sosrowijayan, area Malioboro.
Gudeg basah Mbah Lindu yang kini dilanjutkan oleh generasi penerusnya. (Sumber: Dok. pribadi)
Konon, gudeg ini sudah ada sejak zaman kolonial dan sampai saat ini masih dimasak secara tradisional: Di dapur yang sederhana dan menggunakan kayu bakar.
ADVERTISEMENT
Tanpa pikir panjang, saya memesan nasi gudeg dengan lauk kepala ayam dan telur. Lagi-lagi, ini adalah tradisi.
Setiap pengunjung dapat mengambil sendiri teh hangat yang disediakan di dekat meja kasir. Tehnya sangat wangi dan kental, dan free flow!
Hari pertama ke sana, saya putuskan untuk pergi sendiri. Selain saya yakin teman-teman saya masih tidur, saya juga ingin fokus menikmati moment itu sendiri dulu untuk mengenang masa-masa lampau, ketika almarhum ayah saya masih ada dan sehat.
Sejak suapan pertama, hati rasanya bahagia karena sedemikian nikmatnya gudeg basah tersebut. Teringat pula moment-moment ketika saya dan keluarga jajan gudeg basah di masa lampau.
Selesai makan pun tidak terasa machtig karena rasanya yang gurih dan balanced.
Nasi gudeg basah dengan lauk kepala ayam, telur, dan sambal krecek beserta teh tawar panas yang wangi. (Sumber: Dok. pribadi)
Selesai makan, saya berjalan kaki tanpa tujuan menelusuri jalanan Malioboro. Napak tilas. Meski menyenangkan, jujur saja setiap langkah terasa berat karena kenangan-kenangan yang seketika berhamburan di dalam ingatan.
ADVERTISEMENT
Saya berhenti di seberang gerbang Kampoeng Ketandan yang bentuknya cukup unik dan bermuatan budaya Tionghoa.
Saya berdiri cukup lama, terdiam, dan merenungkan betapa sementara dan rapuhnya hidup manusia.
Gerbang Kampoeng Ketandan, titik saya berhenti berjalan sebelum kembali ke hotel. (Sumber: Dok. pribadi)
Keesokan harinya, saya putuskan mengajak teman-teman saya untuk ke tempat yang sama. Walau sempat pesimis apakah mereka rela bergerak sepagi itu, ternyata justru mereka semangat. Satu diantaranya lahir dan besar di Yogya, satu diantaranya berasal dari Solo. Tentu saja, gudeg bukan makanan asing bagi mereka.
Sesampainya di sana, saya senang melihat teman-teman saya turut menikmati gudeg basah tersebut. Sambil makan, kami berbincang-bincang membahas banyak hal, khususnya aktivitas field project Sesdilu yang sedang kami kerjakan di minggu tersebut. Tak lupa kami mengambil foto dan video lucu sebagai kenang-kenangan. Lebih dari sekedar wisata kuliner bersama, moment itu menjadi kenangan baru bagi saya tentang gudeg basah.
ADVERTISEMENT
Selain pagi hari, gudeg basah juga dijual di malam hari hingga dini hari. Beberapa yang pernah saya sambangi yaitu Gudeg Permata, Gudeg Ibukota, dan beberapa tempat gudeg mercon.
Yang paling saya ingat, beberapa tahun lalu saya diajak ke Gudeg Mercon Bu Tinah yang berlokasi di area Pasar Kranggan. Sesuai namanya, gudeg yang berjudul gudeg mercon tentunya lebih pedas!
Jika suatu hari saya ke Yogya lagi, saya akan mencoba lebih banyak gudeg basah dan akan mengajak lebih banyak lagi teman untuk turut mencicipinya.