Konten dari Pengguna

Shaheen, Semoga Kita Tidak Bertemu Lagi

Pilar Paradewi
Diplomat Indonesia yang suka jajan, jalan-jalan, melamun, dan mencari inspirasi. Generasi 90-an. Peminum kopi dan air kelapa.
21 September 2023 6:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pilar Paradewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Pilar, kami selamat. Alhamdulillah!” kata sebuah pesan singkat yang saya terima dari Kania pada 4 Oktober 2021 pagi. Kania—bukan nama sebenarnya, adalah seorang WNI yang tinggal di kota Sohar. Jauh di Muscat, saya bersyukur sekaligus bingung. Selamat bagaimana maksudnya?
ADVERTISEMENT
Saya akan selalu ingat hari-hari itu, 3-4 Oktober 2021. Sehari sebelumnya, Pemerintah Oman mengeluarkan edaran resmi bahwa Oman libur nasional selama dua hari karena akan hujan badai.
Memang, hujan di Oman selalu “jadi berita”, karena ia seperti saudara jauh yang dicintai tetapi hanya datang sesekali. Saat ia datang, orang-orang akan dengan gembira menonton dari jendela/pintu sambil mengucap syukur atas kebesaran Allah.
Sisi lainnya, hujan akan menyebabkan flash flood di area wadi sehingga masyarakat dihimbau menjauhi wadi dan area pantai. Wadi, yang berarti lembah, alias dataran yang lebih rendah dari area sekitarnya dan bermuara ke sungai. Dalam kondisi normal, wadi akan kering sehingga bisa digunakan untuk aktivitas masyarakat. Begitu hujan, wadi akan menjadi aliran air yang menjelma seperti sungai.
ADVERTISEMENT
Lalu kenapa kali ini sampai diliburkan?
Sekitar pukul 19.00, Kemlu Oman menerbitkan himbauan kepada korps diplomatik yang tinggal di radius 5KM dari bibir pantai agar mengungsi ke hotel-hotel yang jauh dari pantai. Seketika, diplomat-diplomat asing, termasuk Dubes RI, bergegas mengungsi ke salah satu hotel yang direkomendasikan. Karena apartemen saya cukup jauh dari bibir pantai, saya tidak perlu mengungsi.
3 Oktober pukul 02.00 dini hari, saya terbangun dari tidur untuk ke toilet. Terdengar suara desingan angin yang cukup kencang dari luar. Mungkin karena sedikit takut dan lagi-lagi karena saya pikir hanya hujan deras, saya memilih kembali tidur.
Sekitar jam 06.00 saya bangun dan keluar kamar. Setengah lantai ruang tamu saya sudah dimasuki air. Untungnya karpet masih terpasang sehingga air tertahan dan tidak menjalar hingga ruangan lain. Air tersebut adalah air hujan yang menghantam masuk melalui sela-sela jendela karena kencangnya angin di luar.
ADVERTISEMENT
Hujan terus berlangsung hingga beberapa jam kemudian. Untuk mencegah air semakin jauh menjangkau ruangan lain, saya harus non-stop mengepel rembesannya selama berjam-jam.
Saya buka jendela, bukit di belakang bangunan apartemen saya menjelma jadi air terjun dengan aliran super deras. Alhamdulillah, situasi cukup terkendali dan tidak terjadi longsor.
Aliran air hujan dari atas bukit di belakang gedung apartemen. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Melihat ke arah jalan, hancur. Jalan kompleks saya yang beririsan dengan wadi, seketika menjadi sungai dengan debit air sangat tinggi dan arus sangat deras. Tiang listrik tumbang, permukaan tanahnya bergeser.
Mobil yang terrendam di jalan kompleks. Beberapa jam sebelumnya, air mencapai spion. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Semua penerbangan dari dan ke Muscat ditangguhkan.
Pukul 09.00 pagi, muncul edaran dari pengelola kompleks agar semua penghuni menghemat penggunaan air bersih. Tank pengantar air bersih tidak bisa masuk ke kompleks karena akses terputus. Semakin suram.
ADVERTISEMENT
Begitu hujan mereda, warga kompleks berduyun-duyun mendekati area wadi. Sebagian besar menatap nanar, memikirkan bagaimana hidup kami selanjutnya. Karena akses terputus, berangkat ke kantor atau mengantar anak sekolah tidak bisa. Pergi ke supermarket untuk beli bahan makanan pun tidak bisa.
Di Muscat, terlihat genangan air dan pohon tumbang di mana-mana. Jika tidak terlalu parah dan masih bisa dilintasi, Pemerintah Oman segera membereskan semuanya. Jika sebaliknya, seperti kompleks saya, Pemerintah pun tidak punya pilihan selain memantau hingga situasi mereda dan memberikan bantuan yang paling memungkinkan. Kondisi di setiap titik memang berbeda-beda.
Yang sedang terjadi adalah cyclone Shaheen, salah satu jenis badai topan tropis. Seharian, Shaheen berputar-putar di Laut Arab dan berjalan ke arah Oman. Selama Shaheen masih di laut, Oman akan terus hujan angin. Sebaliknya, begitu Shaheen menyentuh daratan (landfall), sebagaimana cyclone lainnya, ia diprediksi akan melemah dan badai akan perlahan berhenti.
ADVERTISEMENT
Shaheen diprediksi akan menyentuh daratan di Sohar—kota berjarak 200 KM dari Muscat, dan rumah bagi ratusan WNI—pada 4 Oktober dini hari.
Sebagai antisipasi, masyarakat mengamankan diri di dalam rumah atau mengungsi bagi yang tinggal dekat dengan pantai. KBRI Muscat pun harus selalu waspada memberikan perlindungan pada WNI. Karena kenal pribadi, saya terus bertukar kabar dengan Kania hingga 3 Oktober malam.
Keesokan paginya, saya menerima kabar dari Kania sekaligus memantau berita. Sungguh plot twist, Shaheen yang diprediksi akan mendarat di Sohar dengan kondisi lemah tiba-tiba mendarat di Al Khaburah—10 menit dari Sohar—dengan kekuatan sekitar 120 km per jam. Akibatnya, ratusan rumah dan kendaraan terrendam, bangunan dan jalanan rusak, dan 14 orang meninggal dunia. Kerugian materiil diperkirakan USD100 juta.
ADVERTISEMENT
Meski bersyukur tidak ada WNI yang menjadi korban, KBRI Muscat turut prihatin dengan situasi sulit yang dihadapi Oman saat itu. Saya pun bersyukur Kania dan keluarganya baik-baik saja.
Di Muscat, situasi perlahan kembali normal, khususnya di area-area yang tinggi, jauh dari wadi, dan dampaknya tidak terlalu parah. Kompleks saya, hingga lebih dari seminggu kemudian, air di wadi masih tinggi walau perlahan-lahan surut. Untuk membantu mobilitas warga, pengelola kompleks sempat menyediakan tronton untuk mengangkut mobil melintasi wadi dan bus untuk mengantar warga beli bahan makanan ke supermarket terdekat. Pengelola kompleks pun bahu-membahu membangun jembatan darurat dari kayu bekas untuk sekedar diseberangi warga.
Hingga beberapa hari kemudian, disediakan tronton untuk mengangkut mobil yang ingin melintas. Antreannya panjang. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Salah satu jembatan darurat untuk warga menyeberang keluar kompleks. Terlihat mobil-mobil di parkir di jalan karena tidak bisa melintas masuk. Lampu jalan tidak berfungsi sehingga di malam hari akan gelap gulita. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Saya baru berhasil keluar kompleks di hari kelima, itupun dengan dijemput mobil kantor yang cukup tinggi sehingga bisa melintasi genangan. Hari itu, tinggi air hanya sekitar 25 cm.
ADVERTISEMENT
Saya bersyukur selama terjebak berhari-hari di dalam kompleks, saya punya cukup persediaan makanan dan air minum, meskipun pas-pasan.
Hingga berbulan-bulan selanjutnya, wadi di jalan akses kompleks saya tidak pernah benar-benar kering seperti sedia kala. Selalu ada air yang mengalir dan bisa sewaktu-waktu pasang tanpa sebab yang jelas. Airnya bening dan mengalir dengan kecepatan normal seperti sungai.
Jika terjadi hujan, air semakin tinggi sehingga hanya Jeep Wrangler dan sejenisnya yang mampu melewati. Mobil SUV biasa apalagi sedan, jangan harap bisa melintas.
Jalan kompleks saya pasca-Shaheen. Tidak pernah kering dan malah sesekali pasang tanpa sebab sehingga tidak bisa dilintasi mobil-mobil kecil/sedan. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Jika sudah begitu, biasanya warga akan memarkir mobil mereka di ujung jalan, lalu menyeberang ke sana dengan jembatan darurat. Di malam hari, tentu saja menyeberang jembatan darurat dalam kondisi gelap sangat menakutkan dan sangat sulit ditemukan. Saya pun pernah mengalaminya.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, saya meminimalisasi pulang malam. Jika hari diprediksi akan hujan, saya akan ke kantor dengan membawa seperangkat pakaian untuk menginap—karena saya tidak akan bisa pulang. Hidup rasanya tidak tenang hanya karena harus selalu mengantisipasi perubahan cuaca.
Pindah rumah saat itu bukan opsi karena beberapa bulan kemudian saya akan kembali ke Indonesia.
Menurut para ahli, Shaheen memang langka dan unik. Dia adalah salah satu dari dua badai topan yang mendarat di bagian utara Oman, dengan rute perjalanan dari timur ke barat, bergerak dari Laut Arab ke Teluk Oman. Konon, cyclone dengan keunikan serupa pernah terjadi di bulan Juni 1890—130 tahun sebelumnya
Shaheen menjadi pengingat betapa perubahan iklim juga mengubah situasi suatu kawasan menjadi tidak aman lagi dari bahaya bencana.
ADVERTISEMENT
Shaheen mengajarkan saya bahwa penempatan di luar negeri tidak melulu soal hidup glamor dengan paspor hitam dan berada di tempat-tempat berkilau. Ternyata di tempat yang jauh itu justru saya terdampak bencana—sesuatu yang tidak satu kalipun pernah saya alami selama hidup di Indonesia.
Shaheen mengajarkan saya bersyukur untuk hari-hari yang mudah, perjalanan-perjalanan yang lancar, dan kebebasan dari rasa ketar-ketir hanya karena akan terjadi hujan.
Shaheen mengajarkan saya untuk bersyukur dikelilingi orang-orang yang hadir membantu dan menawarkan solusi di saat-saat sulit.
Shaheen, terima kasih atas pengalamannya. Semoga kita tidak bertemu lagi.