Perjalanan Cinta Abadi

Pintania Fauziah
Mahasiswi Sasindo Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
1 Januari 2022 20:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pintania Fauziah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber PIXABAY
zoom-in-whitePerbesar
Sumber PIXABAY
ADVERTISEMENT
Siang itu di sebuah monumen, terdapat sepasang wanita yang tengah sibuk memotret lukisan satu sama lain, mencari dimana letak keindahan dan wanita itu terlarut ketika melihat satu lukisan yang membuat mereka terpesona.
ADVERTISEMENT
“ Mari kita lihat itu Dinda”.
Seorang wanita menatap pria yang menjadi tujuan utama ada rasa nyaman yang terasa di lubuk hati. Namun, pada akhirnya pria itu telah mengusik pikirannya. Dinda Wulan, tidak hiraukan suara yang terus memanggil dirinya. Dinda tahu jika seorang pria sedang mengamati wajahnya. Seorang pria yang saat ini menatap teduh Dinda. Kini, Dinda dan pria itu sama-sama saling menatap serius. Dinda merasa seperti rasa kebahagiaan yang tengah menghampiri mereka di ruangan itu.
“ Tolong, pria ini mengingatkanku akan sesuatu yang pernah terjadi. Kamu jahat telah membunuh wanita yang sangat aku cinta. Sekarang aku ingin kamu mengakui kesalahan itu sekarang,” Pria itu menatap Dinda dengan perasaan bersalah, menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. Dinda yang menundukkan kepalanya, melepaskan air mata yang ingin terjatuh dari pelupuk matanya.
ADVERTISEMENT
“Maaf” akhirnya ada satu kata yang terucap dari bibir pria itu. Satu kata yang Dinda sangat benci untuk didengar. “Maaf untuk apa?sekarang kata itu tidak lagi berguna untukku, kamu penghancur kehidupan, jahat, egois. Sekarang kamu pergi dari ruangan ini”.
“ Dinda!” monumen yang tengah sunyi membuat pekikan kakaknya terdengar sangat keras. Tampaknya, Dinda sedang melamun. Sekarang bukan saatnya menyalahkan pria itu. Tidak mungkin menyalahkan takdir, aku harus ikhlas menjalani hidupku tanpa sosok mama. Dinda sadar air mata yang tidak bisa ditahan membuat pelupuk matanya terus mengalir. Tidak mungkin Dinda membicarakan hal ini kepada kakaknya. Pasti kakak akan terpukul mendengar bahwa pria itu yang telah membuat mama meninggal.
“ Dinda, mengapa kamu sedih? apakah ada maksud tersendiri dari lukisan itu yang membuat kamu sedih? ada apa Dinda? ceritakan semua yang terjadi,” Dinda tak menjawab. Pandangan Dinda menerawang, menatap kepergian pria itu. Otaknya terus berputar dengan kejadian yang menimpanya 4 tahun lalu. Bagaimana bisa aku menaruh harapan dengan pria itu? Tak ada yang bisa memilih cinta, kadang cinta itu buta. Mengapa aku memiliki perasaan dengan pria yang membuatku kehilangan sosok mama?
ADVERTISEMENT
Melihat kepergian pria itu, ingin rasanya aku mengekornya dan mengetahui tempat tinggal pria itu. Namun, dorongan tangan seorang wanita membuyarkan lamunan yang menghantui pikiranku hilang. “Dinda, apakah aku menyakitimu? aku tidak melakukan sesuatu yang membuat kamu sedih, Din. Dinda janganlah menangis, kamu bisa melewati semuanya. Percayalah mama selalu hadir ketika kita selalu bersama dan melindungi kita”.
"Aku bimbang, kak. Aku tidak bisa melanjutkan pencarian siapa yang sudah membunuh mama. Aku sendiri tidak bisa memilih dengan perasaan yang ada di lubuk hati. Aku mencintainya, mungkin aku sudah ikhlas atas kepergian mama. Tetapi aku tidak bisa menyakitinya”.
“Din, siapa yang kamu maksud? kamu mengenal pria itu? mengapa kamu berbicara seperti itu. Aku ingin kamu berbicara sejujurnya tentang penyebab meninggalnya mama".
ADVERTISEMENT
“Tidak, kak” Dinda membalas dengan senyum miris yang menyakitkan.
...
PLAK!
“DINDA, DENGAR KATA KAKAK APAKAH KAMU TAHU SIAPA YANG MEMBUNUH MAMA? JAWAB!!” Dinda mengusap pipi kirinya yang terasa panas lalu meringis ketika melihat pipinya memerah. Ia menatap wajah kakaknya yang terlihat marah, matanya berkaca-kaca serta botol yang ada ditangannya terhempas.
“Percuma kamu menangis, tidak ada yang mendengar. Karena aku dan kamu hanya berdua dirumah ini. Dimana hati dan otakmu, Dinda? pikirlah mama itu orang tua kita, mama itu selalu membela kita, selalu ada untuk kita dan kita sudah janji, Din. Untuk membela mama dan mencari dalang dari penyebab meninggalnya mama. Dimana hati nurani kamu, Din? mengapa kamu lebih memilih pria itu?”.
ADVERTISEMENT
Dinda membenarkan perkataan kakaknya, ia memang sudah buta karena cinta. Ia meminta izin untuk keluar dari rumah itu. Permintaan itu tentu saja membuat kakaknya murka, terlebih kakaknya yang sudah naik pitam. Ia selalu mengajarkan adiknya untuk berbakti terhadap orang tua. Kakaknya merasa gagal mendidik adiknya yang sudah terlarut dengan pria itu. Ia menyadari bahwa adiknya menangis setelah pria yang menatap adiknya pergi. Ia sadar kepergian Dinda terasa sunyi, ia berlari mengejar adiknya yang sudah membawa tas berisi baju.
“Dinda, tunggu aku ingin berbicara". Suara itu terus memanggil, membuat Dinda dengan cepat melangkahkan kakinya. Kakaknya berlari dan memeluk adiknya dari belakang. “Din, kakak mohon kamu jangan pergi, cukup mama saja". Pecah sudah. Tangis yang tidak ingin Dinda tumpahkan di hadapan kakaknya, kini ia tumpahkan di depan kakaknya, diiringi dengan tangisan yang mampu membuat hatinya teriris melihat wajah kakaknya yang begitu mirip dengan mama. Senyum tulus yang kakaknya tunjukkan membuat hati Dinda semakin sulit meninggalkan kakaknya.
ADVERTISEMENT
Kakaknya terlihat bahagia ketika melihat Dinda menunjukkan senyumnya, senyum tulus yang jarang terlihat dimata kakaknya. Kini, kakaknya dan Dinda sudah mengikhlaskan kepergian mamanya dengan tenang. Sekarang, kakaknya bahagia jika Dinda sangat bahagia dengan pria itu. Hanya itu yang dilakukan kakaknya agar Dinda bahagia.
“Dinda, jika kamu sudah yakin terhadap pilihan kamu, boleh saja. Asal temui aku dengan pria itu, seperti apa pria yang sangat kamu cinta”.
...
Di kamar, Dinda dan kakaknya memandang keluar jendela. Tetapi langit pagi ini terasa teduh, seakan-akan siap menumpahkan buliran-buliran air hujan nantinya. Pikiran kakaknya berkecamuk, memikirkan cara cepat untuk menemukan pria itu. Tetapi, akhir-akhir ini Dinda selalu berdiam diri di kamar, membuat kakaknya bingung dan tidak ingin melihat adiknya terlalu lama dalam lamunan. Tiba-tiba saja Dinda mengeluarkan suara, ia mengatakan bahwa ia sangat bersyukur telah menghadirkan sosok kakak terbaik di masa hidup. Dinda ingin keputusannya diterima dengan baik oleh kakaknya.
ADVERTISEMENT
“Baiklah, jika keputusan itu sudah bulat bahwa kamu memang mencintai pria itu. Ucapan kakaknya membuat ia bungkam. “Tetapi, katakan sejujurnya siapa yang membunuh mama?”.
“Kak, lebih baik tanyakan itu besok saja. Aku capek, ingin tidur dan tidak ingin diganggu. Tolong mengerti”.
Setelah kakaknya keluar dari kamarnya. Dinda kembali hanyut dalam kesunyian. Calvin Maheswara, pria yang berhasil membuat dirinya jatuh cinta. Dalam benaknya, pria yang kini muncul dalam pikirannya adalah pria yang akan bersanding dengannya nanti. Singkatnya, Dinda berhasil menemukan cinta sejatinya. Sudah sejak lama Dinda tidak bertemu hingga membuat pikirannya kacau dan mencari tentang keberadaan pria itu di ponsel miliknya. Dinda rasa, pria itu tidak memiliki sosial media. Pria itu sangat unik, membuat Dinda makin semangat mencari pemilik nama akun dari Calvin Maheswara.
ADVERTISEMENT
“Apakah aku harus menemuinya di monumen, besok?” pikiran Dinda buyar, digantikan dengan raut wajah bingung. Ia berpikir untuk apa datang ke sana, mungkin saja pria itu hanya kebetulan berada di monumen. Tetapi tidak ada salahnya, jika mencoba. lalu, ia teringat kata-kata kakaknya, tentang mendapatkan suatu hal harus disertai dengan niat dan usaha.
“Kak, besok aku izin untuk mengunjungi monumen. Sebentar saja, boleh ya?” ucapan Dinda membuat kakaknya heran, mengapa dinda ingin mengunjungi monumen tersebut. “Untuk apa datang ke sana, Din.” Dinda dengan semangat mengatakan bahwa dirinya ingin menemui pria itu, jika beruntung. “Aku ingin menemui pria itu lagi, kak”.
Hari ini, dimana Dinda akan bertemu dengan pria yang ia cari, Calvin Maheswara. Setelah Dinda mendapat izin dari kakaknya, Dinda melangkah dari rumahnya menuju monumen. Sesampainya ia disana, tak terlihat satu pun wajah dan postur tubuh yang sama, sewaktu ia bertemu minggu lalu. Namun, pada saat wajahnya beralih ke sudut kiri dekat lukisan kupu-kupu, ia melihat sosok pria berdiri dengan tubuhnya yang kekar, berdiri di sana hingga ia menyadari bahwa pria itu adalah Calvin Maheswara. Lalu, ia melangkahkan kakinya dimana pria itu berdiri.
ADVERTISEMENT
Calvin Maheswara, pria yang kini sedang di hadapannya. Ya, benar. Pria yang selama ini ia cari. Dinda terpesona melihat iris matanya yang coklat, hidung mancung, dan bibir tipis. Setelah ia puas melihat sekeliling wajah pria itu. Lalu, pria itu dengan sigap meninggalkan tempat itu. Dinda langsung menarik tangan pria itu membawanya keluar dari monumen itu.
“Aku mohon, izinkan aku berbicara sebentar”. Dinda yang sangat senang bertemu dengan pria itu. Lalu, disambut dengan gelengan kepala disertai dengan senyumannya sebagai balasan dari ucapan Dinda.
“Perkenalkan aku Dinda Wulan anak dari ibu Dewi, kamu pasti ingat?” ucapan Dinda membuat wajah pria itu berubah menjadi sendu. “Aku Calvin Maheswara. Aku mengakui bahwa aku yang membuat kamu dan kakak mu kehilangan seorang ibu, tapi tidak sepenuhnya salahku. Pada saat ayahku menyetir mobil dengan rasa kantuk, lalu ponsel ayahku berbunyi menandakan ada telepon masuk. Namun, ponsel ayahku terjatuh ke bawah dan spontan membanting mobilnya ke kiri hingga menyebabkan semua keluargaku meninggal dunia”.
ADVERTISEMENT
“Maaf, tidak seharusnya aku menyalahkanmu sendirian. Sedangkan kamu kehilangan seluruh keluargamu, jujur aku merasa bersalah, kita saling merasakan kesedihan yang mendalam. Sebenarnya yang aku ingin katakan bukan hal kepergian mama. Tetapi, aku merasakan ada yang berbeda ketika melihatmu”. Kening Calvin mengkerut mendengarkan perkataan Dinda. “Apa maksudmu?” “Aku mencintaimu” Dinda berhasil membuat jantung Calvin berdetak kencang hingga membuat Calvin bungkam. “Aku mencintaimu, Calvin Maheswara”. “Apakah ini sungguhan?” “Ya, ini sungguh aku mencintaimu, aku sudah mengikhlaskan kepergian mama, dan aku juga sudah mengetahui yang sebenarnya.
Bahagia. Dinda menatap Calvin yang tengah sibuk memesan sesuatu makanan untuknya. Namun, Dinda merasa itu seperti mimpi. Mencintai seseorang yang kini sedang berada di hadapannya. Calvin yang mengalihkan pandangan ketika melihat Dinda senyum-senyum sendiri, hingga Dinda tidak menyadari bahwa Calvin juga tersenyum.
ADVERTISEMENT
“Kamu melihat apa?” Dinda masih tersenyum menatapnya.
“Dinda, kamu sehat?” senyuman itu luntur dari wajah manis Dinda hingga ia menyadari bahwa Calvin melihat kejadian yang memalukan baginya.
“Apa, kamu berbicara apa?” Calvin tertawa kecil melihat wajah Dinda yang kebingungan.
“ Tidak, kamu cantik,” Dinda berusaha menahan diri untuk tidak tersipu.
“Pipi kamu kenapa, Din? Kok merah?”
"Tidak apa-apa, biasa saja. Sudah kita pesan makanan saja”. Calvin yang tertawa melihat Dinda salah tingkah.
...
Hari ini, Dinda ingin meluangkan waktunya bersama kakaknya. Namun, matanya binar ketika melihat sebuah mobil yang terparkir di depan teras rumahnya. Ia berlari ke kamar kakaknya, memberi tahu bahwa ada tamu di depan. Kakaknya yang baru saja bangun tidak mengerti maksud adiknya itu, ia duduk. Lalu, menyuruh adiknya mengulangi kalimat tersebut.
ADVERTISEMENT
“Ada apa, Din?” Dinda menarik tangan kakaknya menuju keluar.
“Kak, lihatlah di luar itu ada tamu” .
Setelah Dinda dan kakaknya menuju teras, ia melihat pria bertubuh kekar membawa setangkai bunga, lalu berdiri di hadapan Dinda. “Din, mungkin caraku menunjukkan kasih sayang dan ungkapan rasa cinta ini, berbeda dengan yang lain. Tetapi yang ku lakukan sekarang adalah aku ingin menikahi mu, karena aku mencintaimu. Pagi ini, aku mengungkapkan rasa cinta di hadapan kamu dan kakakmu”. Dinda melongo tak percaya melihat ucapan Calvin, hingga Dinda merasa Calvin berbeda dengan yang lain, Calvin itu pria yang mampu memberikan Dinda kejutan yang tidak pernah terduga.
“Kak, izinkan aku untuk mencintai Calvin dan menjalani hubungan dengannya”. Kakaknya menangis bahagia melihat adiknya sudah bertemu dengan cinta sejatinya. “Kakak sudah mengizinkan kalian, kakak bahagia jika kalian bahagia”. Calvin yang mendengar itu lega telah mendapat restu dari kakaknya Dinda.
ADVERTISEMENT
“Ma, Calvin sudah menemukan wanita yang akan menggantikan mama di kehidupan Calvin. Mama sudah bahagia bersama papa dan Cleo. Aku meminta izin untuk mempersunting wanita yang aku pilih, ma. Semoga mama mendengar dengan bahagia ya, ma”. Calvin mendongakkan kepalanya ke langit. “Semoga". Dibalas Dinda yang mengaminkan doa baik Calvin dengan tulus.
Cinta itu sebuah ketulusan, penuh perjalanan panjang dan rintangan di setiap hubungan yang mampu membuat dua insan mengerti apa itu pengorbanan, itulah cinta sesungguhnya.