Konten dari Pengguna

Pecalang Penjaga Adat, Keamanan dan Tradisi di Bali

Pitut Saputra
Freelance Adventure -Seniman -Penulis -jurnalis Online Media
13 Mei 2025 15:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pitut Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Pecalang Bali Bersaput Hitam, Abu dan putih dalam sebiah upacara keagamaan || dok foto @pitutsaputra)
zoom-in-whitePerbesar
(Pecalang Bali Bersaput Hitam, Abu dan putih dalam sebiah upacara keagamaan || dok foto @pitutsaputra)
ADVERTISEMENT
Pecalang merupakan institusi yang telah mendarah daging dalam budaya Bali. Sebagai simbol kearifan lokal, mereka tidak hanya bertugas menjaga keamanan fisik dalam upacara adat, tetapi juga melestarikan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh leluhur. Dalam setiap langkahnya, pecalang mencerminkan semangat “waspada” yang tercermin dari asal kata itu sendiri. Kata “pecalang” diyakini berasal dari bahasa Bali yang berkaitan dengan konsep kewaspadaan dan perlindungan, mengacu pada sikap siaga untuk mengantisipasi potensi gangguan yang bisa mengikis kesucian tradisi.
ADVERTISEMENT
Di masa lampau, pecalang berperan sebagai penjaga lingkungan kerajaan, mengawal upacara dan ritual sakral yang menjadi identitas masyarakat Bali. Seiring berjalannya waktu, peran mereka berkembang hingga mendapatkan legitimasi melalui peraturan daerah. Misalnya, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat mengukuhkan posisi pecalang sebagai instrumen penerapan nilai adat dalam kehidupan modern. Dasar hukum tersebut menempatkan pecalang dalam kerangka pelestarian tradisi sekaligus menjaga ketertiban masyarakat adat.
( Para Pecalamg Bersaput Poleng dalam sebuah Upacara Ngaben Di Bali || dok foto @pitutsaputra)
Peran pecalang juga telah melebar hingga ke ranah pariwisata. Di tengah pesatnya arus wisatawan yang datang untuk menyaksikan keindahan budaya Bali, pecalang tidak hanya berfokus pada pengamanan fisik semata. Mereka turut mengawal jalannya upacara dan festival agar tetap sesuai dengan norma dan tata cara yang telah ditetapkan. Dengan kehadiran mereka, para wisatawan dapat merasakan atmosfer sakral yang autentik sekaligus mendapatkan penjelasan mendalam tentang makna setiap ritual yang dijalankan. Di sini, pecalang berperan sebagai duta budaya yang menghubungkan dunia tradisional dengan rangkaian modernitas tanpa kehilangan esensi kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Sebagai filter perkembangan budaya luar, pecalang menempatkan dirinya pada posisi strategis. Mereka memiliki tugas tersendiri dalam menyaring masuknya pengaruh asing yang berpotensi merusak nilai dan norma yang telah teruji sepanjang masa. Dengan pemahaman mendalam terhadap adat dan filosofi Tri Hita Karana, pecalang berupaya menjaga agar interaksi budaya luar tidak menggeser identitas serta keaslian tradisi Bali. Mereka menerapkan mekanisme yang bersifat preventif melalui pengawasan secara langsung dalam setiap acara adat, sehingga percampuran budaya berlangsung dengan selektif dan terarah.
(Pecalang bersaput poleng berdiri di samping badai saat arak-arakan ngaben || dok foto pitutsaputra)
Dalam konteks pengamanan upacara adat, pecalang menjalankan peran yang sangat vital. Tugas mereka tidak sekadar menghentikan perilaku yang menyimpang, melainkan juga memastikan bahwa setiap prosesi dilaksanakan dengan penuh kekhidmatan. Norma-norma yang ada dijaga ketat oleh pecalang agar tidak terjadi penyimpangan nilai, yang bisa berdampak pada keretakan jalinan sosial dan spiritual antarwarga. Mereka mengawal setiap tahapan ritual, mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga penyelesaian acara, sehingga keharmonisan antara alam, manusia, dan roh leluhur tetap terjaga.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, dalam mengawal kawasan wisata, pecalang juga menyematkan nilai edukatif bagi masyarakat. Mereka kerap tampil dengan pakaian dan atribut khas yang sarat simbolisme, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Di samping itu, sikap mereka yang ramah dan tegas memberikan rasa aman dan nyaman, sekaligus mengingatkan bahwa di balik gemerlapnya pariwisata, selalu terdapat upaya pelestarian budaya dan identitas bangsa. Dengan demikian, pecalang menjadi jembatan antara tradisi kuno dan modernitas, menampung aspirasi sekaligus melestarikan norma yang telah ada selama berabad-abad.
( pecalang bersapit merah putih hitam dalam sebuah upacara adat || dok foto @pitutsaputra)
Pecalang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Bali. Lebih dari sekadar petugas keamanan, mereka merupakan sosok yang mengemban peran ganda sebagai pelindung tradisi dan penjaga keharmonisan antar unsur alam, manusia, dan roh leluhur. Keberadaan pecalang menegaskan komitmen masyarakat Bali terhadap kearifan lokal yang abadi, di mana setiap tindakan diwarnai oleh nilai-nilai luhur dan kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya Pecalang di Bali seringkali menggunakan saput poleng, namun saput poleng bukan sekadar kain bermotif kotak-kotak hitam dan putih yang dikenakan oleh pecalang. Motif ini mengandung filosofi mendalam yang mencerminkan konsep rwa bhineda, yakni keseimbangan antara dua unsur yang bertentangan, hitam dan putih, baik dan buruk, siang dan malam. Dalam kehidupan masyarakat Bali, rwa bhineda adalah prinsip dasar harmoni yang membentuk cara berpikir dan bertindak. Pecalang, sebagai penjaga adat, mengemban tugas menjaga keseimbangan ini, memastikan bahwa kehidupan sosial dan ritual tetap berjalan dalam keharmonisan.
(Para Pecalamg mrngenakan Saput poleng hitam putih abu dan hitam putih merah pada upacara ngaben besar di ubud || dok foto @pitutsaputra)
Ada tiga jenis saput poleng yang biasanya dikenakan oleh pecalang:
1. Hitam-Putih: Simbol utama rwa bhineda, melambangkan keseimbangan alam semesta. Pecalang dengan kain ini berfungsi sebagai penjaga netral yang menegakkan keseimbangan dalam komunitas adat tanpa berpihak.
ADVERTISEMENT
2. Hitam-Putih-Abu: Menambahkan unsur abu sebagai representasi transisi antara hitam dan putih. Filosofinya menggambarkan kondisi maya, keadaan di antara baik dan buruk yang masih abu-abu. Pecalang dengan kain ini sering berperan dalam mediasi konflik dan negosiasi.
3. Hitam-Putih-Merah: Merah melambangkan keberanian dan semangat dalam menegakkan aturan adat. Pecalang dengan kain ini lebih sering berperan dalam pengamanan acara besar yang memerlukan ketegasan dan kepemimpinan.
Pemakaian kain saput poleng oleh pecalang bukan hanya sebatas estetika atau pakaian seragam. Ini adalah bentuk visualisasi filosofi kehidupan yang mereka jalankan. Pecalang tidak hanya bertugas menjaga keamanan fisik tetapi juga keseimbangan sosial, spiritual, dan budaya. Sama seperti konsep rwa bhineda yang menuntut keseimbangan, pecalang bertindak sebagai penengah dalam berbagai situasi, baik dalam menjaga ketertiban upacara maupun dalam menghadapi pengaruh budaya luar.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks globalisasi, tantangan utama bagi masyarakat adat adalah menjaga identitas budaya tanpa menutup diri terhadap perubahan. Pecalang, dengan simbol saput poleng yang mereka kenakan, merepresentasikan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan akar tradisi. Pola kain ini mengingatkan bahwa meski Bali terus berkembang, prinsip keseimbangan tetap menjadi kunci dalam menjaga harmoni masyarakatnya.
( Para pecalang bersaput poleng membawa payung pada saat arak-arakan upacara adat di Bali || dok foto @pitutsaputra)
Berbeda dengan ormas yang memiliki struktur, program, serta tujuan politik atau ekonomi tertentu, keberadaan pecalang muncul murni karena panggilan hati. Di setiap Banjar atau wilayah di Bali, para pecalang bekerja secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan materi. Walaupun terkadang hadir bentuk penghargaan atau apresiasi dari pihak pura maupun Banjar setempat, tujuan utama mereka bukanlah untuk memperoleh keuntungan, melainkan untuk ngayah atau berbakti. Semangat ini mencerminkan kecintaan mendalam terhadap pura, daerahnya, dan budaya setempat. Pecalang mengabdikan jiwa serta raganya demi kelancaran semua prosesi upacara atau hari suci keagamaan. Dengan ketulusan hati inilah, mereka menjadi simbol nyata keberpihakan terhadap pelestarian tradisi dan upaya menjaga keharmonisan antar warga.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, keberadaan pecalang tidak hanya dilihat dari sisi pengamanan fisik, tetapi juga sebagai perwujudan integrasi antara budaya, hukum, dan inovasi. Melalui dasar hukum yang menguatkan, filosofi yang mendalam, serta adaptasi terhadap tantangan zaman, pecalang terus membuktikan bahwa nilai tradisional dapat hidup harmonis di tengah arus globalisasi. Mereka adalah penjaga, pendidik, dan pelindung yang senantiasa mengupayakan kelestarian budaya Bali, menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk selalu menghargai akar identitas, menjaga kesucian upacara adat, serta secara selektif menyerap pengaruh budaya luar demi mempertahankan keunikan dan keharmonian budaya.
Di era globalisasi, arus budaya asing kerap menguji kestabilan identitas lokal. Dalam konteks ini, pecalang juga berperan sebagai filter yang selektif menyerap pengaruh luar. Dengan pemahaman mendalam atas nilai-nilai adat dan filosofi Tri Hita Karana, mereka mengevaluasi interaksi budaya asing agar tidak menggeser identitas Bali. Sikap preventif serta pengawasan yang cermat selama berbagai acara adat memastikan bahwa percampuran budaya berlangsung harmonis dan tetap mengakar pada tradisi leluhur.
(Pecalang. bersaput Hitam Putih dan Abu dalam sebuah mpemgamanan acara kesenian dok foto @pitutsaputra)
Melalui perpaduan peran sebagai pengawal upacara, pengaman kawasan wisata, serta filter budaya luar, pecalang telah melampaui fungsi semata-mata sebagai aparat keamanan. Mereka merupakan wujud nyata dari kecintaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional. Dengan dasar hukum yang kuat dan semangat pengabdian tanpa pamrih, pecalang menunjukkan bahwa pelestarian tradisi dan inovasi dapat berjalan berdampingan, membawa harapan bagi masa depan yang menjaga jati diri dan integritas budaya Bali.
ADVERTISEMENT
( Pitut Saputra )