Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Peran Big Data dalam Kebijakan Impor Beras
5 Oktober 2018 10:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari PKSANHAN LAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang diambil Kementerian Perdagangan untuk memberi izin impor beras tahap II kepada Bulog sebesar 500.000 Ton menimbulkan kontroversi. Protes dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Perbedaan data antar instansi tersebut terkait stok beras nasional menyebabkan perbedaan penafsiran dan perbedaan kebijakan yang diambil, sehingga kebijakan yang diambil tersebut tidak sejalan dan menambah kerumitan dalam pembahasannya. Data stok beras nasional dari Kemendag dan Kementan ini tidak sinkron dikarenakan perbedaan dari cara melihat dan mencari data. Kementan melihat data dari produksi komoditas beras sedangkan Kemendag dari situasi pasar saat ini.
ADVERTISEMENT
Data yang diperoleh dari Foreign Agriculture Service (2018) yaitu lembaga yang bergerak dibidang data-data pertanian menginformasikan bahwa di Indonesia data pertanian khususnya beras dari tahun ke tahun terus mengalami perbedaan standar deviasi yang besar. Di tahun 2015 deviasi produk pertanian beras sebesar 21%, naik menjadi 24% ditahun 2016, dan terus naik di tahun 2017 menjadi 28%. Semakin lebarnya devisi produk pertanian ini mengindikasikan bahwa ada masalah serius dalam pengelolaan data pertanian di Indonesia. Data yang tidak valid ini akan merugikan semua pihak mulai konsumen, produsen, dan pelaku usaha.
Impor beras sendiri dilakukan untuk menjaga batas aman stok beras nasional sebesar 1 juta ton dan untuk menurunkan harga beras nasional yang dinilai masih tinggi. Menurut data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk beras medium harganya masih Rp 10.500/Kg padahal HET Rp 9.450/Kg.
ADVERTISEMENT
Permasalahan perbedaan data dan informasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya juga terjadi perbedaan data yang dikeluarkan oleh pemerintah semisal data-data yang berkaitan dengan kondisi ekonomi, jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran, dan lainnya. Perbedaan-perbedaan informasi ini terjadi karena pemerintah belum mengelola data secara baik dan terintegrasi. Belum ada satu data yang dikembangkan oleh instansi pemerintah, kemudian sistem manajemen Big Data yang belum diterapkan secara menyeluruh oleh instansi pemerintah menyebabkan banyak perbedaan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah.
Pemanfaatan sistem big data, tidak terpaku pada data resmi saja melainkan juga data yang beredar di sosial media ataupun aplikasi Smartphone. Data yang bertebaran kemudian di lakukan“sensor”, dimana informasi-informasi tersebut dapat dikumpulkan dan dianalisis sehingga terbentuk suatu kesimpulan agar bisa dimanfaatkan dalam pembuatan suatu kebijakan. Ini disebut Internet of Things (IoT), dimana semua data yang beredar di dunia maya bisa diambil untuk dianalisis dan dibuat penilaian yang tepat dalam membuat tindakan yang tepat pula dan memang tindakan tersebut diperlukan dimasa depan.
ADVERTISEMENT
Dengan menggunakan Big Data perbedaan data dilapangan dapat disikapi dengan analisis data. Unit-unit terkait yang terlibat langsung yaitu, petani, koperasi, Bulog, dinas daerah, LSM atau bahkan pedagang beras bisa memberikan laporan yang akurat atau data lapangan yang sebenarnya kepada kementerian pertanian atau Kemenko Perekonomian melalui pesan di media sosial maupun aplikasi smartphone khusus yang dibuat untuk memantau stok beras nasional.
Indonesia cukup tertinggal dalam penggunaan Big Data ini. AS, Jepang, Korea, dan China sudah mulai sejak tahun 2009. Inggris dan negara-negara persemakmuran lainnya bahkan menginvestasikan jutaan dollar untuk mengembangkan Big Data ini.
Lembaga pemerintah yang sudah memulai penggunaan Big Data semisal LKPP, Ditjen Pajak, Badan Informasi Geospasial, dan Pemkot Kota Bandung, manfaatnya sangat besar diantaranya pengambilan keputusan yang efisien dan efektif, saling melengkapi data (data sharing), menghindari duplikasi data, meningkatkan kualitas data, mudah diakses, dan membangun kemitraan antar lembaga pemerintah.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi:
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara merekomendasikan:
Referensi:
ADVERTISEMENT
Alamsyah, A. (2015). (Big) Data Analytics for Economics, Business and Management: A Social Network Approach. In Workshop Big Data Puslitbang Aptika dan IKP,tanggal 19 Mei 2015. Puslitbang Aptika dan IKP.
Aryasa, K. (2015). Big Data: Challenges and Opportunities. In Workshop Big Data Puslitbang Aptika dan IKP, tanggal 19 Mei 2015. Puslitbang Aptika dan IKP.
Friedman, J. (1997). Data Mining and Statistics: What are the Connections?
http://www.ibmbigdatahub.com/infographic/four-vs-big-data, diakses tanggal 15 November 2015.
republika.co.id, 2018. KEMENDAG: IMPOR BERAS KARENA PASOKAN KURANG dalam http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian/18/05/18/p8xaen370-kemendag-impor-beras-karena-pasokan-kurang tanggal 18 Mei 2018
Sirait, Emyana Ruth Eritha, 2016. IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIG DATA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN INDONESIA dalam Jurnal Penelitian Pos dan Informatika (JPPI) Vol 6 No 2 (2016) 113 – 136 November 2016
ADVERTISEMENT
www. FAO.com, 2016
www. Katadata.co.id
Ditulis Oleh :
Tim Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara,
Lembaga Administrasi Negara RI