Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Kemenko PMK dan Plan Indonesia Evaluasi Stranas PPA
5 Februari 2025 12:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Plan Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkawinan anak terus menjadi persoalan krusial yang mengancam pemenuhan hak dan masa depan anak-anak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung penghapusan perkawinan anak, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK) mengadakan dialog kebijakan sekaligus diseminasi laporan bertajuk “Evaluasi atas Implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin di Wilayah Kerja Plan Indonesia dan Peran Sahabat Pengadilan dalam Mencegah Perkawinan Anak”.
Laporan ini mencakup lima lokasi, yaitu Sukabumi, Jawa Barat, Lombok Barat, Lombok Utara, dan Mataram, Nusa Tenggara Barat, serta Lembata dan Nagekeo. Nusa Tenggara Timur. Selain itu juga melibatkan peserta program Gema Cita, Bloom, Let's Talk, dan Yes I Do, yang merupakan program-program inisiatif Plan Indonesia untuk mencegah perkawinan anak.
ADVERTISEMENT
Tujuannya ialah untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan dalam menurunkan angka perkawinan anak, serta melindungi hak-hak anak terutama dalam proses dispensasi kawin. Adapun temuan-temuannya sebagai berikut:
1. Rendahnya Partisipasi Korban Perkawinan Anak untuk Melanjutkan Pendidikan
Meskipun pemerintah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP2KBP3A) telah menyediakan program seperti Sekolah Terbuka dan Kejar Paket, partisipasi korban perkawinan anak untuk melanjutkan pendidikannya tetap rendah. Faktor penyebabnya meliputi stigma sosial, rendahnya dukungan keluarga, dan keengganan anak keluar rumah. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan edukasi kepada anak-anak dan orang tua terkait pentingnya pendidikan.
2. Pencatatan Kasus Perkawinan Anak yang Belum Optimal
Kurangnya pencatatan kasus perkawinan anak, baik melalui dispensasi pernikahan maupun secara informal, menyulitkan monitoring dan evaluasi kebijakan. Data yang akurat diperlukan untuk merumuskan kebijakan perlindungan anak yang tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
3. Penilaian Subjektif dalam Pemberian Dispensasi Kawin
Alasan pemberian dispensasi kawin sering kali didasarkan pada pertimbangan subjektif seperti “khawatir terjadi kemudharatan.” Penilaian ini cenderung mengesampingkan aspek kecukupan umur serta kematangan psikologis anak. Plan Indonesia merekomendasikan agar Mahkamah Agung mewajibkan sertifikasi hakim anak untuk meningkatkan kualitas keputusan.
4. Minimnya Pemahaman Tokoh Masyarakat dan Kepolisian Mengenai Perspektif Perempuan dan Anak
Pandangan tokoh agama dan adat yang terbatas pada fiqih pernikahan tanpa mempertimbangkan hukum positif menjadi tantangan dalam penghapusan perkawinan anak. Program edukasi bagi tokoh masyarakat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak.
Selain itu, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak juga masih terkendala oleh terbatasnya personil kepolisian yang memiliki perspektif perlindungan perempuan dan anak. Pelatihan yang komprehensif dan integratif untuk mendukung implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menjadi kebutuhan mendesak.
ADVERTISEMENT
5. Keterbatasan Anggaran untuk Program Edukasi
Program edukasi kesehatan reproduksi dan perlindungan anak sering kali terhenti karena keterbatasan anggaran. Dukungan anggaran yang berkelanjutan dari pemerintah diperlukan untuk memastikan keberlanjutan program di daerah-daerah rentan.
Upaya Bersama Lawan Perkawinan Anak
Deputi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menyampaikan meski regulasi seperti UU, Perpres, dan Perma telah tersedia, tantangan utama masih ada di implementasi. Oleh karena itu, kolaborasi dengan remaja, pemuka agama, tokoh adat, serta organisasi seperti Plan Indonesia juga menjadi salah satu hal krusial dalam pencegahan perkawinan anak.
“Kemenko PMK memiliki mandat untuk fokus pada pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak perempuan. Meskipun data menunjukkan tren penurunan perkawinan anak secara nasional, namun masih ada provinsi dengan peningkatan kasus, seperti Riau, Sulawesi Selatan, Jambi, dan Sulawesi Tengah. Evaluasi strategi nasional dan regulasi perlu terus dilakukan agar kebijakan yang diterapkan tetap relevan dan efektif dalam mencegah perkawinan anak,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dini Widiastuti selaku Direktur Eksekutif Plan Indonesia menambahkan, “Stranas PPA dan PerMA 5/2019 memberikan kerangka kerja yang kuat, namun tantangan implementasi masih ada. Oleh karena itu, melalui laporan ini kami mendorong agar dilakukannya revisi kebijakan untuk mempersempit celah dispensasi kawin, meningkatkan efektivitas program edukasi, memperluas akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi bagi kaum muda, hingga memperkuat koordinasi berbagai pihak untuk efektivitas implementasi kebijakan,” jelasnya.
Dalam acara ini, Plan Indonesia juga mengangkat peran program Gema Cita yang telah diimplementasikan sejak Januari 2022 di Sukabumi, Lombok Barat, dan Nagekeo. Salah satu inisiatifnya, Sahabat Pengadilan, bekerja sama dengan Pengadilan Agama Giri Menang di Lombok Barat, menjadi wadah bagi anak untuk menyuarakan pendapat mereka dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
ADVERTISEMENT
Fira, perwakilan Kaum Muda Gema Cita, menyampaikan rekomendasi, termasuk mempertahankan pendekatan “Dari Anak, Oleh Anak, dan Untuk Anak” untuk memperkuat peran anak sebagai agen perubahan, memberikan edukasi berkelanjutan kepada anak, orang tua, dan masyarakat, serta menerapkan pendekatan berbasis budaya yang melibatkan tokoh agama dan adat di wilayah dengan pengaruh budaya yang kuat.
Live Update