Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pembangunan Air dan Sanitasi Harus Inklusif dan Berketahanan Iklim
24 Maret 2023 10:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Plan Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bencana yang berkaitan dengan air menyebabkan sulitnya akses air bersih dan sanitasi, sehingga memicu munculnya penyakit. Berdasarkan studi Air dan Sanitasi (WASH) yang dilakukan oleh UTS-ISF, UI dan UNICEF (2021) di Lombok Timur, Palu, Makasar, dan Bekasi, sekitar 4,2 miliar orang atau sekitar 55 persen dari populasi di dunia tidak memiliki manajemen dan layanan sanitasi yang baik. Kurangnya ketersediaan air membuat jamban tidak bisa digunakan, yang menyebabkan lebih dari 50 persen rumah tangga yang disurvei kehilangan akses sanitasi beberapa kali dalam sebulan atau bahkan dalam seminggu. Salah satu dampaknya adalah risiko gizi kronis pada balita yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan (stunting). Penyakit lain yang rawan muncul adalah diare dan infeksi saluran pernapasan bawah—dua penyakit yang utamanya muncul karena sanitasi yang tidak layak dan berkontribusi terhadap 4% kematian di NTT dan NTB (IHME, 2023).
ADVERTISEMENT
Maka, perbaikan kondisi air, sanitasi, dan kebersihan di masyarakat menjadi ujung tombak dalam ketahanan masyarakat. Terutama, dalam upaya beradaptasi terhadap krisis iklim—faktor lain yang mengurangi jumlah ketersediaan air dan sanitasi bagi masyarakat. Perlu diingat, krisis iklim tidak berdampak pada semua orang secara sama. Beberapa kelompok masyarakat lebih rentan terhadap krisis ini, terutama anak, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, perempuan, kelompok penyandang disabilitas, maupun kelompok minoritas lain yang kemampuan adaptasinya lebih rendah.
Mereka yang lebih terdampak
Berdasarkan baseline project dan data awal Monitoring Kesetaraan Gender dalam WASH yang dilakukan oleh Plan Indonesia (2018), perempuan di NTB dan NTT menghabiskan waktu lebih lama dalam sehari dibanding laki-laki untuk mengelola air dan sanitasi dalam rumah. Tidak jarang, anak juga ikut bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan air baik di rumah maupun di sekolah dengan mengambil air hingga berkilo-kilo meter pada saat terjadi kemarau ekstrem.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, menurut laporan UTS-ISF, UI dan UNICEF (2021), perempuan lebih sulit untuk buang air besar ketika terjadi kenaikan permukaan air laut dan memenuhi kebutuhan kebersihan menstruasi selama musim kemarau. Sementara,-anak tidak dapat mengakses jamban pada saat hujan deras maupun kemarau. Sebagian besar anak melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau menggunakan jamban tetangga, jamban umum, atau jamban sekunder rumah tangga.
Penyandang disabilitas fisik dan lansia juga mengalami situasi yang lebih sulit pada saat terjadi cuaca ekstrem. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh masyarakat desa dalam diskusi yang difasilitasi oleh Plan Indonesia 2022, kondisi hujan lebat maupun kekeringan memberikan kesulitan yang lebih bagi penyandang disabilitas fisik maupun lansia. Terutama untuk mengakses fasilitas air dan sanitasi baik di rumah tangga maupun di fasilitas umum.
ADVERTISEMENT
Kelangkaan air juga turut berdampak pada kebutuhan tambahan untuk pembelian air bersih bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Subsidi air dari pemerintah ada kalanya tidak cukup untuk mendukung kebutuhan semua kelompok yang akhirnya mau tidak mau harus menambah dengan membeli air bagi masing-masing rumah tangga. Berdasarkan data yang dilansir Ombudsman, pada tahun 2020 di Kota Kupang, kebutuhan untuk pembelian air untuk tangki ukuran 5.000 liter dengan harga berkisar Rp 60 ribu sampai Rp70 ribu per satu-dua minggu. Ini tentunya cukup memberatkan terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
Bila disimpulkan, lokasi geografis, status keuangan, juga gender menjadi beberapa faktor penyebab kerentanan yang mempengaruhi kapasitas masyarakat dalam menghadapi krisis iklim . Meskipun demikian, kelompok masyarakat ini jarang dilibatkan dalam diskusi penyusunan program maupun kebijakan. Kebijakan yang tidak inklusif akan memberikan dampak yang tidak adil.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Membuat WASH Inklusif dan Tangguh?
Untuk menjamin akses air dan sanitasi untuk semua orang tanpa terkecuali, praktik air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) harus berkesetaraan gender dan inklusi sosial serta berketahanan iklim. Dalam Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim Pasal 7.5, disebutkan bahwa para pihak mengakui aksi adaptasi iklim harus mengikuti kebijakan yang digerakkan oleh negara, tanggap gender, partisipatif dan (meggunakan) pendekatan yang sepenuhnya transparan, dengan mempertimbangkan kelompok rentan. Sehingga, memang sangat penting melibatkan semua kelompok tanpa terkecuali, untuk menjadi bagian dalam keputusan dan pilihan aksi untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan WASH.
Plan Indonesia dan Plan International Australia bersama Monash University menginisiasi Forum Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT) sebagai upaya merespons perubahan iklim dalam konteks air dan sanitasi. Forum PSDAT melibatkan organisasi perempuan, organisasi penyandang disabilitas, akademisi, praktisi, NGO dan perwakilan pemerintah (Nasional/Provinsi/Kabupaten). Adapun tujuan dari Forum PSDAT ini adalah 1) mengakomodasi dan mengarahkan aspirasi komunitas; 2) sebagai media komunikasi dan koordinasi; 3) mensinergikan program lintas sektor; 4) mengembangkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat; 5) pemberdayaan komunitas; serta 6) pengembangkan Arahan Strategis sebagai panduan program kerja. Saat ini, forum PSDAT di Kabupaten Sumbawa NTB sudah mendapatkan legalitas dan memiliki program kerja untuk mendukung pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu dan akan direplikasikan di kabupaten lain. Forum PSDAT diharapkan mampu menjaga ketahanan air melalui Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan, bertanggung jawab, partisipatif, terpadu, produktif, dan adil.
ADVERTISEMENT
Faktor lain yang menjadi penting dalam proses adaptasi iklim adalah menyediakan sarana sanitasi yang berketahanan iklim. Maka, Plan Indonesia melalui program Water for Women mengembangkan opsi teknologi dalam merespon WASH yang aksesibel dan berketahanan iklim. Melalui prinsip Human Centred Design, Plan Indonesia bekerjasama dengan Wirausaha Sanitasi (wusan) perempuan , Organisasi Penyandang Disabilitas dan Universitas Nusa Cendana mengembangkan desain kloset hemat air di Kupang. Selain itu, di area rentan banjir di Kabupaten Malaka dan Belu, Plan Indonesia melalui WASH proyek SDG bersama wusan dan mitra pelaksana merancang dan mengujicobakan toilet adaptif terhadap banjir dan bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Proses desain ini dimulai dengan penilaian kerentanan, risiko dan bahaya yang dipimpin langsung oleh organisasi disabilitas.
ADVERTISEMENT
Untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan tangguh di tengah krisis iklim, tentu diperlukan komitmen bersama untuk mendorong dan membiayai praktik WASH yang inklusif. Hari Air Sedunia yang diperingati setiap tanggal 22 Maret ini bisa menjadi momentum bagi kita dalam membangun dukungan dan kesadaran terhadap pentingnya konservasi air dan upaya mencegah krisis air global.
Tahun ini, tema Hari Air Sedunia adalah akselerasi perubahan menuntaskan krisis air dan sanitasi. Dalam momentum inilah, Plan Indonesia mengajak semua pihak termasuk di dalamnya individu, pers, akademisi, pemerintah, filantropis, anak muda, perusahaan swasta, LSM dan kelompok masyarakat lainnya untuk bergerak bersama-sama dalam mendorong investasi pembangunan WASH yang berketahanan iklim dan inklusif. Bersama, mari bergerak mewujudkan masyarakat dunia yang sehat, tangguh dan mandiri.
ADVERTISEMENT
Oleh: Novika Noerdiyanti, Neky Nitbani, dan Herie Ferdian