Konten dari Pengguna

Film Alita: Battle Angel, Penantian Belasan Tahun yang Sia-sia

Play Stop Rewatch
Media yang fokus membahas pop culture dan aktif di channel YouTube serta instagram.
6 Februari 2019 11:44 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Play Stop Rewatch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alita: Battle Angel (20th Century Fox)
zoom-in-whitePerbesar
Alita: Battle Angel (20th Century Fox)
Play Stop Rewatch, Jakarta – Setelah Ghost in The Shell, Alita: Battle Angel menjadi percobaan kedua Hollywood untuk mengadaptasi kisah manga yang populer di negara asalnya Jepang.
ADVERTISEMENT
Perbedaannya dengan Ghost in The Shell, percobaan dengan Alita melibatkan langsung dua nama besar di industri perfilman Hollywood yaitu James Cameron (Titanic, Avatar) selaku produser dan Robert Rodriguez (Sin City, Desperado) sebagai sutradara.
Tak pelak kombo, keduanya memberikan ekspektasi tinggi terhadap film adaptasi karya Yukito Kishiro tersebut.
Battle Angel Alita (Kodansha)
Berita buruknya, ekspektasi tinggi tersebut tak berbalas. Walau Alita: Battle Angel sudah digodok James Cameron sejak tahun 2000, jauh sebelum ia memproduksi film tersuksesnya yaitu Avatar, hasilnya malah setengah matang.
Dalam beberapa bagian, film ini mampu tampil menonjol dengan kualitas yang pas dengan nama besar James maupun Robert.
Namun, di bagian lain, film ini seperti tidak digarap dengan sepenuh hati dan memberi kesan sia-sia terhadap penggarapan selama 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Adapun salah satu hal yang bisa dikatakan menonjol dari film ini adalah kesetiaan terhadap kisah manganya.
James dan Robert memang melakukan sejumlah perubahan terhadap kisah Alita, namun perubahan tersebut tidak mengubah garis besar narasi yang dibangun di manga.
Hal ini berbeda dengan adaptasi Ghost In The Shell yang terasa ganjil karena menggabungkan berbagai iterasi sekaligus.
Menyerupai kisah manganya, Alita: Battle Angel bercerita tentang pencarian jati diri yang dilakukan cybernetic organism bernama Alita (Rosa Salazar) usai direkonstruksi ulang oleh Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz).
Pada awalnya, Alita merasa dirinya hanyalah cyborg biasa yang tidak memiliki fungsi khusus. Namun, lewat sejumlah insiden dimana ia mampu mengalahkan berbagai cyborg berbahaya dengan mudahnya, Alita menyadari bahwa ia diciptakan untuk hal lain yang tak lagi ia ingat.
Alita: Battle Angel (20th Century Fox)
Dalam prosesnya, pencarian jati diri tersebut ternyata tidak mudah. Alita mengalami berbagai gangguan dari organisasi jahat yang dipimpin oleh Nova (Edward Norton).
ADVERTISEMENT
Diam-diam, Nova mengetahui ihwal di balik penciptaan Alita dan tidak ingin cyborg perempuan tersebut menyadarinya.
Kesetiaan terhadap kisah manganya tersebut didukung dengan visual effect dan set piece yang tidak main-main.
Efek visual di berbagai action dibangun dengan rapi dan detil, jauh melebihi Avatar yang dulu disutradarai James.
Hal itu terasa kentara pada saat scene motorball yang tampil brutal dan cepat seperti film-film Robert, dimana menjadi jualan utama film ini.
Visualisasi Zalem, setting Alita: Battle Angel, yang melayang di atas Iron City juga mampu membuat mulut menganga saking detil dan realistisnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa setting Zalem dan Iron City sedikit banyak mengingatkan Play Stop Rewatch terhadap setting film Elysium dan cybertron di film Transformers.
Alita: Battle Angel (20th Century Fox)
Seperti yang dikatakan sebelumnya, sangat disayangkan, kisah yang setia pada versi manga dan visualisasi yang apik itu tidak diikuti dengan eksekusi yang maksimal.
ADVERTISEMENT
Film ini hanya terasa benar-benar rapi di sepertiga pertama film dimana background cerita dan karakter yang ada dikembangkan dengan baik.
Namun, begitu memasuki pertengahan film, kerapihan tersebut runtuh dan berubah menjadi film yang tampak kebingungan mau dibawa ke mana.
Hal itu diperparah dengan resolusi pada bagian akhir film. Resolusi yang dihadirkan terlalu mudah ditebak dan tidak memberi kesan mendalam.
Walhasil, yang bisa diingat dari film ini hanyalah visual dan action brutalnya yang menunjukkan kehandalan Robert dalam memproduksi adegan laga.
Akhir kata, Alita: Battle Angel cocok untuk dinikmati sebagai popcorn movie. Sangat disayangkan, film sepotensial ini dibumbui dengan scripting yang kurang baik. Di bagian adegan akhir, jelas sekali universe film ini masih dapat dilanjutkan jika berhasil tembus box office.
ADVERTISEMENT
ANDRI | ISTMAN