Menilai Pantas atau Tidaknya 'Green Book' Meraih Penghargaan Oscars

Konten Media Partner
26 Februari 2019 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kemenangan Green Book pada kategori Best Picture (Foto: Chris Pizzello/Invision/AP)
zoom-in-whitePerbesar
Kemenangan Green Book pada kategori Best Picture (Foto: Chris Pizzello/Invision/AP)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Inggris – Dalam perhelatan Academy Awards 2019 atau Piala Oscars 2019, Green Book mengejutkan banyak pihak dengan tampil sebagai pemenang untuk kategori Best Picture.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, banyak pihak yang memprediksi bahwa Roma yang akan membawa pulang Piala Oscars untuk kategori tersebut, lantaran rekam jejak penghargaan yang nyaris sempurna.
Tak pelak, kemenangan Green Book menuai berbagai reaksi keras, salah satunya dari Spike Lee, di mana Blackkklansman karyanya bertarung melawan Green Book di beberapa nominasi Oscars 2019.
Di satu sisi, ada yang menganggap Green Book tidak akurat dalam menggambarkan masalah rasialisme di Amerika, sementara ada yang menganggap film tersebut mengkritik rasialisme setengah hati karena narasinya dibangun dengan orang kulit putih sebagai pusatnya.
Green Book, menurut Play Stop Rewatch, tetaplah sebuah film yang menghibur dan dalam berbagai sisi memiliki kualitas untuk membawa pulang Piala Oscars. Namun, Play Stop Rewatch juga tidak bisa mengingkari bahwa ada masalah dengan film tersebut, sehingga kemenangannya pantas dikritik.
ADVERTISEMENT
Berikut pandangan Play Stop Rewatch kenapa Green Book pantas dan tidak pantas menang Oscars.

Pantas: 'Ramah' Oscars

By design, Green Book memenuhi segala unsur atau ciri-ciri film yang ‘ramah’ Oscars. Pertama, Green Book adalah film yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Kedua, Green Book adalah film autobiografi tentang persahabatan Don Shirley dan Tony Lip.
Ketiga, film tersebut mengangkat tema sensitif dengan ringan dan tidak menyerang pihak tertentu. Terakhir, film yang disutradarai Peter Farelly tersebut memiliki kualitas klasik yang pas dengan demografi juri Oscars dari Academy of Motion Pictures and Arts (AMPAS).
Green Book tidak bisa dianggap bersalah hanya karena mengikuti formula tersebut. Pada kenyataannya, AMPAS selaku penyelenggara Oscars memang masih condong ke film dengan kemasan seperti Green Book. Dengan kata lain, tidak salah juga menyebut Green Book pantas menang karena keberhasilannya mengemas diri agar pas dengan selera juri.
ADVERTISEMENT

Tidak Pantas: Tampil Kuno

Meski sah-sah saja bagi Green Book untuk mengikuti formula ‘ramah’ Oscars, tetapi pada kenyataannya, film tersebut terlalu menelannya bulat-bulat. Alhasil, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru atau spesial dari Green Book. Green Book menjadi terasa terlalu kuno dan aman di balik ceritanya yang menghibur.
Kualitas kuno tersebut semakin terasa ketika Green Book dibandingkan langsung dengan penantangnya, yaitu Black Panther, Blackkklansman, The Favourite, dan Roma. Film-film tersebut punya presentasi yang segar, modern, dan mencolok, baik dari sisi narasi maupun visual.
Sementara itu, Green Book terasa seperti film tahun 80-an ala Driving Miss Daisy yang kerap dijadikan pembandingnya.

Pantas: Tertolong Sistem

Salah satu hal yang juga patut diduga membuat Green Book berhasil membawa pulang Oscars adalah sistem penjurian dari Oscars itu sendiri. Perlu diketahui, AMPAS selaku penyelanggara Oscars tidak memakai sistem voting yang umum, di mana pemegang suara terbanyak menjadi pemenang.
ADVERTISEMENT
AMPAS memakai sistem yang disebut sebagai Preferential Voting System atau sistem voting bertahap. Mekanismenya, voting akan terus digelar hingga salah satu film yang dinominasikan berhasil memperoleh lebih dari 50 persen total suara juri.
Nah, setiap kali voting digelar ulang, film dengan perolehan suara terendah pada tahapan sebelumnya akan disingkirkan, sehingga suara juri dari film tersebut bisa digunakan untuk film lain.
Dengan sistem tersebut, film-film dengan posisi terendah kedua memiliki kesempatan untuk mengejar ketinggalan. Nah, mengingat Green Book termasuk salah satu film dengan review yang tidak begitu cemerlang, patut diduga bahwa sistem inilah yang membuatnya mendadak pantas jadi pemenang.
Lagi-lagi, kembali ke kualitas Green Book yang cenderung ‘ramah’ Oscars.
ADVERTISEMENT

Tidak Pantas: Mengangkat Isu Ras Setengah Hati

Dibandingkan Blackkklansman atau Black Panther, pendekatan Green Book terhadap isu ras memang cenderung setengah hati. Ada beberapa indikator yang bisa menjadi petunjuknya, mulai dari isu ras yang hanya menjadi sub-plot hingga narasi yang berpusat pada tokoh kulit putih.
Jika memang film ini berniat untuk menggali isu ras sebagaimana yang diklaim, maka seharusnya tokoh Don Shirley beserta konflik-konflik rasnya yang menjadi pusat cerita, bukan malah persahabatan Tony Lip dan Don Shirley.
Play Stop Rewatch menduga bahwa Peter Farelly selaku sutradara memang tidak sepenuhnya berniat mengemas Green Book sebagai kritik atas isu rasialisme di Amerika Serikat. Sebagai sutradara komedi, sepertinya ia hanya berniat untuk menggali unsur yang bisa dikemas sebagai komedi, yaitu persahabatan Tony dan Don.
ADVERTISEMENT
Istman | Screenrant