Perkembangan Era Superhero Indonesia

Konten Media Partner
18 Agustus 2020 8:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pahlawan-pahlawan super Indonesia yang kisahnya layak dijadikan film Foto: Grafik: Sabryna Putri Muviola/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pahlawan-pahlawan super Indonesia yang kisahnya layak dijadikan film Foto: Grafik: Sabryna Putri Muviola/kumparan
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Bisa dibilang hampir semua karakter superhero berawal dari komik terlebih dahulu. Tidak hanya berbicara soal Marvel dan DC, begitu juga dengan superhero Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketika komik superhero barat sedang ramai diperbincangkan di Indonesia pada tahun 1950an, para komikus lokal mulai mencoba membuat komik superhero dengan kearifan lokal.
Karya pertamanya adalah Sri Asih yang digarap oleh R.A Kosasih. Sri Asih adalah hasil gabungan konsep lokal dan Amerika. Konsep lokal diwakili lewat penokohan yang menyerupai wayang golek dan konsep Amerika diwakili lewat storytelling-nya.
Keberhasilan Sri Asih tersebut mendorong komikus lain untuk membuat komik superhero lainnya. Sejak saat itu, lahirlah superhero-superhero Indonesia generasi pertama seperti Siti Gahara, Putri Bintang, dan Garuda Putih.
Sayangnya, era tersebut tidak berlangsung lama karena kisahnya banyak mengajarkan ideologi asing. Karena pada masa itu, masyarakat Indonesia sedang memiliki sentimen negatif terhadap budaya barat. Implikasinya, scene superhero pun berganti menjadi kisah wayang.
ADVERTISEMENT
Di pertengahan 1960an, komik superhero kembali populer. Komikus-komikus baru mulai bermunculan dengan melanjutkan konsep R.A Kosasih. Salah satu yang paling terkenal adalah Gundala yang dibuat oleh Hasmi pada tahun 1969.
Pada saat yang bersamaan juga muncul Godam karya Widi NS, Labah-labah Merah karya Kus Bram, Virgo karya Jan Mintaraga, dan masih banyak lagi. Superhero pada generasi ini dibuat semakin banyak terinspirasi dengan film Hollywood, sebagai contoh kisah Gundala bertemu Ki Wilawuk tersinpirasi dari film The Thing That Couldn't Die (1958) karya Will Cowan.
Pada tahun 1970-1980an, superhero Indonesia mulai masuk ke ranah perfilman. Produser lokal mulai mencoba mengadaptasi kisah superhero Indonesia seperti Rama: Superman Indonesia (1974), Darna Ajaib (1980), dan Gundala Putra Petir (1981).
ADVERTISEMENT
Memasuki era 1990-2000an, serbuan film Hollywood membuat film superhero Indonesia kehilangan daya tariknya. Walhasil, genre superhero pun beralih ke layar TV.
Ada yang berupa hasil adaptasi kisah-kisah superhero lokal seperti Wiro Sableng karya Bastian Tito dan Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH atau orisinal yang berupa mockbuster seperti Panji Manusia Millenium.
Sekarang, film superhero Indonesia mulai mengikuti cara main genre superhero yang sudah terbukti kesuksesannya di luar sana. Sebut saja Bima Satria Garuda yang dibuat ala tokusatsu. Selain itu, ada Valentine yang meniru film Kickass. Kemudian, ada Gundala, film pertama dari Jagat Sinema Bumilangit yang ingin mengikuti Marvel Cinematic Universe.
Pendekatan dengan konsep Transmedia Storytelling ini juga diikuti oleh Jagat Satria Dewa, semacam kompetitor dari Jagat Sinema Bumilangit. Perbedaannya, Jagat Satria Dewa memakai tokoh-tokoh wayang dengan pendekatan yang lebih modern.
ADVERTISEMENT