Review Chaos Walking: Dunia yang Tak Mengenal Perempuan dan Kerahasiaan Pikiran

Konten Media Partner
5 April 2021 8:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tom Holland dan Daisy Ridley di film Chaos Walking
zoom-in-whitePerbesar
Tom Holland dan Daisy Ridley di film Chaos Walking
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Play Stop Rewatch, Jakarta - Setelah tertunda selama dua tahun, Tom Holland dan Daisy Ridley akhirnya beradu akting lewat film Chaos Walking yang tayang di layar lebar. Disutradarai oleh Doug Liman (Edge of Tomorrow, The Bourne Identity), Chaos Walking merupakan hasil adaptasi buku pertama dari trilogi Chaos Walking yang berjudul The Knife of Never Letting Go (2008).
ADVERTISEMENT
Seperti bukunya, Chaos Walking berlatar tahun 2257 di sebuah dunia distopia bernama New World. Di dunia tersebut, hanya laki-laki yang hidup, tak ada perempuan. Selain itu, penghuninya dapat saling membaca dan mendengar pikiran satu sama lain karena semua isi kepala diproyeksikan secara audio visual. Proyeksi tersebut dikenal dengan nama "Noise".
Dengan adanya Noise, nyaris mustahil untuk menyembunyikan ide, ekspresi, niat jahat maupun buruk di New World. Namun, bagi mereka yang mentalnya kuat dan mampu mengosongkan pikiran, maka Noise tak lagi masalah. Noise menjadi tak terlihat dan orang tersebut akan sulit untuk ditebak, apalagi ditundukkan.
Todd Hewitt (Tom Holland), warga dari kota Prentisstown, bukan salah satu dari mereka yang mampu mengendalikan Noise. Ia selalu kelimpungan. Isi pikirannya sudah seperti konsumsi khalayak, nyaris tidak terbendung. Hidupnya berubah ketika sebuah pesawat pengintai luar angkasa jatuh di dekat Prentisstown.
ADVERTISEMENT
Todd mendapati seluruh kru pesawat tersebut telah mati selain seorang perempuan bernama Viola (Daisy Ridley). Kaget karena baru pertama kali melihat perempuan, Todd langsung melaporkan temuannya kepada Wali Kota Prentisstown, David Prentiss (Mads Mikkelsen). Dianggap makhluk asing, David langsung memerintahkan penangkapan Viola.
Rencana tidak berjalan sesuai harapan David. Krunya gagal menangkap Viola gara-gara ulah anaknya, Davy (Nick Jonas). Sementara Todd, yang terpana melihat perempuan untuk pertama kalinya, memutuskan untuk membantu Viola kabur demi mengetahui lebih jauh apa yang berada di luar Prentisstown, kenapa dia datang ke New World, dan kenapa tidak ada perempuan sebelumnya. Perjalanan Todd dan Viola membawa mereka ke fakta-fakta gelap soal peradaban di New World.
Menjadi film kesekian yang diadaptasi dari novel bergenre sci-fi/ young adult, Chaos Walking jelas menghadapi tantangan berat. Dalam sejarahnya, tidak banyak novel young adults yang berhasil berkembang menjadi franchise sukses dengan kualitas konsisten. Franchise sukses seperti Maze Runner, The Hunger Games, Divergent, dan Twilight pun menghadapi periode-periode di mana kualitas film mereka anjlok. Sayangnya, Chaos Walking gagal melewati tantangan tersebut.
Tom Holland dan Daisy Ridley di film Chaos Walking
Secara plot dan setting, Chaos Walking sesungguhnya memiliki premis yang menarik di mana peradaban didominasi pria dan seluruh isi pikiran tak bisa lagi disembunyikan. Namun, sutradara Doug Liman tidak sekalipun mengembangkan elemen-elemen menarik tersebut. Ia hanya menggunakannya sebagai plot device, memudahkan perpindahan dari satu plot ke plot yang lain. Ia terlalu berfokus kepada adegan kejar-kejaran, perkelahian, serta chemistry antara Tom Holland dan Daisy Ridley.. Bisa dimaklumi, ketika Chaos Walking diproduksi, Tom dan Daisy baru saja menggebrak lewat Spider-Man: Homecoming dan Star Wars: Force Awakens.
ADVERTISEMENT
Andai saja Doug Liman mau berhenti sejenak untuk menelusuri keunikan dari New World dengan segala male-dominated rules-nya, Chaos Walking sesungguhnya film yang bisa menghadirkan diskusi-diskusi menarik mulai dari feminism, toxic masculinity, hingga freedom of expression. Sebagai contoh, adegan Todd berusaha menahan Noise yang memperlihatkannya menangis adalah sindiran terhadap stigma di masyarakat bahwa pria yang jantan tidak boleh menangis.
Tidak adanya perempuan di Prentisstown pun juga sejatinya bisa menjadi diskusi menarik, terutama soal apa jadinya peradaban jika tak ada peran perempuan di dalamnya. Hancur? Sustain? Chaos Walking mengesampingkan eksplorasi tersebut. Doug Liman sepertinya berpikir bahwa isu perempuan bisa sepenuhnya bertumpu pada Viola sebagai satu-satu heroine di Chaos Walking. Namun, karena karakter ia hadir hanya untuk satu misi (baca: one dimensional), tidak ada pesan-pesan menarik lainnya dari dia selain "perempuan independen dan kuat".
ADVERTISEMENT
Gawatnya, meski fokus sudah dialihkan ke action dan chemistry antara Tom Holland serta Daisy Ridley, hasilnya pun setengah matang. Pengalaman Doug Liman sebagai sutradara laga tidak terlihat wujudnya di sini. Tidak ada adegan laga se-visceral Bourne of Identity di mana setiap pukulan terasa menghentak dan "in your face".
Karakter Todd dan Viola juga tidak di-develop dengan baik. Peran mereka cenderung straightforward tanpa adanya plot atau konflik yang bisa mengeksplor karakternya secara lebih dalam. Alhasil, tidak ada kesempatan untuk kedua pemerannya tampil bersinar. Jangan membayangkan bakal mendapat interaksi ala Peter Parker dan Rey Skywalker.
Masalah-masalah tersebut mungkin saja bersumber dari teknis produksi yang mengganggu dan berdampak signifikan ke kualitas filmnya. Chaos Walking sejatinya telah memulai proses produksi pada 2017 lalu untuk kemudian rilis tahun 2019. Namun, ketika film usai diproduksi, hasilnya tak sesuai harapan.
ADVERTISEMENT
Reshoot digelar tak lama kemudian untuk memperbaiki kualitas film tersebut. Pengambilan gambar ulang dilakukan secara besar-besaran dengan target rilis digeser ke 2020. Sial menimpa proses produksi, pandemi COVID-19 menyerang di mana memaksa rilis digeser lagi ke tahun 2021. Alih-alih memperbaiki kualitas, Chaos Walking tetap saja tidak tampil maksimal. Pada akhirnya film ini terasa tak berbeda jauh dengan film-film fiksi ilmiah medioker lainnya seperti After Earth, Transcendence, dan Mortal Engines.
Terlepas dari itu semua, Chaos Walking masih memiliki sejumlah kelebihan yang membuatnya tampil menarik di layar lebar. Keberadaan Noise memberikan tampilan visual yang berwarna sekaligus menyegarkan. Unsur Sci-fi Western juga menambah dan menjadi daya tarik utama di film ini dengan yang konsep high-tech dan prestisius, mengingatkan kita kepada The Mandalorian dan Cowboys Vs Aliens. Namun, lagi-lagi, ada wasted opportunity di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Chaos Walking mulai bisa disaksikan pada 7 April 2021 di seluruh bioskop Indonesia.
Fathin Hilmi Muyassar