Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Review Film Conjuring: The Devil Made Me Do It - Bukan Horror Sepenuhnya
5 Juni 2021 7:56 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Setelah lima tahun absen, franchise film the Conjuring akhirnya kembali ke layar lebar via Conjuring: The Devil Made Me Do it. Setelah beberapa spin-off seperti Annabelle dan The Nun, The Devil Made Me Do It adalah upaya untuk balik ke kisah utama franchise Conjuring.
ADVERTISEMENT
Untuk merayakannya, aktor Patrick Wilson dan Vera Farmiga hadir lagi sebagai pasangan detektif paranormal Ed serta Lorraine Warren. Selain itu, James Wan juga kembali meski sebagai produser, bukan sutradara. Kursi sutradara diduduki oleh Michael Chaves yang di tahun 2019 sukses meneror dengan film The Curse of La Llorona yang juga bagian dari the Conjuring Universe.
Kisah Conjuring: The Devil Made Me Do It diawali dengan Ed dan Lorraine menerima permintaan untuk menuntaskan kasus exorcism (pengusiran iblis) pada keluarga Glatzel. Anak dari keluarga tersebut, David (Jullian Hillard), diduga dirasuki oleh Iblis kejam.
Exorcism berhasil dilakukan, namun tidak selancar yang diharapkan. Iblis yang merasuki David bukannya menghilang, namun berpindah inang. Ia ganti merasuki kakak dari David, Arne (Ruairi O’Conner). Baik Ed maupun Lorraine tidak menyadari hal tersebut hingga Arne membunuh rekan kerjanya sendiri di luar kendalinya.
ADVERTISEMENT
Pembunuhan itu membuat Arne terancam dihukum berat. Ed dan Lorraine berusaha menyakinkan hakim bahwa apa yang dilakukan Arne adalah tindakan iblis, namun hasilnya nihil. Hakim tidak percaya dengan penjelasan keduanya. Mau tidak mau Ed dan Lorraine harus mencari bukti kuat bahwa ada pihak yang mencoba menjebak Arne dengan memanfaatkan kekuatan jahat.
Sekilas, premis film ini sama seperti pendahulunya, masih berbicara soal kekuatan jahat dan pengusirannya. Namun, direksinya berbeda. Conjuring: The Devil Made Me Do It lebih berfokus pada investigasi dibanding pembasmian iblisnya. Sedikit banyak hal ini mengingatkan kami pada Spiral yang merupakan upaya penyegaran franchise SAW dengan lebih menekankan pada kerja detektif.
Perbedaan direksi itu berujung pada Conjuring: The Devil Made Me Do It tidak se-horror pendahulunya. Meski masih menegangkan, tidak ada lagi terror gila, ketakutan, dan kejutan yang siap menyergap penonton. Film ini lebih story-driven yang mungkin bisa menjadi deal breaker bagi yang berharap Conjuring kembali dengan gaya supernatural horror yang ada sejak film pertamanya.
ADVERTISEMENT
Horror pada Conjuring: The Devil Made Me Do It hanya menyeramkan pada bagian-bagian awal film. Seiring berjalannya cerita, supernatural horror mulai bergeser ke psychological horror di mana lebih thrilling dibandingkan menakutkan. Hal itu memberi nuansa berbeda pada kisah Conjuring.
Di luar unsur horror-nya, hal yang patut di-highlight dari Conjuring: The Devil Made Me Do It adalah pengembangan karakter Ed dan Lorraine. Untuk pertama kalinya penonton bakal melihat lebih jauh apa yang membuat Ed dan Lorraine berakhir di bidang supernatural. Setan, paranormal, supernatural ternyata sudah menemani mereka berdua sejak muda yang uniknya malah membuat hubungan Ed dan Lorraine kian kuat. Seperti kata filsuf Friedrich Nietzsche, “There is always some madness in love. But there is also always some reason in madness.”
ADVERTISEMENT
Selalu terdapat kegilaan dalam sebuah kisah cinta. Dalam kasus Ed and Lorraine, kegilaan itu adalah turut sertanya iblis dan penghuni-penghuni alam supernatural lainnya dalam kehidupan mereka. Namun, kegilaan itu malah memantapkan hubungan keduanya, membuat mereka berani berjalan di antara kegilaan-kegilaan itu untuk melawan daripada yang jahat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu kekuatan dari franchise Conjuring adalah chemistry maut Ed dan Lorraine. Mereka berdua yang membuat kisah Conjuring tetap engaging, tetap manusiawi di tengah kegilaaan-kegilaan yang ditampilkannya. Sutradara Michael Chaves sepertinya sadar betul akan hal tersebut yang kemudian mengubah direksi film agar memberi penekanan lebih kepada hubungan keduanya, termasuk masa-masa manis sebelum kekuatan supernatural mengancam mereka.
Perihal teknis, hal itu sudah tidak perlu ditanya lagi. Sound Design dan Scoring tetap berperan integral dalam membangun mood di film ini. Terror dan horror hadir bukan dari kehadiran iblis saja, namun dari bagaimana suara mengamplifikasi set dan kisah yang sudah memberikan nuansa kelam. Penonton akan sering dikagetkan dengan suara yang menyeramkan dan penuh kegelapan pada film ini.
ADVERTISEMENT
Sinematografinya tidak kalah unik. Conjuring: The Devil Made Me Do It sering menampilkan komposisi framing yang memanfaatkan jendela, pintu, atau sudut-sudut ruangan. Sedikit banyak mengingatkan pada framing di film Sinister dari sutradara Scott Derrickson atau In The Mood for Love dari Wong Kar Wai jika ingin di luar ranah horror.
Overall, dengan treatmentnya yang berbeda, Conjuring: The Devil Made Me Do It memberikan nuansa baru pada franchise yang sudah berusia delapan tahun dan melahirkan delapan film tersebut. Conjuring terbaru memang tidak se-supernatural ataupun se-horror prekuelnya, namun film ini menghadirkan kisah dan penyampaian misteri yang lebih engaging dibanding Conjuring kedua. Hal yang harus dibayar, antagonis film ini menjadi tidak se-memorable sebelumnya akibat direksi yang berbeda dari Michael Chaves.
ADVERTISEMENT
TRISNANYOLO