Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Pink Moon: Judul Warna-Warni, Kisahnya Soal Bunuh Diri
18 Oktober 2022 17:20 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Kalau mau disederhanakan, film Pink Moon karya Floor Van Der Meulen pantas dilaporkan sebagai perbuatan tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, kisah film yang tayang di Jakarta Film Week 2022 ini tidak sewarna-warni judulnya. Bahkan, penulis sampai googling nama writernya, Bastiaan Kroeger, untuk mengira-ngira lagi ada masalah apa sampai membuat Pink Moon.
ADVERTISEMENT
Ya, sebelum mulai nonton, penulis sebenarnya sudah merasakan hawa-hawa red flag kalau filmnya bakal mengandung 'bawang'. Namun, penulis gak menyangka bahwa kisah yang dibawakan Pink Moon bisa bikin 94 menit terasa worth it hingga waktu terasa berlalu begitu cepat.
Sebelum mulai bahas isi filmnya, sedikit warning buat yang kesehatan mentalnya lagi kurang bagus akhir-akhir ini. Terutama, bagi yang sedang berpikir untuk mengakhiri hidup. Do seek appropriate help and keep finding little joys in life to hang with.
Back to business, bayangin kalian lagi enak-enak makan malam tiba-tiba bokap bilang “kayaknya tahun depan papa udah gak tertarik hidup lagi deh” terus lanjut ngunyah sambil minum anggur.
Kurang lebih that’s the whole first act. Itu awalan film ini dan kocaknya, dari seluruh cast, yang bereaksi dengan normal tuh cuma satu orang!
ADVERTISEMENT
Si bapak yang bosen hidup tersebut bernama Jan, diperankan oleh Johan Leysen. Pengumuman mengejutkan itu ia buat di tengah acara ulang tahunnya yang ke-74. Dia menganggap ulang tahun, di mana semua anggota keluarga berkumpul, adalah waktu yang pas untuk mengatakan dirinya gak minat memperpanjang life subscription.
Anak laki-lakinya, si Ivan (Eelco Smits), menerimanya dengan cukup baik. Bahkan reaksinya kelewat cool sampe penulis mikir “ini anak mencurigakan, kok bisa setenang itu?”.
Si Elisabeth (Anniek Pheifer), istrinya Ivan, gak kalah aneh. Ia bisa dengan legowo menerima keinginan sang papa mertua. Cuma si Iris (Julia Akkermans), anak perempuan Jan, yang cukup waras auto tercengang sambil marah-marah denger rekues bokapnya.
The whole plot is pretty simple. It talks about mortality in a way we’ve barely seen before. Ketika kematian diinginkan, bahkan direncanakan secara sukarela, umumnya sel moral kita langsung demo sambil berkata “Gila ya, gak boleh! Jangan menyia-nyiakan hidup!”.
ADVERTISEMENT
Pink Moon berbeda. Film ini memberikan perspektif lain yang pas jadi bahan kontemplasi soal suicidal tendency. Bukannya mau endorse praktik bunuh diri, but, bear with us, film ini memberikan pesan dimana menerima sesuatu yang di luar nalar, terutama berhubungan sama kematian, itu fase hidup yang sulit dikompromi. Semua pasti ngalamin, cuma jadwalnya aja yang beda.
Plot tersebut dibawakan dengan cara yang ngena banget. Lewat Iris, penonton dibawa ke seluk-beluk konsep bunuh diri. Iris diperlihatkan menolak keras keinginan bokapnya, berusaha mengubah pikirannya, dan berusaha nyari apa sih yang bikin Jan sekekeh itu mau mengakhiri hidupnya.
"Penyelidikan" Iris pada akhirnya membawa dia kepada kenyataan sulit bahwa bunuh diri bukan sesederhana kabur dari masalah duniawai. Ada isu-isu penting di situ mulai dari quality time, absennya keluarga, hingga gairah hidup yang semakin lama semakin tawar.
ADVERTISEMENT
Sering denger orang tua bilang I think I’ve lived a good life? Nah, obrolan soal itu yang dikulik Pink Moon yang umumnya bakal sulit dipahami sama yang muda. Jan ingin bunuh diri bukan karena ia mau kabur dari masalah hidup, tetapi semua bucket listnya udah terpenuhi.
Bagi pria seusianya, Jan tergolong sehat jasmani rohani. Pensiunnya layak (gilaa rumahnya bagus banget!) dan ia masih sanggup mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain (bahkan masih kuat kardio dan mandi salju!). Apalagi yang mau ia kejar? Itu yang bikin Jan dengan santainya membawa isu bunuh diri ke keluarganya.
Plot itu kian "tegang" kita Jan mulai makin terbuka soal rencana bunuh dirinya. Penonton diajak melihat isi kepala orang yang mau bunuh diri tanpa membebani keluarganya. Semua direncanakan baik dengan segala konsekuensinya dipertimbangkan. How he will die? Tonton sendiri biar gak kena spoiler.
ADVERTISEMENT
Betapa detilnya diskusi bunuh diri antara Jan dan Iris, tanpa pendekatan yang pretensius, bikin film ini sangat berkesan. Saking berkesannya, tiap kali Jan muncul di layar, sulit untuk menerima kenyataan bahwa dia akan pergi.
We know he’ll be gone at the end of the film. It’s all about anticipation and we’re waiting for the scene that will break our heart. Itu belum menghitung "bumbu-bumbu" Iris ngoleksi quality time sama Jan sebelum dia gone forever. Bawang maksimal!
Hal yang disayangkan, film ini terlalu fokus pada Jan dan Iris sehingga Ivan tidak mendapat eksplorasi yang sepantaran. He's not as simple as you think. Apakah dia sedih? Nggak ngerasain apa-apa? Mikirin 1001 cara stay strong stay slay depan keluarga biar ngga memperumit suana? Delivery-nya agak kentang.
ADVERTISEMENT
Minimnya peran bagi Ivan bisa jadi gara-gara chemistry Johan dan Julia yang keren mampus sebagai Jan dan Iris. Kombinasi akting mereka kagak ada obatnya, ditambah pengarahan gambar yang simple yet emotional. Hati penulis ga siap menampung ini semua. Gak sekali penulis pingin masuk layar terus meluk Iris . FYI aja, default sistem penulis kalo liat orang nangis biasanya pengen kabur. So yeah, sebagus itu aktingnya Julia sebagai Iris.
All in all, this film really gives in the unorthodox idea that no matter how much your parents love you, no matter how much you think you know them, they’re their own person.
Bakal ada moment we cannot understand them. Bakal ada momen kita merasa pilihan mereka itu salah dan kita akan berusaha sekuat tenaga ngingetin mereka kalau yang mereka punya itu cukup. However, bakal ada aja sisi atau reasoning yang kita nggak bakal bisa paham. Beberapa momen, kita cuma bisa nerima.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, nggak endorse sucide, but, it may serve as a starting point to ask yourself: how far do you and your loved ones celebrate life and share the same will to hold onto what’s next in life?
Teruntuk director Pink Moon, ingin sekali rasanya berteriak “kamu tega, tapi kamu keren mas!”
Sungguh disayangkan film ini hanya tayang di Jakarta Film Week 2022 yang udah berakhir Selasa kemarin. Hopefully, ada kesempatan buat kalian semua untuk nonton film yang kisahnya tidak sewarna-warni judulnya ini.
YUWI BARTON