Konten Media Partner

Review Film Prey: Film Predator Yang Seharusnya Tayang di Bioskop

8 Agustus 2022 17:49 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Prey adalah bukti bahwa terkadang formula termudah untuk membangkitkan franchise lama adalah back to the basic. Gak perlu transmedia storytelling, spin-off, subplot, atau world building yang mbulet,
ADVERTISEMENT
Film alien garapan Daniel Trachtenberg ini membangkitkan spirit yang hilang dari beberapa film Predator terakhir, terutama pasca Predator 2 (1990). Bahkan, film ini adalah direct prequel dari Predator 1 dan 2 tanpa adanya koneksi langsung ke film Predator lainnya, baik itu Alien vs Predator (2004), Predators (2010), ataupun The Predator (2018).
Prey (Source: IMDB)
zoom-in-whitePerbesar
Prey (Source: IMDB)
Prey mengambil setting jauh sebelum Predator 1 (1987), tepatnya tahun 1700an di Comanche Nation, Amerika. Tokoh utamanya adalah seorang perempuan dari suku Comanche, Naru (Amber Midthunder).
Naru berbeda dari perempuan-perempuan sepantarannya. Di saat kebanyakan temannya mendambakan rumah tangga, Naru ingin berburu. Ia ingin mengikuti jejak kakaknya, Tabee (Dakota Beavers), pemburu handal yang juga calon war chief Comanche. Sayang, Tabee menyakini Naru bakal tewas jika mengikutinya berburu.
ADVERTISEMENT
Tidak terima atas perlakuan Tabee, Naru kabur dari tugas rumah tangganya untuk latihan berburu. Perlahan ia mulai membangun skill set yang tidak kalah dengan Tabee. Kemampuan itu pada akhirnya diuji ketika sesosok alien Predator muncul di padang perburuan Comanche dan mulai membantai hewan dan manusia di sana.
Sekilas, dari deskripsi singkat ceritanya, memang tidak ada yang 'spesial' dari film ini. Premisnya simple, soal diburu atau memburu. Prey bahkan mengulang formula yang dipakai Predator 1 di mana sekelompok tentara elit pimpinan Dutch (Arnold Schwarzenegger) berhadapan dengan Predator. Tentara elit di sini diganti dengan sekelompok pemburu dari suku Comanche.
Uniknya, pendekatan tersebut malah efektif. Cerita Prey mengalir dengan asyik. Fokus sepenuhnya ada pada pertarungan Naru dengan Predator. Tak ada plot-plot yang mengubah nuansa asli franchisenya, apalagi membuat kisahnya kian ruwet seperti di film The Predator.
Amber Midthunder Sebagai Naru (Source: IMDB)
Karakter Naru sendiri didevelop dengan efektif. Fondasinya jelas dari awal, pembuktian diri sebagai pemburu yang disiplin, cerdas, dan efektif untuk menutupi keterbatasan fisik dan peralatan. Walhasil, sepanjang film, karakternya berkembang lewat segala hal yang ia ciptakan, mulai dari jebakan hingga senjata, berdasarkan pengalaman di lapangan.
ADVERTISEMENT
Untuk mempertegas pengembangan tersebut, sang Predator ditampilkan sebagai anti-tesis dari Naru. Predator aka Yautja diperlihatkan beringas, ganas, cepat, namun tidak cerdas. Untuk menutupi kekurangannya, ia mengandalkan berbagai macam peralatan canggih yang mampu melumat targetnya dengan mudah.
Pendekatan yang berbeda itu kentara ketika Naru dan Predator menghadapi lawan-lawannya. Naru cenderung stealthy. Geraknya lincah, memungkinkan ia menyelinap dengan cepat untuk melumpuhkan musuh-musuhnya. Selain itu, ia memanfaatkan segala kekayaan alam (dan anjingnya) sebagai senjata.
Ketika Naru stealthy, Predator konfrontatif. Ia tak ragu mengkonfrontir musuhnya secara langsung, tak peduli kamuflasenya terbongkar atau tidak. Ia pede bisa menerima serangan apapun dan membalasnya. Selain itu, ia juga menggunakan segala senjata canggih mulai dari ranjau, bom, plasma gun, perisai, hingga pedang yang bisa memotong apapun. Asyik melihat perbedaan keduanya yang kontras.
ADVERTISEMENT
Perbedaan tersebut, di sisi lain, mewakili tema besar yang hendak diangkat Dan Trachtenberg yaitu "Ketergantungan Terhadap Teknologi". Ia ingin menunjukkan bahwa memiliki teknologi yang lebih canggih tak serta merta membuat seseorang unggul. Kemampuan adaptasi, ketekunan, dan disiplin bisa membalikkan keunggulan yang dihadirkan teknologi.
Yautja aka Predator (Souce: IMDB)
Tema tersebut terakhir kali diangkat di Predator 1. Ketika segala senjata api dan bom yang dimiliki Dutch tidak berhasil menghentikan Predator, kecerdikan yang membuatnya menang. Naru (dan Tabee) melakukan hal yang sama, memanfaatkan segala sumber daya alam di ladang perburuan Comanche untuk melawan Predator.
"If it bleed, it can be killed," ujar Tabee, menyakinkan Naru bahwa Predator bukanlah makhluk yang unstopable, apalagi jika mereka memanfaatkan familiarity terhadap alam Comanche.
ADVERTISEMENT
Bicara soal alam, Dan Trachtenberg suskes membuat alam di ladang perburuan Comanche begitu hidup dan ganas. Tiap daerah menawarkan karakteristik yang berbeda, memaksa Naru untuk beradaptasi dengan cepat. Jika bukan Predator yang membunuhnya, maka ladang perburuan yang literally akan menelannya hidup-hidup.
Hal tersebut didukung cinematography yang ciamik dari Jeff Cutter, rekan Dan dari 10 Cloverfield Lane. Caranya dalam menyusun pencahayaan dan gambar membuat kesan "hidup" dan "ganas" itu kian terasa. Tidak berlebihan membandingkan pendekatan Cutter dengan cara Emmanuel Lubezki menampilkan keganasan alam di film The Revenant.
Meski alam di Prey ganas, bukan berarti laga di film kalah beringas. Rest assured, kalian akan dimanjakan berbagai adegan laga yang berdarah darah, brutal, dan sesekali bikin ngilu. Beberapa adegan laga bahkan ditampilkan secara one-take yang memperlihatkan keganasan Predator dan kelincahan Naru.
Pemburu dari Suku Comanche (Source: IMDB)
Perlu digarisbawahi, meski Predator di sini lebih konfrontatif dibanding kompatriotnya yang (ironisnya) lebih stealthy, karakter dasarnya tidak diubah. Dan Trachtenberg memastikan Predator tetap memiliki code yang ia pegang selama berburu yaitu tidak mengincar target yang lemah.
ADVERTISEMENT
Dengan segala kelebihannya, sungguh disayangkan film berdurasi 100 menit ini hanya tayang di streaming service. Rilis pekan lalu, Prey hanya diputar di Hulu dan Disney+. Padahal, dengan segala kelebihannya, mulai dari cerita, laga, hingga cinematography, film ini layak tayang di bioskop. Entah apa pertimbangan Disney sampai menaruhnya di streaming service.
Akhir kata, Prey berhasil menggairahkan kembali franchise Predator. Durasinya memang pendek, namun storytellingnya begitu mulus dengan development karakter yang efektif dan laga yang menggigit. Jika resepsi film ini bagus, tak akan kaget misalkan Disney menyiapkan sekuelnya karena berbagai clue (serta koneksi ke Predator 1 dan 2) sudah ditunjukkan di Prey.