Review Film The Black Phone: Teror Si Topeng Iblis yang Bikin Bulu Kuduk Berdiri

Konten Media Partner
21 Juni 2022 18:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Lama tidak terdengar setelah mundur dari posisi sutradara film Doctor Strange 2, Scott Derrickson (Sinister, Deliver Us the Devil) kembali dengan film terbarunya, The Black Phone.
ADVERTISEMENT
Derrickson kembali ke akarnya, film horor, lewat film ini. Hasilnya tidak hanya sebuah pengalaman cinematic yang membuat begidik, namun juga unik karena berhasil melebur berbagai elemen/ sub-genre film horror.
The Black Phone (Source: IMDB)
Dibintangi oleh Ethan Hawke (Predestination, Moon Knight), The Black Phone menceritakan insiden kasus penculikan berantai yang mengincar remaja pria dan terjadi di Denver pada tahun 70an. Pelakunya sendiri seorang pria bertopeng iblis yang berkeliling kota dengan mengendarai mobil van hitam untuk mencari korbannya, The Grabber. Ciri khas aksinya, The Grabber selalu meninggalkan balon hitam di sekitar lokasi kejadian.
Adalah Finney Shaw (Mason Thames), remaja berusia 13 tahun, yang menjadi karakter utama dari film ini. Setelah temannya hilang diculik, giliran ia yang diculik oleh The Grabber. Tidak pernah terbayang oleh Finney bahwa dirinya akan menjadi korban penculikan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kejadian mistis terjadi kepada Finney saat dirinya menjadi korban penculikan. Ternyata ia bisa berkomunikasi dengan para korban penculikan sebelumnya, yang telah mati dibunuh oleh The Grabber. Adapun alat komunikasinya adalah sebuah telepon berwarna hitam yang ada di dalam ruang tempat dirinya disekap.
Premis ceritanya memang terlihat usang, karena telah berkali-kali diangkat menjadi tema film. Namun yang membuat The Black Phone berbeda adalah keberaniannya untuk bereksperiman dengan memasukkan unsur-unsur lain ke dalam tema besarnya. Lebih jelasnya, The Black Phone tidak hanya soal penculikan yang thrilling, tetapi juga memiliki unsur horor murni yang melibatkan kehadiran makhluk halus dari dunia lain.
The Black Phone (Source: IMDB)
Penambahan elemen supranatural tersebut cukup pas porsinya. Hasil akhirnya tidak terkesan dibuat-buat. Rasa penasaran berhasil dibangun sejak awal film dan terus menanjak seiring berjalannya cerita. Kehadirannya sangat kontekstual dan justru menambah keunikan film ini.
ADVERTISEMENT
Seperti film horor pada umumnya, The Black Phone juga memiliki beberapa adegan jump scare yang cukup mengagetkan. Selain itu, ada satu adegan yang penyajiannya cukup disturbing, dan membuat beberapa penonton yang tidak kuat, menutup mata atau berpaling sejenak. Selebihnya, penyajian horor dan penampakannya cukup standar.
Uniknya, meski horor menjadi jualan utama film ini, The Black Phone menyelipkan sejumlah elemen komedi ke dalamnya. Hal itu hadir lewat dialog-dialog karakternya yang berhasil mencairkan suasana tegang di beberapa bagian film. Senang rasanya bisa terhibur dan tertawa di tengah situasi yang serius dan menakutkan, melalui celotehan-celotehan yang tidak dibuat-buat.
Berbicara soal plot dan bagaimana film ini bercerita, alurnya memang terasa agak lambat di awal-awal, namun hal tersebut sepertinya memang disengaja karena Scott ingin lebih banyak bertutur ketimbang langsung memperlihatkan adegan-adegan penculikannya.
Finney Shaw (Mason Thames), tokoh utama The Black Phone (Source: IMDB)
Hal tersebut terlihat dari caranya “menunda” dengan cara memotong adegan di detik-detik aksi penculikan. Cara tersebut cukup berhasil, karena sepertinya penonton menjadi semakin penasaran dan bertanya-tanya, apa yang terjadi, namun di waktu yang bersamaan, sudah tahu dan bisa membaca situasi. Terlihat sedikit permainan psikologi terjadi di sini.
ADVERTISEMENT
Beralih ke akting, acungan jempol patut diberikan kepada Ethan Hawke yang memerankan sang pencuri. Ia sangat menjiwai perannya sebagai pembunuh berantai yang sakit jiwa. Setiap kemunculannya dengan topeng iblis memberikan aura ngeri yang membuat bulu kuduk berdiri. Sederhananya, kehadiran karakternya terasa menyatu dengan topengnya tersebut.
Sesuatu yang tidak mudah memang, membuat benda mati bisa berekspresi seperti itu. Namun, Derrickson dengan apik memainkan pencahayaan untuk membuat penampilan Hawke ekspresif. Sisi-sisi gelap dalam sudut- memperkuat karakter sang penculik, namun di sisi lain, tetap memberikan cukup cahaya agar penonton tetap bisa melihat apa yang terjadi.
Akhir kata, The Black Phone adalah sajian yang seru namun dengan beberapa catatan untuk penonton yang mudah ter-triggered. Film ini mengandung beberapa adegan bully yang cukup frontal dan bisa dibilang sadis.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, The Black Phone memang bukan film yang sempurna. Perlu diakui, ada beberapa hal yang logikanya dipertanyakan. Namun, dengan penyajian yang pas, hal tersebut menjadi maklum dan dapat diterima tanpa protes berlebihan. Film ini berhasil memenuhi ekspektasi, bahkan lebih.
The Black Phone akan tayang di bioskop Indonesia mulai tanggal 22 Juni 2022.