Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Turning Red: Anak-anak Asia 90-an Bakal Relate
24 Maret 2022 12:29 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Turning Red , yang merupakan karya terbaru Pixar dan Walt Disney, adalah surat cinta terhadap periode 2000an. Isinya penuh akan referensi dan nostalgia periode di mana anak-anak 90an mulai merasakan betul pesatnya perkembangan teknologi internet dan industri pop culture. Tak bisa dipungkiri, banyak kenangan manis di periode 2000an awal, saat internet belum dipenuhi fandom toxic atau netizen-netizen julid.
Di sisi lain, Turning Red juga film coming of age yang, with all due respect, Asian Kid banget. Penonton bakal menemukan banyak hal yang lekat dengan (jika tidak ingin dikatakan stereotipikal) masa-masa kecil anak-anak Asia, baik dari perspektif keluarga maupun budaya. Bagusnya, hal itu tidak ditampilkan dengan gaya yang ofensif, melainkan jenaka dan penuh makna.
ADVERTISEMENT
Kisah film Turning Red sendiri dibuka dengan potret keseharian Meilin 'Mei' Lee (Rosalie Chiang), gadis Cina-Kanada yang tinggal di Toronto. Ia digambarkan sebagai remaja ceria yang menjalani hari-harinya dengan penuh suka cita. Kesehariannya diisi dengan sekolah, ngegosip, ngobrolin boyband favorit, membersihkan kuil, dan diakhiri dengan makan malam bersama keluarga.
Namun, seperti remaja perempuan pada umumnya, Mei juga menjalani fase-fase puber di mana ia jatuh cinta terhadap lawan jenis. Dilematisnya, Mei tahu ibunya tak akan memperbolehkan ia punya pacar sehingga dirinya harus menahan diri betul. Benar saja, begitu Mei ketahuan jatuh cinta terhadap penjaga toko langganannya, pria tersebut langsung dilabrak ibunya.
Hal-hal tersebut menimbulkan gejolak dalam diri Mei yang efeknya tidak dia sangka. Suatu pagi, Mei mendapati dirinya berubah menjadi panda merah besar. Menurut orang tuanya, transformasi itu adalah 'berkat' yang diturunkan ke setiap perempuan anggota keluarga Mei. Adapun perubahan akan selalu terjadi jika Mei tidak bisa mengendalikan emosinya, seperti Hulk. Lagi jatuh cinta plus kesal ke ibunya menjadi resep yang buruk bagi Mei untuk mengendalikan diri.
Secara presentasi, Domee Shi, sutradara film ini, mengambil banyak referensi manga seperti dari Sailor Moon atau Ranma ½ yang populer di dekade 1990-an. Hal itu salah satunya terlihat dari visualisasi settingnya seperti hazy background berwarna pastel untuk memberikan nuansa kalem dan santai. Untuk urusan visual, kombinasi Pixar dan Disney memang tak perlu diragukan lagi.
ADVERTISEMENT
Adapun highlight utama dari Turning Red adalah bagaimana cara Disney dan Pixar mengeksplorasi lebih jauh budaya kultural yang mengikat di keluarga Asia dan stereotype yang berkembang. Peran ibu yang dominan di rumah dan budaya menghormati leluhur adalah beberapa hal yang dieksplor.
Pada film ini, peran sosok ibu Mei, Ming (Sandra Oh), diperlihatkan begitu dominan dan menekan segala hidup dari Mei, termasuk aktivitasnya bersama teman-temannya sendiri. Hal tersebut banyak dijumpai di kehidupan keluarga masyarakat Asia yang meninggikan sosok ibu di keluarga.
Lucunya, Turning Red juga memasukkan unsur kegiatan ekstrakulikuler anak-anak Asia yang kerap dijuluki "The Four Horsemen of Asian Kids". Kegiatan ekskul itu apalagi kalau bukan ikut kursus musik, bela diri, bahasa, dan kemudian matematika seperti Kumon. Gak heran banyak anak-anak Asia mengatakan Turning Red relatable dengan kehidupan mereka.
Perlu diakui, bila dibandingkan dengan film-film Pixar lainnya, Turning Red memang tidak memiliki nuansa kehangatan yang bisa menyentuh hati layaknya di film Coco. Turning Red juga kurang memiliki wadah emosional layaknya Inside Out yang membuat kita menyadari berbagai jenis emosi yang timbul dalam diri kita. Hanya saja, apresiasi perlu diberikan akan keberanian Pixar mengangkat budaya keluarga Asia yang kental di film ini, mengingat peran sentral perempuan (khususnya ibu) kurang diangkat di film-film rilisan mereka sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di luar tema keluarga dan budaya Asia, hal lain yang diangkat adalah masalah pubertas. Sebagain kisah Turning Red adalah bagaimana Mei menghadapi perubahan dirinya selayaknya remaja menghadapi pubertas. Film Inside Out sempat mengangkat tema serupa, namun dengan melihat aspek emosional sehingga tidak terasa canggung. Turning Red mendobrak pakem dengan memperlihatkan gambaran anak perempuan PMS baik dari emosi hingga tingkah laku.
All in all, film Turning Red bisa dikatakan memposisikan dirinya sebagai film coming-of-age. Tetapi, lepas dari kritik yang ada, Turning Red tetaplah film yang menyenangkan untuk ditonton di akhir pekan bersama keluarga karena presentasinya soal kehidupan anak-anak Asia dan keluarga mereka.
Luthfi Adnan