Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.0
Konten dari Pengguna
Pesantren dan Santri Zaman Nabi menurut KH Zuhri Zaini
6 April 2022 19:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abdur Rahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengawali tulisan ini, saya haturkan hormat takdzim kepada beliau Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH. Moh. Zuhri Zaini, BA. Beliau adalah sosok kiai yang berpengetahuan luas yang melampaui zaman dalam segala bidang keilmuan. Kesehariannya, hanya tampak senyum dengan kesederhanaan pakaiannya membuat kami tertunduk malu.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika, beliau pernah menjelaskan mengenai pondok pesantren kepada santri baru di PP Nurul Jadid. Beliau menyampaikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang berbasis keislaman, khusus di Indonesia tentu berbasis masyarakat dan kebangsaan. Lebih lanjut, Kiai Zuhri juga menjelaskan bahwa cikal bakal pondok pesantren sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, nabi tidak hanya diutus sebagai rasul namun juga menjadi muallim (red, pengajar).
“Santrinya disebut sahabat,” paparnya.
Namun menurut pemaparan Kiai Zuhri, latar belakang santri (red, sahabat) zaman nabi dan sekarang jelas berbeda. Santri zaman nabi sudah dewasa dan pada umumnya sudah berkeluarga. Kata pengasuh keempat ini, ada juga santri-santri yang berasal dari luar daerah yang sengaja datang ke Madinah untuk menimba ilmu dan pendidikan dari nabi, meskipun tidak banyak.
ADVERTISEMENT
“Santri ber-asrama itu sudah ada pada zaman nabi,” tuturnya.
Santri nabi, kata Kiai Zuhri, ditaruh di serambi masjid, kamar di sebelah masjid yang disebut assuffah. Maka dari itu, santrinya nabi itu disebut ashabus suffah. Salah satunya yang disebut Kiai Zuhri adalah Abu Hurairah yang berasal dari Yaman.
Santri nabi tidak dikirim
Salah satu contoh perbedaan santri zaman nabi dan santri sekarang adalah kiriman. Karena menurut Kiai Zuhri, santri zaman nabi – ashabus suffah – tidak pernah dikirim. Segala kebutuhannya ditanggung oleh nabi dan para sahabatnya yang mampu. Ashabus suffah menjalani hidup yang sangat sederhana.
“Sebab nabi sendiri menjalani hidup sederhana,” jelasnya.
Meskipun nabi mampu untuk hidup mewah dan sebenarnya beliau bukan orang miskin, namun menjalani hidup sebagai orang miskin. Sekalipun tidak dilarang menjadi orang kaya, tapi nabi memberikan contoh kehidupan yang sederhana.
ADVERTISEMENT
Menguasai Ilmu dalam waktu singkat
Kehidupan sederhana ashabus suffah selain diajarkan oleh nabi, juga dikarenakan mereka tidak bekerja. Keseharianya difokuskan pada pendalaman dan pengayaan ilmu. Ketekunan itu membuat penguasaan ilmu yang banyak dalam waktu yang singkat, seperti halnya Abu Hurairah.
Abu Hurairah menurut penjelasan Kiai Zuhri, meskipun masuk Islam belakangan namun mampu menguasai banyak ilmu dan meriwayatkan hadits nabi sebab ketekunannya dalam belajar.
“Barang kali kita perlu mengetahui agar bisa meneladani beliau-beliau itu,”harapnya.
Pondok Pesantren di Indonesia
Cikal bakal pondok pesantren yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW diserap dan diteruskan oleh para penerusnya, termasuk yang berada di Indonesia. Lebih jelas, Kiai Zuhri mengungkapkan bahwa pondok pesantren di Indonesia berdiri sesuai dengan kondisi setempat dan menyerap nilai-nilai lokal.
ADVERTISEMENT
“Seperti di sini (red, PP Nurul Jadid) tentu beradaptasi dengan budaya-budaya lokal,” tuturnya.
Tanah tempat PP Nurul Jadid menurut Kiai Zuhri dulunya banyak yang menganut Agama Hindu. Maka dari itu, para ulama juga menggunakan budaya lokal yang sudah dipengaruhi oleh Agama Hindu. Seperti halnya penggunaan kata santri yang berasal dari bahasa sansekerta yang merupakan bahasa dalam kitab orang Hindu.
“Santri dari kata sastra, itu orang yang belajar agama,” jelasnya.
Kiai Zuhri menegaskan bahwa pesantren mempunyai tujuan pokok yakni membekali ilmu khususnya ilmu agama. Dan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, ilmu yang diajarkan kepada santri itu bukan hanya ilmu agama.
“Tapi yang paling pokok adalah ilmu agama,” tegasnya.
Tafaqquh Fiddin
Belajar ilmu agama sesuai dengan firman Allah SWT yang tersurat dalam al-Qur’an Surah at-Taubah ayat 122, yang berarti;
ADVERTISEMENT
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. al-Taubah : 122).
“Jadi ini tujuan pokok daripada pesantren,” paparnya.
“Supaya kita tidak kebingungan dalam menjalani hidup ini,” dawuhnya.
Kiai Zuhri menganalogikan dengan pabrik yang memproduksi komputer. Pabrik tersebut tentu tidak hanya menjual komputer tapi juga dilengkapi dengan buku pedoman di dalamnya. Jika petunjuk dalam buku pedoman tersebut diperhatikan, akan berdampak pada komputernya yang tidak akan mudah rusak.
Selain belajar ilmu agama yang disokong dengan ilmu umum, pesantren juga mengajarkan akhlak. Karena ilmu yang tidak didasari dengan akhlak dan karakter, yang semula bisa bermanfaat justru membahayakan.
ADVERTISEMENT
“Ada orang yang punya gelar professor doktor, tapi malah ditangkap sama KPK. Berarti dia kan koruptor,” ujarnya.
Mereka dengan ketinggian ilmunya, sudah tahu bahwa korupsi itu buruk bahkan dosa, namun tetap melakukannya karena ilmunya tidak didasari dengan akhlak dan karakter.
“Akhlak sebelum ilmu, dan ilmu sebelum amal,” lanjutnya.
Santri perlu beradaptasi
Kondisi di Pondok dengan kondisi lingkungan sebelum mondok tentu berbeda, baik budaya, kultur, dan tradisinya. Maka dari iu, perlu adanya suatu perkenalan ketika memasuki lingkungan baru sehingga siap untuk menyesuaikan diri.
“Kunci kesuksesan ketika masuk di lingkungan baru adalah mampu menyesuaikan diri,” tuturnya.
Kiai Zuhri berharap kepada semua santri baru untuk mengikuti aturan yang ada di dalam pondok pesantren. Aturan ini akan menjadi penentu kesuksesan berikutnya ketika menjalani pendidikan di PP Nurul Jadid. Sekalipun, tentunya tetap butuh perjuangan karena kesuksesan tidak akan datang begitu saja.
ADVERTISEMENT
“Tantangan yang terberat adalah datang dari kita sendiri, yaitu nafsu,” jelasnya sembari mengakhiri tausyiahnya.