Konten dari Pengguna

Respons Ketegangan Politik terhadap Konsepsi Presiden Soekarno pada tahun 1957

Rosee Laehseng
anak melayu fathoni. Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah JAKARTA.
20 Mei 2024 12:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosee Laehseng tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemimpin Indonesia. Sumber : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemimpin Indonesia. Sumber : freepik.com
ADVERTISEMENT
Indonesia berada dalam suasana politik yang tegang. Pemilu pertama pada tahun 1955 telah memberikan harapan baru bagi bangsa Indonesia, namun pertikaian antarpartai politik yang terus berlangsung menghambat proses pembangunan nasional. Dewan Konstituante, yang bertugas menetapkan konstitusi baru bagi Indonesia, terhenti dalam tugasnya karena konflik internal yang tak kunjung mereda. Situasi ini mengancam stabilitas negara dan memicu kekhawatiran akan potensi perpecahan yang bisa mengancam kesatuan bangsa.Menghadapi situasi ini, pada tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan sebuah konsepsi politik yang diharapkan dapat menyelamatkan negara dari krisis yang sedang terjadi. Dalam pidatonya yang berjudul "Menyelamatkan Republik Indonesia", Soekarno menyampaikan visi baru tentang sistem demokrasi yang dia yakini lebih sesuai dengan karakter Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Soekarno, sistem Demokrasi Liberal ala Barat tidaklah sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan Indonesia. Oleh karena itu, ia mengusulkan penggantian sistem tersebut dengan apa yang kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin. Dalam konsepsi tersebut, Soekarno menekankan pentingnya pembentukan Kabinet Gotong Royong, yang anggotanya terdiri dari berbagai partai dan organisasi, serta perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat. Kabinet ini dikenal dengan sebutan Kabinet Kaki Empat, karena terdiri dari empat partai besar yang menang dalam Pemilu 1955, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, konsepsi tersebut juga mengamanatkan pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari berbagai golongan fungsional dalam masyarakat dan militer. Dewan ini bertugas mendampingi, membantu, serta memberikan kewibawaan pada kabinet, sambil menjembatani komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Meskipun konsepsi ini dirancang dengan niat baik untuk menyelamatkan negara dari perpecahan, namun justru memicu perdebatan sengit di kalangan elite politik Indonesia. Beberapa partai seperti Masyumi, NU, PSII, PRI, dan Partai Katolik Indonesia menentang konsepsi tersebut dengan alasan bahwa hal itu akan mengubah sistem pemerintahan secara radikal dan melanggar wewenang Konstituante. Bahkan Mohammad Hatta, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden, juga menyuarakan keberatannya terhadap konsepsi tersebut. Hatta berpendapat bahwa dalam sebuah demokrasi, keberadaan partai oposisi sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menghindari potensi otoritarianisme. Namun, di sisi lain, konsepsi tersebut juga mendapat dukungan dari beberapa pihak, termasuk PKI, PNI, Murba, PRN, dan beberapa partai nasionalis lainnya. Mereka menganggap konsepsi Soekarno sebagai langkah yang ideal untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Bahkan Persatuan Pegawai Politik Republik Indonesia juga turut mendukung konsepsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Debat mengenai konsepsi Soekarno tidaklah mereda meskipun Soekarno telah mengumumkan keadaan darurat perang pada 14 Maret 1957, sebagai respons terhadap sejumlah pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah. Namun, perdebatan ini malah semakin memanas, dengan beberapa pihak yang mulai menyerukan untuk kembali ke UUD 1945.
Pada tanggal 6 Mei 1957, Soekarno mengambil langkah pertamanya dengan membentuk Dewan Nasional, yang merupakan implementasi dari konsepsi politiknya. Langkah ini menandai awal dari upaya Soekarno untuk mengganti sistem Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi Terpimpin. Dan pada 5 Juli 1959, setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, resmi lah sistem pemerintahan Indonesia beralih ke Demokrasi Terpimpin, yang berlangsung hingga tahun 1965. Meskipun demikian, masa pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin ini tidaklah tanpa kontroversi. Perdebatan mengenai konsepsi Soekarno dan implementasinya terus berlanjut, mencerminkan dinamika politik yang kompleks dan beragam di Indonesia pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, konsepsi Presiden Soekarno pada tahun 1957 menciptakan gelombang perdebatan yang melanda panggung politik Indonesia. Dengan menyampaikan visi baru tentang sistem demokrasi yang disesuaikan dengan karakter Indonesia, Soekarno berusaha mengatasi ketegangan politik dan mengarahkan negara menuju stabilitas. Namun, konsepsi tersebut tidak luput dari kritik dari berbagai pihak, termasuk mantan wakil presiden Mohammad Hatta, yang menganggapnya sebagai langkah menuju kekuasaan otoriter. Meskipun demikian, ada juga pihak yang mendukung konsepsi Soekarno, menganggapnya sebagai langkah yang diperlukan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun, implementasi dari konsepsi tersebut tidaklah tanpa kontroversi, dan perdebatan mengenainya terus berlanjut hingga berakhirnya masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1965. Dengan demikian, konsepsi Presiden Soekarno pada tahun 1957 mencerminkan kompleksitas politik Indonesia pada masa itu, di mana berbagai kepentingan dan pandangan berbenturan satu sama lain. Meskipun tujuannya adalah untuk menyelamatkan negara dari krisis politik, konsepsi tersebut menjadi sebuah babak baru dalam sejarah politik Indonesia yang tetap meninggalkan bekas hingga saat ini.
ADVERTISEMENT