Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
From Marketing.co.id - Pemimpin perusahaan dan pengelola merek jangan dibuat loyo karena krisis akibat wabah corona. Cermati apa yang akan menjadi new normal dan back to normal. Selebihnya tetap konsisten membangun merek dan pelajari strategi agar merek tetap top.
ADVERTISEMENT
Sampai Desember 2019 lalu, mungkin dunia industri di Indonesia belum membayangkan pandemi Covid-19 (virus corona) akan sampai ke Indonesia.
Ketika itu, mungkin mereka sedang fokus merancang strategi bisnis dan marketing memasuki tahun 2020, berikut target-target pencapaiannya.
Sampai Februari 2020, mereka masih mengaggap strategi bisnis dan marketingnya akan berjalan mulus tanpa hambatan berarti.
Baru ketika kasus Covid-19 jumlahnya terus meningkat dan pemerintah mulai memberlakukan regulasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan social/physical distancing pada pertengahan April 2020 lalu, dunia industri mulai merasakan dampak dari pandemi. Banyak yang terkejut, karena krisis kesehatan melebar menjadi krisis ekonomi.
Hampir semua sektor industri terdampak Covid-19, terutama horeka (hotel, restoran, kafe), pariwisata, dan penerbangan.
Handi Irawan D, penggagas Top Brand, dalam Zoominar bertema “Top Brand Strategy: Post Covid-19 Pandemic”, memprediksi sekitar 90% sektor industri terpukul oleh pandemi.
ADVERTISEMENT
Hanya dua sektor industri yang masih bertumbuh, yakni yang terkait kesehatan dan digital.
“Selama pandemi, 90% industri mengalami penurunan omzet, mungkin hanya 10% yang untung, seperti kesehatan, produk hand sanitizer, APD (alat pelindung diri), perusahaan digital atau berbasis digital, dan penyedia jasa internet,” jelasnya.
Baca juga: Tantangan dan Peluang Distributor Obat
Pertanyaannya; dalam menghadapi krisis, apakah kita pasrah begitu saja dan tidak melakukan apa-apa? Kalau kita bersikap demikian, tentu merek kita akan semakin tenggelam dan akan sulit bangkit ketika pandemi mereda.
Dalam kesempatan tersebut Handi menyitir pernyataan dari Jeff Bezos, Pendiri Amazon.com.
“Ketika sesuatu yang buruk (krisis) terjadi, kita memiliki tiga pilihan; apakah krisis akan menghanyutkan, menghancurkan, atau justru akan semakin menguatkan kita,” tutur Handi dalam Zoominar eksklusif untuk para peraih Top Brand Award (Top Brand Achievers).
Di sisi lain, sampai saat ini kita belum mampu mengontrol virus corona, karena belum ada satu negara pun yang sudah berhasil menemukan vaksin atau obat anti-Covid-19.
ADVERTISEMENT
“Krisis tidak bisa dikontrol, tapi merek bisa dikontrol. Apa pun kondisinya, sebagai produsen harus terus mengasah strategi agar merek tetap top dan efektif dalam kondisi apa pun,” saran Handi.
New Normal or Back to Normal
Jargon yang berkembang dan banyak dibahas pebisnis selama pandemi, yaitu new normal. Istilah ini mengacu pada kondisi “kenormalan baru” selama pandemi.
Misalnya, orang makin terbiasa berbelanja online atau bekerja dari rumah (work from home) karena aktivitas di luar rumah dibatasi.
Menurut Handi, new normal disebabkan oleh faktor yang muncul karena pandemi, yaitu social distancing dan WFH.
Bicara new normal tentu terkait dengan habit (kebiasaan) masyarakat. Handi mengutip European Journal of Social Psychology, yang menyatakan dibutuhkan waktu rata-rata 66 hari (18–254 hari) untuk membentuk suatu habit baru.
Namun, penerimaan atau adopsi terhadap kebiasaan baru juga bergantung kepada generasi atau usia.
ADVERTISEMENT
Usia lebih muda (Gen Z) relatif lebih mudah mengadopsi habit baru dibandingkan generasi yang lebih senior seperti Gen X dan Baby Boomer.
Singkat kata, semakin tua usia seseorang, akan semakin sulit atau lambat menerima habit baru.
“Anda yang menyasar Baby Boomers saya yakin perubahan habit dan konsumsinya relatif kecil. Sementara untuk yang menyasar anak muda, Gen Z, berusia 15–25 tahun sangat adaptif dengan perubahan. Produsen makanan & minuman dan kosmetik yang fokus pada segmen anak muda sudah pasti harus memikirkan new normal yang terjadi karena Covid,” beber dia.
Meski begitu, pemilik merek tidak perlu terlalu risau dengan new normal. Karena fakta membuktikan habit dan konsumsi masyarakat tidak mudah berubah.
Ambil contoh, rating dan share stasiun TV tidak banyak berubah selama Maret dan April 2020.
ADVERTISEMENT
Kita berpikir wabah corona akan membuat rating dan share stasiun TV berita merangkak naik, karena masyarakat tertarik menonton berita. Ternyata rating dan share-nya masih di bawah stasiun TV hiburan, seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar.
Berangkat dari situ Handi memprediksi, dari sisi habit kondisi new normal di tahun depan hanya sekitar 20%; sisanya 80% akan back to normal.
Begitu pun ditinjau dari sisi pola konsumsi. Kondisi new normal akan mencapai 30%, mayoritas 70% akan kembali pada keadaan semula.
“Sebagian orang akan menggunakan sampo dan biskuit merek yang sama,” katanya memberi contoh.
Strategi Bangun Merek Agar Tetap Top Saat Pandemi
Lebih dari 20 tahun bergelut dengan survei Top Brand — survei terpanjang tentang merek di Indonesia, Handi mengingatkan kembali tiga dimensi yang membuat merek menjadi kuat dan top.
ADVERTISEMENT
Pertama; market share yang dibangun melalui brand awareness dan brand image. Kedua; last usage yang mencerminkan market share karena paling banyak dibeli. Ketiga; future intention, yang menyiratkan loyalitas konsumen terhadap suatu merek.
Baca juga: Membuat Tagline yang Menarik dan Kreatif
Di sisi lain, merek yang top dibangun melalui tiga strategi yang meliputi quality before price, innovation before cost, dan engagement before sales. “Saya percaya ketiga rules ini juga tetap relevan di saat pandemi dan krisis,” tandasnya.
Quality before price bermakna merek top tidak bisa dibangun dengan harga murah semata, karena kualitas jauh lebih penting.
Innovation before cost berarti perusahaan-perusahaan yang hebat selalu berfokus pada inovasi. Perusahaan-perusahaan hebat bukan hanya memikirkan pemangkasan biaya dan efisiensi, tapi juga fokus pada inovasi.
ADVERTISEMENT
Engagement before sales tepat sekali dipraktikkan di era digital. Banyak startup yang sukses karena mereka menciptakan engagement lebih dahulu sebelum sales. “Awal-awal mungkin tidak ada sales, tapi setelah tercipta engagement, merek semakin kuat, termasuk saat krisis,” katanya.
Fakta juga telah memberi pelajaran, banyak merek yang sempat terpuruk dihantam krisis tahun 1998 kemudian bisa bangkit kembali.
Merek-merek tersebut antara lain BCA, Ciputra, dan Indomie. Bahkan, ada merek yang muncul pascakrisis tahun 1998, yakni Xenia dan Avanza.
Keduanya mampu menciptakan segmen baru di pasar otomotif, yakni low multi purpose vehicle (MPV). Mereka menciptakan sendiri strategi agar merek tetap top di kondisi yang sulit sekalipun.
Merek-merek ini mampu bangkit karena tetap fokus membangun merek dan berinovasi, serta didukung dengan tim sales dan marketing yang andal.
ADVERTISEMENT
Copyright 2020 Marketing.co.id