Konten dari Pengguna

Bang Ali dan Kebijakan Lokalisasi Kramat Tunggak yang Kontroversial

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
3 Agustus 2017 14:43 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wajah Ibu Kota Jakarta saat ini, tentu tidak pernah terlepas dari sosok-sosok pemimpin terhadahulunya, dalam rentetan sejarah Jakarta Ali Sadikin mungkin muncul sebagai tokoh yang tidak kalah kontroversial dibanding Ahok.
ADVERTISEMENT
Ali Sadikin merupakan Gubernur DKI Jakarta yang memerintah selama 11 tahun, yaitu dari 1966 sampai 1977. Selama masa kepemimpinannya, ia banyak andil penting dalam pembangunan kota Jakarta. Sebut saja Taman Impian Jaya Ancol, Kebun Binatang Ragunan, Taman Ismail Marzuki (TIM) hingga Lokalisasi Pelacuran Kramat Tunggak, merupakan tempat-tempat besutan pria yang dulu akrab dipanggil Bang Ali ini.
Bukan hanya bangunan-bangunan ‘ikonik’ Jakarta, selama masa kepemimpinannya dimana saat itu Jakarta sedang dalam masa pembangunan, tak jarang ia membuat kebijakan-kebijakan kontroversial, meski cercaan dan komentar selalu datang terhadap kebijakannya, namun disisi lain ia juga dipuja karena keberhasilannya dalam membangun Jakarta.
Dunia gemerlap perjudian di Jakarta saat itu, tidak serta merta membuat Bang Ali berpikir untuk menghentikannya, ia malah melegalkan perjudian dan memberlakukan pajak kepada para penggiat judi, lantas kebijakan ini menjadi kontroversial, ditambah lagi dengan kebijakannya terhadap lokalisasi prostitusi di Kramat Tunggak.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan keputusannya membangun lokalisasi prostitusi di Kramat Tunggak, Jakarta Utara dikarenakan gusarnya Bang Ali melihat banyak PSK yang menjajakan diri di jalan-jalan utama di Ibu Kota terutama di sekitar Senen, Jakarta Pusat. Bang Ali menilai bahwa pemberantasan pelacuran merupakan masalah yang sangat sulit ditanggulangi.
Meski begitu berkeliarannya para pekerja komersial di ruang terbuka tanpa adanya sebuah lokalisasi sebagai pembatas juga tidak baik, sedang usaha membubarkan mereka tidaklah sesederhana itu.
Dalam pikirannya, daripada mereka berkeliaran dan mengganggu ketertiban umum serta tidak enak dipandang ketika tamu asing datang ke Jakarta, akhirnya tercetuslah lokalisasi untuk para pencari hidung belang itu di wilayah Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Ketika itu wilayah yang satu ini jauh terpencil dari pusat kota.
ADVERTISEMENT
Ali Sadikin dalam menerapkan kebijakannya untuk melokalisasi pelacuran ke Kramat Tunggak, terinspirasi oleh tempat pelacuran di Bangkok, Thailand yang telah dilokalisasi oleh pemerintahnya dan mendatangkan keuntungan yang besar bagi pemerintah.
Lokalisasi Kramat Tunggak berdiri sejak tahun 1970. Tempat ini sudah ada sejak tahun 1950an walaupun belum begitu terkenal. Saat itu lokasi praktek prostitusi di Kramat Tunggak masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Lokalisasi dengan luas 11,5 hektare itu pada awalnya hanya ada 300 pelacur dan 76 germo, tapi pada dekade 1990-an membengkak menjadi 2.000-an pelacur dan 228 germo
Tak heran setelah itu, bahkan mungkin hingga kini Kramat Tunggak menjadi sangat populer dikalangan penikmat wisata seks di Jakarta dan daerah lain. Sebagai tempat lokalisasi, tempat tersebut mengalami perkembangan yang cukup signifikan, terutama pada dekade 1980-1990. Meski pada kenyataannya banyak kontroversi yang turut mewanai kebijakan Bang Ali tersebut, akan tetapi pada kenyataannya lokalisasi Kramat Tunggak banyak memberi keuntungan yang juga digunakan untuk pembangunan.
ADVERTISEMENT
Sumber : Norman Meoko, “Bang Ali, dari Monas hingga Kramat Tunggak”, Sinar Harapan, 22 Mei 2008.