Konten dari Pengguna

Arca Amoghapasa, Simbol Persekutuan antara Sumatra dan Jawa di Masa Lampau

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
21 Desember 2020 17:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Relef kapal penjelajah di masa lampau. Sumber: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Relef kapal penjelajah di masa lampau. Sumber: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Prasasti Amoghapasa, isinya mengenai restorasi bangunan suci yang rusak, pendirian sebuah arca Budha dengan nama Gaganaganja, nama lain Amoghapasa, diadakannya sebuah ritual yang ditujukan kepada tokoh raja sebagai Jina di sebuah bangunan suci Budhis (Jinalaya).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian prasasti Amoghapasa dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh sang raja adalah Buddha Mahayana aliran Tantrayana. Selain itu, juga tercatat Adityawarman telah bergelar Maharajadhiraja, sebuah gelar yang mengisyaratkan kedudukan yang sama dengan gelar yang digunakan oleh raja Jawa. Gelar ini berbeda dengan gelar yang disebutkan dalam lapik arca, di mana Sri Kertanegara disebut dengan maharajadiraja, sementara raja Melayu disebut dengan maharaja saja.
Ada yang menarik, momen pengiriman Arca Amoghapasa ini lazim dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Terjadi di abad ke-13, ekspedisi ini dilaksanakan atas mandat Sri Kertanegara dari kerajaan Singasari untuk membendung pengaruh ekspansionis Mongol yang dipimpin Kubilai Khan.
Kertanegara diingat sebagai raja yang berani menepis permintaan tunduk Khubilai Khan. Beberapa kali penguasa Mongol mengirim utusan ke Jawa, dan menuntut Kertanegara tunduk. Sebagai wujud penolakannya dikisahkan, Kertanegara justru pernah memotong telinga Meng Qi, utusan Mongol terakhir pada 1289.
Sumber: Wikimedia Commons
Ekspedisinya ke luar Jawa seperti ke Bali dan Madura, termasuk Ekspedisi Pamalayu, adalah cara yang dia tempuh untuk membendung laju ekspansionis Mongol.
ADVERTISEMENT
Istilah Pamalayu sendiri ditemukan dalam Kitab Pararaton dari abad ke-1.522 Saka atau 1.600 Masehi. Istilah Pamalayu berasal dari bahasa sastra Jawa kuno yang berarti perang melawan Melayu. Juga Kitab Negarakertagama mencatat bagaimana Raja Kertanegara mengeluarkan perintah untuk menundukkan Bhumi Melayu. Peristiwa “penundukan” itu juga disebut Pamalayu.
Dari segi penggunaan bahasa mengandung indikasi peperangan atau penundukan, namun catatan sejarah tidak ditemukan adanya kasus pertumpahan darah dalam ekspedisi itu. Tak kecuali juga penggunaan gelar yang berbeda di saat Arca Amoghapasa dipersembahkan dulu dari Bhumi Jawa ke Bhumi Malayu, yang ditafsirkan bahwa posisi yang pertama berkedudukan lebih dominan daripada posisi yang kedua.
CC Berg telah menginterpretasikan Pamalayu sebagai bagian dari sebuah program terpadu yang bertujuan menyatukan Nusantara untuk menghadapi ancaman dari Mongol, jauh sebelum Patih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Sumber: Wikimedia Commons
Dengan demikian, kesimpulan Berg Pamalayu lebih bermakna sebagai “perjanjian dengan Melayu”, sebuah kebijakan politik luar negeri dari Kerajaan Singasari di bawah Kertanegara yang khawatir dengan ancaman agresi Kublai Khan.
ADVERTISEMENT
Teori Berg ini belakangan juga didukung oleh De Casparis. Casparis melihat keberadaan Arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dalam kerangka membangun persekutuan antara dua kerajaan dari Jawa dan Sumatra.
Menurutnya, arca persembahan itu memiliki tujuan ganda. Pertama, supaya Malayu mengakui kedaulatan Singasari. Kedua, menyatukan kerajaan-kerajaan di Melayu supaya bersama-sama dengan Singasari bersiap diri menghadapi ancaman pasukan Kubilai Khan.
Sumber: indonesia.go.id