Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Asal-usul Penggunaan Gajah sebagai Senjata Perang
1 Juni 2021 20:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa catatan sejarah barat selalu mengaitkan kemunculan gajah-gajah perang dengan upaya Hannibal memimpin pasukannya menyeberangi pegunungan Alpen. Padahal, sebenarnya gajah telah lama dikenal sebagai tank zaman kuno yang telah digunakan sebagai mesin atau senjata perang oleh beberapa bangsa di dunia.
ADVERTISEMENT
Sekitar 30 gajah perang yang dibawa oleh Hannibal terbungkus pelindung baja di bagian kepala dan tubuhnya. Mereka juga melengkapi gajah-gajah tersebut dengan bilah pedang, yang dikaitkan ke gadingnya.
Ditambah keberadaan gondola berisi puluhan prajurit di punggung mereka, membuat gajah-gajah itu tampak begitu menyeramkan. Tak heran jika suku-suku Alpen lebih memilih menghindari pasukan hewan tersebut sewaktu menyerang barisan pasukan Hannibal.
Diketahui, gajah perang berasal dari Asia Selatan, di mana hewan terbesar di daratan itu merupakan bagian penting dari pasukan setiap raja India.
Menurut catatan sejarah, Alexander the Great menjadi orang pertama Yunani yang berperang melawan gajah ketika melawan pasukan Persia di Guagamela pada 331 Sebelum Masehi (SM). Berabad-abad setelah Alexander, para penerusnya mencoba untuk memelihara dan memanfaatkan gajah sebagai alternatif kekuatan perang mereka.
Seperti yang dilakukan oleh Pyrrhus dari Erpirus saat menyerang Italia di mana ia menjadi tokoh pertama yang membawa gajah-gajah itu ke wilayah Roma.
ADVERTISEMENT
Ketika bangsa Seleuca Suriah memblokade persediaan gajah India, Ptolomeus dan orang-orang Carthago beralih menggunakan gajah Afrika. Mereka menggunakan gajah dari hutan yang ukurannya tidak lebih besar dari gajah lainnya.
Gajah Afrika ternyata tidak cukup besar untuk mengangkut gondola, sehingga para tentara terpaksa harus berjalan kaki atau menunggangi kuda untuk melakukan perjalanan sebelum berperang.
Bahkan menurut sejarawan Romawi, Polybius, gajah Afrika tidak memiliki semangat bertarung. Seperti ketika di Raphia pada 217 SM, gajah-gajah Afrika berbalik melarikan diri saat berhadapan dengan pasukan gajah India yang lebih besar dan bau.
Memiliki kulit tebal yang dapat tahan terhadap serangan panah membuat gajah dapat menyebabkan kekacauan pasukan musuh. Selama berada di medan perang, pasukan gajah dapat dengan mudah menghancurkan pasukan berkuda dan menginjak-injak pasukan infanteri.
ADVERTISEMENT
Namun, sayangnya, gajah menjadi hewan yang sulit dijinakkan, sehingga tidak banyak yang bisa ditunggangi. Peristiwa itu pun pernah dialami oleh pasukan Alexander di Hydaspes pada 326 SM. Saat itu mereka terjebak di antara gajah-gajah mereka sendiri yang lelah dan panik sehingga sulit dikendalikan.
Banyaknya tentara yang mati akibat terinjak-injak hewan besar itu membuat Scipio menerapkan metode menghindari gajah-gajah kepada pasukan Romawinya. Cara itu berhasil diterapkan saat berada di Zama pada 202 SM.
Terlepas dari kekurangannya sebagai senjata perang, gajah-gajah masih digunakan di India dan Asia Tenggara sampai akhir abad ke-16. Akan tetapi seiring berkembangnya teknologi artileri, gajah sudah tidak cocok digunakan sebagai senjata. Kini gajah menjadi simbol perdamaian.
***
Referensi:
ADVERTISEMENT