Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Bakatuang, Tradisi Laut Masyarakat Aceh Selatan
31 Maret 2018 17:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu wilayah di Kabupaten Aceh Selatan, bernama Kluet, memiliki sebuah sistem sosial yang unik. Wilayahnya terdiri dari empat kecamatan, meliputi Kluet Selatan, Kluet Utara, Kluet Timur, dan Kluet Tengah. Keempat wilayah tersebut didiami oleh tiga suku besar, yaitu suku Aneuk Jamee di Kluet Selatan, suku Aceh di Kluet Utara, dan Suku Kluet di Kluet Timur dan Kluet Tengah. Walaupun mereka memiliki adat istiadat yang berbeda, tetapi dapat berinteraksi dengan baik di satu wilayah yang sama.
ADVERTISEMENT
Bakatuang adalah sebuah kegiatan adat yang bertujuan untuk mencari telur penyu. Katuang, oleh masyarakat Aceh disebut pinyie, atau dalam bahasa Indonesia berarti penyu. Bakatuang merupakan sebuah kebudayaan kuno yang dimiliki oleh masyarakat Aneuk Jamee di Kluet Selatan secara turun temurun.
Tidak ada data sejarah yang jelas mengenai kapan dan oleh siapa kebudayaan tersebut ditemukan. Tapi yang jelas, tradisi tersebut masih dipelihara dengan baik dari satu generasi ke generasi lain hingga sekarang.
Penyu merupakan salah satu hewan yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, ataupun dunia karena terancam punah. Segala kegiatan yang berhubungan dengan penjarahan telur penyu akan dikenai hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Namun jauh sebelum aturan tersebut dibuat, masyarakat Aneuk Jamee di Kluet Selatan sudah lebih dahulu memiliki aturan yang dijadikan tradisi masyarakat dalam memperoleh telur penyu. Bagi masyarakat Aneuk Jamee, telur penyu merupakan makanan yang sangat istimewa sehingga mereka akan menjaga keberadaannya dengan sangat baik.
ADVERTISEMENT
Proses pencarian telur penyu dilakukan oleh masyarakat ketika malam hari. Dengan berbekal alat penerangan seadanya, masyarakat akan menunggu penyu keluar dari laut untuk membuat sarang bertelur. Menurut aturan adat setempat, jika mereka melihat langsung penyu yang merangkak dari laut menuju pantai maka mereka harus membantunya sampai ke daratan tempat mereka akan membuat sarang, tetapi tidak boleh membantu membuat sarang.
Setelah penyu selesai bertelur, pencari telur penyu akan membuat sebuah lubang di samping sarang penyu tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sarang yang sudah ada tidak boleh diusik karena bila keadaan sarang berubah maka induk penyu akan marah dan tidak akan pernah mau bertelur di tempat itu lagi.
Sebagai ucapan terima kasih atas telur yang telah diberikan, masyarakat akan membantu induk penyu untuk kembali ke laut. Caranya mereka akan mengangkat penyu itu agar cepat sampai ke laut.
ADVERTISEMENT
Ada aturan penting yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat yang akan mengambil telur penyu. Mereka hanya boleh mengambil sepertiga jumlah telur yang ada pada sebuah sarang. Umumnya penyu akan bertelur sebanyak 60 sampai ratusan butir, maka telur yang boleh diambil hanya 20 butir.
Uniknya, setelah telur berhasil diambil, para pencari telur penyu harus langsung menyimpan telur yang mereka dapatkan sebelum ada yang melihatnya. Jika ada yang sempat melihat telur yang mereka dapatkan, maka telur tersebut harus dibagi sepertiganya kepada orang yang melihat.
Oleh karena itu, setiap pencari telur akan membawa sebuah kantung anyaman bambu yang dilapisi dengan kain putih. Aturan tersebut bukanlah sebuah hukuman, tetapi sebuah bagian dari kebersamaan adat istiadat setempat untuk menjaga keharmonisan bersama.
ADVERTISEMENT
Sumber : warisanbudaya.kemendikbud.go.id