Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Banten Girang, Jejak Sejarah Pra-Islam di Banten yang Menyimpan Banyak Kisah
10 Desember 2020 15:53 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banten adalah bandar atau kota pelabuhan kecil di ujung barat pulau Jawa yang terletak di bagian dalam sebuah teluk. Para pelaut di zaman dulu melihat teluk ini dengan berpatokan pada Gunung Gede yang menjulang setinggi 600 meter di pedalaman. Bandar ini terletak di bagian dalam muara Sungai Cibanten yang bersumber dari kaki Gunung Karang. Aliran sungai ini pendek hanya sekitar tiga puluh kilometer, tetapi menyambungkan laut dengan pegunungan vulkanis Karang-Pulasari-Aseupan yang subur.
ADVERTISEMENT
Sepanjang aliran sungai inilah tercatat situs-situs tua penting yang berkaitan dengan berbagai babak sejarah Banten, yakni Kasunyatan, Odel, Kelapadua, Serang dan Kota Lama Banten Girang.
Banten berasal dari bahasa Jawa kuno "pabanten" yang artinya tempat untuk menaruh sesaji atau persembahan. Sementara "girang" bisa berarti jaya atau senang tetapi dalam kaitannya dengan kota lama Banten, nama Banten Girang berarti "Banten Hulu".
Banten Girang adalah sebuah dataran tinggi yang dekat dengan Desa Sempu. Saat ini masuk wilayah Kota Serang. Letaknya sekitar 10 km dari pelabuhan Banten yang sekarang. Kota tua ini ditandai dengan makam keramat yang dinamai sebagai makam Ki Jongjo. Konon makam ini adalah makam kakak beradik Ki Jong dan Agus Jo yang dijadikan satu sebagai pemeluk Islam yang pertama di Banten.
ADVERTISEMENT
Fakta sejarah Ki Jongjo semakin dikuatkan dengan kronik Portugis yang ditulis Joao de Barros yang menulis tentang Falatehan yang pada kurun abad 16 pergi ke "Bintam" (Banten). Di sana dia diterima oleh tokoh terkemuka yang kemudian masuk Islam.
Banten Girang menjadi tempat yang bersejarah dan dikeramatkan karena berbagai alasan. Di balik makam diduga terdapat watu gulang (batu bersiran). Orang menyebutnya sebagai tahta Pucuk Umun yang merupakan ratu-pandita "hindu" yang terakhir di sana. Babad setempat, Sajarah Banten bercerita tentang Ki Jongjo seorang punggawa akuan yang ditugaskan di sana. Ketika Hasanudin datang ke sana dia langsung memihak pada penguasa Islam yang baru itu.
Satu abad kemudian muncul berita tentang Banten Girang dari pedagang yang ikut kapal kolonial Inggris. Namanya Abdul Mafakir (1596-1651) dan diceritakan dia tinggal di Kelapadua. Pada masa itu Kelapadua adalah pusat pengolahan tebu orang-orang Tiongkok yang telah lama membangun perkebunan tebu dan industri gula. Ahli sejarah menginterpretasikan bahwa tempat tinggal pedagang itu adalah Banten Girang. Interpretasi ini sesuai dengan data Belanda tentang tempat tinggal Sultan Haji di tahun 1678 yang tertulis dia tinggal di hulu Kelapadua.
ADVERTISEMENT
Data ini lebih diperkuat lagi dengan catatan W Caeff, residen Belanda yang tinggal di akhir abad 17. Dia mencatat bahwa Sultan Ageng, penguasa Banten, pada tahun 1674 telah memutuskan untuk mengadakan rapat bukan di Banten tetapi di "keraton lama" agar menjadi rahasia. Dua tahun kemudian dia menulis bahwa Sultan Ageng memutuskan membangun istana di Banten Girang atau Banten lama sebagai tempat berlindung kaum wanita jika meletus perang. Dari keterangan tersebut terlihat bahwa peninggalan pra-Islam di Banten Girang tidak ditelantarkan.
Sumber artikel: indonesia.go.id, kebudayaan.kemdikbud.go.id