Diskriminasi Etnis Tionghoa: Dari Orde Lama Sampai Orde Baru

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
28 Januari 2017 16:07 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meletusnya peristiwa G-30/S yang dilanjutkan dengan turunnya Presiden Soekarno membuat orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia diisolasikan dari kegiatan politik.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini menjadi puncak atau antiklimaks dari hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi (Tan 1981:22). Pemerintah Soekarno sebelum tahun 1950 membuat kebijakan bagi orang Tionghoa mengenai status kewarganegaraannya, yaitu dengan ius soli atau “Sistem Pasif”.
Sistem ini menyatakan bahwa warga negara Indonesia adalah orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia Pada 1945 penguasa mulai mengganti kebijakan kewarganegaraan yang lebih mengikat dengan menerapkan asas ius soli dua generasi yang menjadi pengganti aturan ius soli sebelumnya pada 1950, dimana sistem ini mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia. Aturan sistem ini kemudian membuat warga Tionghoa keturunan Indonesia akan kehilangan kewarganegaraan jika tidak bisa menunjukan memberikan bukti bahwa orang tua mereka telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun dan menyatakan secara tidak resmi menolak kewarganegaraan Cina
ADVERTISEMENT
Sedang disisi lain Soekarno yang melihat kelompok Pribumi yang semakin tersisih dalam bidang ekonomi karena dikuasai oleh etnis Tionghoa akhirnya membuat keputusan yang dikeluarkan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintahan) No. 10 tahun 1959 yang berisi larangan terhadap Etnis Tionghoa untuk melakukan perdagangan didaerah pedesaan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar para pedagang dan petani di desa dapat berkembang tanpa ada cukong yang akan membeli hasil pertanian mereka.
Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis. Pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada 1956. Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan usaha milik orang-orang etnis Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Setelah Orde Lama runtuh, dan rezim Orde Baru dibawah kekuasaan Soehartp dimulai terjadi pergolakan politik yang luar biasa, bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Sehingga, keluarlah kebijakan yang amat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik. Selain itu juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Sun Yat Po menjadi Kartinah, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Lebih dari itu pergerakan masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). ( Kakarisah, 2010: - )
ADVERTISEMENT
Mereka warga keturunan Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menjadikan mereka terdiskriminasi secara terang-terangan. Selama masa Orde Baru masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaabn mereka sendiri seperti kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang.
Imlek di Indonesia, Jakarta. (Foto: Reuters/Beawiharta)