Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Filosofi Tumpeng Masyarakat Jawa dan Bali
8 Januari 2018 15:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat Jawa dan Bali, Tumpeng bukan hanya sekedar makanan tapi memiliki makna yang sangat dalam.
ADVERTISEMENT
Tumpeng adalah sejenis sajian olahan nasi yang dibuat dengan bentuk kerucut menyerupai gunung, umumnya dibuat dalam dua jenis: nasi kuning dan nasi putih. Biasanya tumpeng dibuat ketika ada sebuah acara tertentu, seperti selamatan, kelahiran anak, peresmian bangunan, dan lain sebaginya. Budaya di Indonesia, khusunya Jawa dan Bali sangat mensakralkan tumpeng sebagai makanan adat. Sakral nya tumpeng tersebut karena unsur-unsur Hindu sangat kental dalam setiap upacara yang menyajikan tumpeng.
Untuk adat Jawa, kesakralan tersebut sudah sedikit berkurang karena kebudayaan Islam sudah lebih kuat dibandingkan kebudayaan Hindu. Sehingga yang tampak dari tumpeng adalah sebuah simbol akulturasi budaya lokal. Namun berbeda dengan di Bali yang masih kental dengan kebudayaan Hindunya, tumpeng masih erat kaitannya dengan religi masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Selain disertai dengan ritual keagamaan, tradisi tumpeng juga bisa dilihat dari perwujudan tumpeng yang bentuk kerucutnya menyerupai bentuk gunung. Bagi penganut agama Hindu, meru (gunung) merupakan representasi dari sistem kosmos (alam raya). Pada masa kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, konsep méru ini dapat dilihat dari penempatan istana tempat tinggal raja yang terletak di sekitar rangkaian pegunungan. Seperti di Yogyakarta, yang mana posisi keraton berada pada posisi garis lurus ke arah utara dengan Gunung Merapi dan ke selatan dengan Pantai Laut Selatan. Dengan kata lain, gunung memiliki arti penting dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Aneka sayur dan lauk-pauk yang ditata di sekitar tumpeng mengandung arti kehidupan (tumbuhan, hewan, dan manusia). Pada tumpeng alam tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan sayur. Alam binatang tergambarkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, atau sapi. Sedangkan alam manusia diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Maka jika memaknai bentuk dan filosofi yang terkandung dalam tumpeng, terdapat harapan bagi masyarakat yang menggunakan tumpeng dalam sebuah seremoni, yaitu kehidupan bisa menjadi baik, menanjak naik dan tinggi sebagaimana bentuk tumpeng yang tinggi. Misalnya bayi yang baru lahir diharapkan menjadi anak yang pintar dan sukses di masa depan; atau seseorang yang meninggal dapat menikmati kehidupan yang lebih baik di alam kematian.
Dalam sejarahnya, tradisi tumpengan bukan hanya berlaku di lingkungan masyarakat pribumi. Pada masa kolonial, orang-orang Eropa sering melakukan tradisi menyajikan tumpeng atau nasi kuning untuk acara-acara tertentu, seperti misalnya ketika memperingati hari ulang tahun anaknya, peresmian rumah yang baru selesai dibangun, bahkan perpisahan seorang pejabat pemerintah yang dipindah tugas ke tempat lain.
ADVERTISEMENT
Sumber : Ganie, Suryatini N. 2003. Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep. Jakarta: Gaya Favorit.
Moertjipto. 1993. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto : dapursolo.com