Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
‘Gone with the Wind’, Novel Epik Roman Amerika Selatan Terbaik
27 Desember 2018 18:31 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Novel Gone with the Wind, cerita roman berlatar belakang perang sipil Amerika Selatan karya Margaert Mitchell, masuk dalam jajaran novel paling banyak dibaca yang pernah dibuat oleh seorang penulis.
ADVERTISEMENT
Sejak pertama kali diterbitkan pada 1936, novel berisi kumpulan syair tersebut telah terjual lebih dari 30 juta eksemplar di 37 negara lebih. Prestasi Mitchell itu lalu mendapat penghargaan dari dunia, dengan memenangkan hadiah Pulitzer pada 1937.
Novel itu menceritakan kisah cinta epos sang tokoh utama, Scarlett O’Hara, yang menjadi wanita tercantik di Amerika Selatan. Ia hidup saat negerinya dilanda perang saudara, pasca-terwujudnya sebuah kemerdekaan.
Sosok Scarlett O’Hara digambarkan memiliki sifat keras kepala, suka membangkang, dan penuh tipu daya. Dikisahkan, Scarlett mencintai seroang pria bernama Ashley Wilkes, tetapi cintanya tidak terbalas karena pria itu menikahi perempuan lain, yang sebenarnya tidak lebih hebat dari Scarlett.
Akhirnya, Scarlett bertemu dengan Rhett Butler, dan kemudian menikahinya. Butler sendiri mampu menandingi sikap keras istrinya, sehingga dalam pandangan masyarakat keduanya dianggap sangat serasi. Berbeda dengan Wilkes yang memiliki sifat ramah dan lembut, yang dianggap tidak akan sanggup bertahan bersama Scarlett.
ADVERTISEMENT
Novel Gone with the Wind menampilkan kehidupan yang cukup keras dari para tokohnya. Mitchell tidak terus-menerus menampilkan keadaan bahagia dalam novelnya itu, malah lebih banyak membawa suasana tragis yang dialami para tokoh.
(Foto: Wikimedia Commons)
Scarlett menyebut dirinya menulis tentang orang-orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan, yang bagaimana pun akan selalu terhalang oleh keadaan di dalam lingkungannya.
Margaret Mitchell membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan mahakaryanya tersebut. Dengan pengalamannya sebagai reporter dan kisah-kisah yang ia dengarkan ketika masa kanak-kanak, membuat Mitchell memiliki imajinasi, sekaligus tata bahasa yang baik.
Novel Gone with the Wind meraih keberhasilan yang luar biasa di seluruh dunia. Kesuksesan novel itu telah membawa minat industri film Hollywood untuk membuatnya menjadi sebuah film. Para pembacanya begitu tidak sabar melihat siapa yang akan memerankan dua tokoh utama yang mereka cintai itu.
ADVERTISEMENT
Produser David O. Selznick lalu mengumumkan bahwa Clark Gable dan Vivien Leigh akan memerankan dua tokoh utamanya. Film yang dibuat tahun 1939 itu meraih kesuksesan yang luar biasa, dan menjadi salah satu film terpopuler sepanjang masa. Film itu juga membawa pulang 11 piala Academy Award.
Ketika para pembaca memperkirakan Mitchell akan menulis sambungan dari novel pertamanya itu, mereka harus kecewa sekaligus sedih, setelah sebuah kecelakaan pada tahun 1939 menewaskan Mitchell.
Empat dasawarsa kemudian, lembaga yang menangani warisan Mitchell memberikan hak kepada penulis Alexandra Ripley untuk menulis kelanjutan Gone with the Wind. Namun sekali lagi, para pembaca harus kecewa karena kualitas tulisan Ripley yang sangat jauh berbeda, bahkan dinilai kurang berbobot.
ADVERTISEMENT
Para kritikus sepakat bahwa Gone with the Wind karya Margaret Mitchell menjadi cerita rakyat terbaik tentang Amerika Selatan, dan tidak ada yang dapat menandinginya.
---
Sumber: Raftery, Miriam. 2008. 100 Buku yang Berpengaruh di Dalam Sejarah Dunia. Tangerang: Karisma