Gurun Pasir Sahara, Dulunya Danau Terbesar di Dunia

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
29 Desember 2020 15:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gurun Sahara. Dok: Alamy Stock Photos
zoom-in-whitePerbesar
Gurun Sahara. Dok: Alamy Stock Photos
ADVERTISEMENT
Sebuah danau besar yang disebut Mega Chad di tempat yang sekarang menjadi Gurun Sahara hanya membutuhkan beberapa ratus tahun untuk menyusut menjadi sebagian kecil dari ukurannya, para ilmuwan Inggris telah menemukan jawaban atas mitos tersebut.
ADVERTISEMENT
Mega Chad pernah menjadi danau air tawar terbesar di dunia yang mencakup 139.000 mil persegi (360.000 km persegi) Afrika Tengah - dan dengan cepat menyusut menjadi sebagian kecil dari ukurannya semula 1.000 tahun yang lalu.
Penemuan ini menjelaskan bagaimana hutan hujan Amazon tumbuh - karena debu dari sisa-sisa danau yang mengering berhembus melintasi Atlantik untuk membantu menyuburkan hutan.
Para peneliti menjelaskan tentang sejarah dari Danau Mega-Chad kuno, yang pernah menjadi danau terbesar di Afrika, menunjukkan bahwa periode lembab Afrika Utara, dengan peningkatan curah hujan di wilayah Sahara, berakhir tiba-tiba sekitar 5.000 tahun yang lalu, dan bahwa danau Danau Bodélé, sekarang menjadi sumber debu atmosfer yang besar, mungkin baru mengering sekitar 1.000 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Kekeringan panjag tersebut menyisakan Danau Chad, yang seluas 137 mil persegi (355 km persegi) masih terhitung luas, tetapi hanya mejadi sebagian kecil dari skala sebelumnya. Danau, yang melintasi perbatasan Chad, Niger, Nigeria dan Kamerun, semakin berkurang ukurannya karena manusia yang menyedot air bersih darinya.
Danau Chad. Dok: AFP/Getty Images
Para peneliti menjelaskan pentingnya temuan tersebut. Sisa-sisa danau yang mengering adalah sumber debu terbesar di dunia, pengeringan Bodélé.
Bagaimana Debu dari Sahara Membantu Kehidupan di Amazon
Letak Sahara dan Amazon terpisah sekitar ribuan mil, di benua yang berbeda dan dipisahkan oleh samudra yang luas. Namun, debu dari gurun Sahara Afrika memainkan peran kunci dalam menjaga tanaman hijau subur di hutan hujan Amazon.
Ilustrasi bagaimana debu dari Sahara melintasi samudera dan sampai ke Amazon. Dok: Wikimedia Commons.
Jutaan ton debu yang kaya nutrisi terbawa melintasi Atlantik setiap tahunnya dan akhirnya menyuburkan tanah di Amerika Selatan. Yang terpenting, debu yang terbawa mengandung fosfor dan unsur pupuk lainnya, yang menggantikan komponen vital yang tersapu air setiap tahun melalui hujan lebat di hutan Amazon.
ADVERTISEMENT
Menurut Tech Times, 22.000 ton fosfor dari Sahara terbawa hingga ke Amazon setiap tahunnya. Dr Simon Armitage dari departemen geografi Royal Holloway mengatakan debu dari Mega Chad yang mengering adalah bagian dari proses tersebut.
"Hutan tropis Amazon seperti keranjang gantung raksasa. Dalam keranjang gantung, penyiraman setiap hari dengan cepat mencuci nutrisi yang larut dari tanah, dan ini perlu diganti dengan menggunakan pupuk jika tanaman ingin bertahan hidup." ucap Simon.
"Demikian pula, pencucian mineral yang terlarut dalam jumlah besar dari lembah Amazon berarti bahwa sumber nutrisi eksternal harus menjaga kesuburan tanah." lanjut Simon.
"Sebagai sumber debu paling kuat di Dunia, depresi (pengeringan) Bodélé sering dikutip sebagai kemungkinan sumber nutrisi di Amazon, tetapi temuan kami menunjukkan bahwa ini hanya berlaku selama 1.000 tahun terakhir." tutup Simon.
ADVERTISEMENT
Untuk menganalisis penurunan air di Mega Chad, peneliti dari Royal Holloway, Birkbeck dan Kings College, Universitas London menggunakan gambar dari satelit untuk memetakan garis pantai yang ditinggalkan.
Ilustrasi perkiraan luas dari Danau Mega-Chad. Dok: Wikimedia Commons.
Mereka juga menganalisis sedimen danau untuk menghitung usia garis pantai ini dan menghasilkan sejarah tingkat danau yang mencakup 15.000 tahun terakhir.
Penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences edisi Juni 2015 lalu.
**
Referensi: