Konten dari Pengguna

Kapal Jung, Raksasa Penjelajah Lautan Nusantara yang Hampir Terlupakan

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
11 Desember 2020 19:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapal jung. Sumber: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Kapal jung. Sumber: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Jong atau jung adalah perahu besar yang digunakan oleh orang kepulauan Nusantara pada masa lalu untuk mengarungi lautan. Wujud sangat besar bagaikan "gargantua" adalah kata yang mungkin paling pas untuk menggambarkan sebuah kapal raksasa yang pernah menjadi penguasa pelayaran samudera di awal penanggalan Masehi. Bahasa Melayu menyebutnya sebagai "jong", atau "jung".
ADVERTISEMENT
Dalam buku Nusajawa: Jaringan Asia (2004), ketika menyebut tentang "jung" dari Asia Tenggara, Lombard menyebutnya sebagai kapal-kapal raksasa yang banyak dicatat oleh penjelajah Eropa berlayar di perairan "kun-lun" atau Laut Selatan. Istilah itu adalah istilah yang disukai oleh pencatat sejarah Tiongkok tentang perairan di sebelah selatan Cina daratan yang membentang hingga pulau rempah.
Catatan Tome Pires, penjelajah Portugis abad 16, menyebut nama Pati Unus sebagai panglima yang memimpin armada pasukan laut dari sebuah kapal raksasa yang disebut sebagai "jung". Kapal itu begitu besar sehingga bisa menampung sekitar seribu penumpang. Banyak ahli yang menduga kata "jung" berasal dari perbendaharaan bahasa Cina. Namun peneliti sejarah meyakini kata ini lebih tua dari riwayat pelayaran Samudera Cina yang bermula pada masa Dinasti Sung atau sekitar abad ke-10 masehi.
ADVERTISEMENT
Jung adalah sebuah kapal raksasa dari zaman kuno yang nyaris hilang dari perbendaharaan sejarah. Kelebihan yang paling utama dari kapal raksasa ini adalah kapasitasnya yang sangat besar dan bisa membawa komoditas yang sangat bernilai tinggi jika dibawa dalam jumlah besar pada waktu itu yakni beras.
Sumber: Wikimedia Commons
Catatan paling tua tentang kapal raksasa Asia Tenggara ada dalam catatan Ptolemy, ditulis pada sekitar tahun 100 Masehi berjudul Periplus Marae Erythraensis (catatan laut bagian terluar). Buku Abad ke-3 yang ditulis oleh Wan Chen, menggambarkan bahwa kapal itu mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 kargo (sekitar 250-1000 ton). Kapal ini bukan berasal dari Tiongkok, tetapi dari Kun-lun, yang besar lebih dari 50 meter panjangnya. Tingginya di atas air 4 hingga 7 meter.
ADVERTISEMENT
Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan kerajaan Majapahit menggunakan "jung" secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar "jung" Majapahit mencapai 400 kapal, disertai jenis Malangbang dan Kelulus yang tak terhitung banyaknya.
Gaspar Correia, penulis sejarah abad 16 dari Portugis mencatat tentang pertemuan Alfonso Albuquerque dengan kapal raksasa Majapahit yang terjadi di Selat Malaka. Pramoedya menyebut, nama kapten terkenal Portugis itu berdasarkan penamaan orang Jawa pesisir yakni "Kongso Dalbi".
Catatan Gaspar itu menyebutkan bahwa kapal raksasa itu tidak mempan ditembak meriam yang terbesar. Hanya dua lapis papan yang bisa ditembus dari empat lapis papan kapal itu. Saat kapten mencoba untuk menaikinya bagian belakang kapal Flor de la Mar tidak bisa mencapai jembatannya.
ADVERTISEMENT
Alfonso Albuquerque sendiri mencatat kalau jung itu memiliki empat tiang layar. Bobot muatannya sekitar 600 ton. Sedangkan yang terbesar tercatat dimiliki Kerajaan Demak dengan bobot mencapai 1.000 ton. Fernao Pires de Andrade mencatat dalam rangkuman Tome Pires kalau kapal itu butuh tiga tahun untuk membangunnya.
Sumber: Wikimedia Commons
Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan Pati Unus di Malaka membawa pengaruh yang besar bagi hilangnya kapal-kapal besar dari galangan-galangan kapal di pesisir utara Jawa. Bergesernya kekuasaan Mataram ke pedalaman adalah salah satu yang membuat galangan-galangan kapal yang tersebar di pesisir ditinggalkan. Salah satu pukulan terbesar adalah saat penguasa Mataram menghancurkan sendiri kota-kota pesisir yang menyimpan peninggalan-peninggalan galangan.
Perintah Amangkurat I pada 1655, dicatat Rendra F Kurniawan (2009) sebagai kebijakan represif Mataram yang paling memukul kota-kota pesisir. Perintah dia untuk menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal agar tidak memicu pemberontakan membuat punahnya lapisan ahli-ahli pembuat kapal yang sejak masa Demak sendiri sudah tinggal sisa-sisa.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu semakin diperburuk ketika VOC mulai menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir di pertengahan abad 18. Pada saat itu VOC melarang galangan kapal membuat kapal dengan tonase melebihi 50 ton dan menempatkan pengawas di masing-masing kota pelabuhan
Sumber artikel: indonesia.go.id