Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kaset dan Era Pembajakan Musik di Indonesia
15 November 2017 14:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Era kaset memunculkan sebuah permasalahan baru di mana era pembajakan juga terjadi di Indonesia
ADVERTISEMENT
Pada 1957, piringan hitam mulai digunakan oleh Indonesia sebagai alat perekam. Walau jauh sebelum Indonesia merdeka, banyak label rekaman dari luar yang telah menggunakan piringan hitam. Perusahaan rekaman dari Indonesia sendiri yang berjaya saat itu dan memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di ibu kota.
Pada 1963, Philips memperkenalkan produksi pertama audio-kaset di Eropa dengan nama Compact Cassette buatan Jerman Barat. Bersamaan dengan itu, Philips juga memproduksi tape recorder portable yang pertama diedarkan di Eropa. Semenjak itu penyebaran kaset mulai menerjang dunia. Para penikmat musik lebih memilih kaset yang lebih slim dan praktis. kaset kemudian menjadi sebuah industri baru pengganti piringan hitam.
Menjelang akhir 1960-an, industri kaset mulai memasuki Indonesia. Era kaset ini membuka mata pencaharian baru; toko-toko elektronik menyediakan jasa berupa merekam lagu berdasarkan pesanan dan menarik perhatian masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Meskipun kaset diciptakan untuk mempermudah manusia merekam audio nyatanya, era kaset memunculkan sebuah permasalahan baru di mana era pembajakan juga terjadi di Indonesia. adanya kaset menyebabkan para pelanggar hak cipta merekam lagu-lagu dari PH Produksi Remaco, Dimita, Lokananta, Metropolitan, dan J&B Enterprieses. Pada 1971 berbagai berita di media cetak memberitakan betapa kaset bajakan mengancam industri PH di Indonesia.
Kaset-kaset gelap, dan oknum-oknum yang melakukan pembajakan liar menjamur di mana-mana, bahkan pada 1967 menjelang awal 1968 penjualan kaset gelap dilakukan di toko-toko elektronik yang menjual radio dan televisi.
Bagaimana tidak, selain harganya murah, jumlah lagu yang bisa disimpan di kaset pun lebih banyak, satu buah kaset bisa berisi 24 lagu dengan harga Rp 600, sedangkan rekaman PH berisi 12 lagu dengan harga Rp 1200. jelaslah mengapa kaset-kaset gelap begitu cepat menjamur di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Melihat kenyataan tersebut, akhirnya pemerintah saat itu campur tangan dalam menangani pembajakan musik. Permasalahan lainnya ketika pemerintah dan para penegak hukum bergerak mereka masih bingung mengenai alur dan standari dari penangkapan pembajakan. Mereka sendiri masih ragu apakah mau menyebut perekaman secara ilegal adalah pembajakan ataukah pemalsuan. Aparat hukum dan pengadilan sangat lamban, hal ini terlihat dari laporan yang diberikan Remaco pada 1970, baru diproses pada 1971.
Selain itu era industri kaset gelap ini juga diperparah dengan kesadaran akan hak cipta yang masih rendah, para penyanyi pada saat itu hanya di berikan honor oleh PH nya bukan dari loyalti atas penjualan kaset, sehingga para penyanyi tidak begitu protes ketika terjadi pembajakan, malah perusahaan PH yang ketar ketir terancam gulung tikar.
ADVERTISEMENT
Sumber : KS, Theodore. 2013. Rock ‘n Roll Industri Musik Indonesia: Dari Analog ke Digital. Jakarta: Kompas