Kesultanan Aceh Darussalam, Penguasa Baru Pesisir Sumatera

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
31 Mei 2018 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kesultanan Aceh (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kesultanan Aceh (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kerajaan Islam terbesar di wilayah Aceh, setelah Samudera Pasai hancur. Kesultanan Aceh muncul ketika Samudera Pasai sedang kesulitan mempertahankan kekuasaannya di wilayah Aceh dan Selat Malaka, terutama ketika mereka mendapatkan serangan dari Majapahit, Portugis, serta munculnya Kesultanan Malaka yang berhasil mengambil alih jalur perdagangan di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Raja pertama Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah, yang diangkat pada 8 September 1507. Kesultanan Aceh sebenarnya sudah ada sejak tahun 1496, namun ketika itu statusnya masih berada di bawah Samudera Pasai. Setelah mengambil alih wilayah Samudera Pasai pada 1524, Kesultanan Aceh berubah menjadi penguasa baru di wilayah Aceh.
Kompleks istana Kesultanan Aceh dibangun di atas tanah bekas pemerintahan beberapa kerajaan Hindu Budha yang pernah berkembang di Aceh, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura.
Selain itu, juga ada kerajaan Islam yang pernah memerintah di sana sebelum kesultanan Aceh Darussalam, yaitu Kesultanan Lamuri. Pusat pemerintahan Kesultanan Aceh berada di Kutaraja, atau yang sekarang dikenal dengan Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yang memerintah pada 1607 sampai 1636. Nama aslinya adalah Pangeran Perkasa Alam. Ketika diangkat menjadi raja yang ke-14, ia mendapat gelar Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam.
Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh ketika kerajaan berada dalam situasi yang sulit, karena banyak muncul konflik di dalam pemerintahan. Tetapi dalam waktu yang cukup singkat, ia berhasil mengendalikan keadaan dan mengembalikan Aceh pada kondisi yang baik.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam mencakup hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, dan Jambu Aye. Selain itu, ia dapat menguasai seluruh negeri yang berada di sekitar Selat Malaka, dan menguasai jalur perdagangannya. Berkat pencapaian itu, perekonomian Kesultanan Aceh berkembang pesat.
ADVERTISEMENT
Mereka semakin dikenal oleh dunia setelah menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka. Semua pelabuhan penting di pantai barat dan pantai timur Sumatera berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam tercatat pernah dipimpin oleh Sultanah atau ratu, selama 4 periode berturut-turut. Ratu pertama Kesultanan Aceh adalah Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam, memerintah sejak 1641 sampai 1675.
Pemerintahan Sultanah Safi al-Din dipenuhi dengan berbagai konflik internal Istana, seperti beberapa upaya pemberontakan dari pejabat Istana yang tidak setuju dengan kepemimpinan Sultanah Safi al-Din. Mereka menganggap Kesultanan Aceh Darussalam tidak boleh dimpimpin oleh seorang perempuan.
Meskipun mendapat banyak pertentangan dan rintangan ketika memimpin, Sultanah Safi al-Din terbilang sukses membangun kerajaan Aceh. Sultanah Safi memerintah Aceh selama 34 tahun hingga ia wafat pada 1675. Sama seperti masa pemerintahan ayahnya, Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh masa Sultanah Safi berhasil menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh sehingga berbagai bantuan selalu datang ketika kesultanan Aceh mengelami kesulitan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tercatat bahwa Kesultanan Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, agama, hukum, seni budaya, dan ilmu pengetahuan.
Memasuki abad ke-18, Kesultanan Aceh Darussalam mulai memperlihatkan tanda-tanda keruntuhan. Belum ada lagi sosok pemimpin yang dapat membangkitkan Kesultanan Aceh, ditambah banyak bangsa asing yang semakin kuat pengaruhnya di wilayah Sumatera.
Pada awal abad ke-20, Kesultanan Aceh sudah benar-benar tidak dapat mempertahankan kekuasaannya. Belanda kemudian memanfaatkan keadaan itu berkat informasi yang didapat dari Snouck Hugronje, seorang peneliti Belanda yang meneliti tentang Aceh.
Akhirnya, Belanda melakukan stategi pemecahan di dalam kubu rakyat Aceh, yaitu antara kaum ulama dengan keluarga kerajaan. Ketika itu banyak masjid dan madrasah yang dibakar oleh pasukan penjajah. Belanda akhirnya berhasil menguasai seluruh wilayah Aceh setelah Sultan Muhammad Daud menyerah pada 1903.
ADVERTISEMENT
Sumber : Gustama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta : Brilliant Book