Kesultanan Bima, Pusat Penyebaran Islam di Nusa Tenggara

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
4 Juni 2018 20:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesultanan Bima awalnya adalah kerajaan bercorak Hindu yang mendapatkan pengaruh dari Jawa. Hal itu dibuktikan dari temuan arekologis berupa artefak, prasasti, dan naskah-naskah yang menggunakan bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno. Kerajaan Bima pun disebutkan di dalam kitab Negarakertagama, karangan Empu Prapanca. Di sana disebutkan Kerajaan Bima memiliki pelabuhan yang cukup ramai pada abad ke-14 M. Ketika itu kerajaan Bima diperintah oleh Raja Mitra Indratarati, yang berkuasa pada 1350 hingga 1370, ia adalah raja ke-7 di Kerajaan Bima.
ADVERTISEMENT
Para ahli memperkirakan Kerajaan Bima Hindu berdiri sejak abad ke-13 M, dengan raja pertamanya bergelar Sang Bima I. Raja berkuasa selama kurang lebih dua dekade, yang kemudian digantikan oleh putranya, Indra Zamrud. Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima mencakup Pulau Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, dan Komodo. Pada masa Hindu ini kerajaan Bima dipimpin oleh 26 raja.
Dalam naskah-naskah berbahasa Melayu diketahui bahwa ajaran Islam masuk ke kerajaan Bima sekitar abad ke-17. Hal itu diperkuat dengan ditemukannya naskan kuno yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Pengaruh Islam sendiri datang dari kesultanan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan ketika menaklukan wilayah Nusa Tenggara. Kesultanan Gowa-Tallo muncul di Nusa Tenggara akibat dari persaingan dagang dengan VOC, yang ketika itu ingin menguasai jalur perdagangan di bagian timur Nusantara. Demi mencegah hal itu, kesultanan Gowa-Tallo mengirimkan ekspedisi untuk menaklukan kerajaan yang berada di pantai timur.
ADVERTISEMENT
Walaupun ajaran Islam telah masuk ke wilayah kerajaan Bima, tetapi keluarga kerajaan ketika itu belum bersedia menerimanya. Raja Bima, Ruma ta Mambora di Bata Lambu dan keluarganya belum bersedia memeluk agama Islam. Hal itu menyebabkan terjadinya pemberontakan dari rakyat dan anggota kerajaan lain yang telah memeluk Islam, dengan harapan kerajaan Bima dapat menjalin hubungan lebih erat dengan kesultanan Gowa-Tallo. Disebutkan, bahwa keluarga kerajaan yang pertama kali bersedia masuk Islam adalah Ruma ta Ma Bata Wadu, keponakan dari Raja Ruma ta Mambora di Bata Lambu.
Akhirnya agama Islam resmi menjadi agama kerajaan menggantikan ajaran Hindu, dan gelar raja pun diganti menjadi sultan. Raja pertama kesultanan Bima adalah Ruma ta Ma Bata Wadu, diangkat pada 1620 M dengan gelar Sultan Abdul Kahir I. Sejak saat itu kesultanan Bima dengan kesultanan Gowa-Tallo menjalin hubungan yang erat di segala bidang. Terlebih banyak bangsawan dari kedua negeri yang melakukan perkawinan. Sultan Abdul Kahir I sendiri menikah dengan Daeng Sikontu, adik ipar Sultan Alauddin, penguasa Gowa-Tallo ketika itu.
ADVERTISEMENT
Ketika kesultanan Gowa-Tallo mengalami kemunduran setelah kalah dalam Perang Makassar melawan VOC, kekuasaan atas kesultanan Bima pun berakhir. Namun hubungan di antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan rakyat Bima masih terjalin dengan baik, terutama di bidang perdagangan.
Sultan Abdul Kahir I menyebarkan ajaran Islam ke seluruh wilayah kekuasaan kesultanan Bima hingga wafat pada 1640 M. Kesultanan Bima kemudian diperintah oleh putranya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin, yang menerapkan sistem pemerintahan Islam sama seperti ayahnya. Ketika Belanda datang ke Nusantara, mereka berusaha merebut wilayah Nusa Tenggara dari tangan Kesultanan Bima. Terjadi serangkaian perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Bima terhadap Belanda, seperti Sultan Jamaluddin yang memerintah pada 1687 hingga 1696, melakukan perlawanan bersama dengan rakyat hingga akhirnya dipenjara di Batavia pada 1695 hingga wafat.
ADVERTISEMENT
Perlawanan lainnya terjadi pada masa pemerintahan Ma Taho Parange, yang bergelar Sultan Ibrahim (1881-1915). Ketika itu pemerintah kolonial menerapkan berbagai macam aturan yang memberatkan posisi sultan, bahkan mereka melakukan perubahan pada peraturan di kesultanan Bima. Tindakan Belanda tersebut memancing terjadinya perlawanan rakyat Bima. Sultan terakhir kesultanan Bima adalah Sultan Muhammad Salahuddin, sebelum akhirnya kesultanan Bima masuk ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun pada 2001 gelar Sultan Bima kembali diberikan kepada keluarga kerajaan Bima, walau tidak memiliki kekuasaan secara politik.
Sumber : Gusatama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Yogyakarta : Brilliant Book
Foto : mbojoklopedia.com