Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kesultanan Deli, Pemerintahan Islam di Wilayah Sumatera Utara
8 Juni 2018 15:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesultanan Deli adalah salah satu kerajaan bercorak Islam di Indonesia yang berkuasa di wilayah Sumatera Utara. Berdirinya kesultanan Deli tidak terlepas dari peranan kesultanan Aceh Darussalam, terutama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
ADVERTISEMENT
Pada 1612, kesultanan Aceh Darussalam memulai ekspansinya ke wilayah Sumatera Utara. Ia menunjuk salah satu panglimanya, bernama Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, untuk memimpin pasukan Aceh menguasai kota-kota di sepanjang Pantai Timur Sumatera. Hanya dalam waktu 6 Minggu, Bandar Deli dapat ditaklukan oleh pasukan Aceh.
Atas keberhasilannya tersebut, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan diangkat menjadi wakil Kesultanan Aceh Darussalam di wilayah Aru oleh Sultan Iskandar Muda pada 1632. Wilayah Aru inilah yang kemudian berganti nama menjadi Deli.
Tidak lama kemudian, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan ditetapkan sebagai Datuk Tunggal atau Ulon Janji, jabatan yang setara dengan Perdana Menteri. Selain itu di wilayah Deli, dibentuk juga Lembaga Datuk Berempat sebagai dewam penasehat pemerintahan di Deli. Empat Raja Batak Karo yang merupakan pemimpin dari 4 kerajaan di wilayah Batak Karo, yang sudah diislamkan oleh Aceh Darussalam menjadi anggota lembaga tersebut
ADVERTISEMENT
Pada 1641, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan wafat dan digantikan oleh putranya, Tuanku Panglima Perunggit dengan gelar Panglima Deli. Wilayah kesultanan Deli pun memutuskan untuk melepaskan diri dari Aceh Darussalam setelah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda.
Tahun 1669, Tuanku Panglima Perunggit menyatakan Deli sebagai kerajaan merdeka. Ia pun kemudian menjalin hubungan baik dengan Belanda di Malaka untuk berjaga-jaga jika suatu hari terjadi penyerangan dari kesultanan Aceh Darussalam.
Tuanku Panglima Perunggit wafat pada 1700, yang kemudian digantikan oleh Tuanku Panglima Paderap. Setelah ia turun tahta pada 1720, terjadi perpecahan di dalam keluarga kesultanan Deli. Empat orang anak Tuanku Panglima Paderap memperebutkan kekuasaan di kesultanan Deli.
Akhirnya, terpilihlah anak keempat Tuanku Panglima Paderap, yakni Tuanku Umar Johan Alamsyah, sebagai penguasa kesultanan Deli. Namun hal itu ditentang oleh Tuanku Panglima Pasutan, karena mengganggap Taunku Umar Johan Alamsyah bukan dari keturunan utama.
ADVERTISEMENT
Akhirnya terjadilah perang di antara keduanya, yang mencapai puncaknya pada 1732. Tuanku Panglima Pasutan berhasil mengusir Tuanku Umar Johan Alamsyah ke luar istana. Ia pun kemudian mendeklaraskian dirinya sebagai penguasa kesultanan Deli.
Sementara itu, Tuanku Umar Johan Alamasyah yang diusir bermasa ibunya, tiba di sebuah tempat yang dinamakan Kampung Besar atau Serdang. Di tempat tersebut, Tuanku Umar Johan Alamsyah mendirikan pemerintahan, diberi nama Kesultanan Serdang.
Perang kembali terjadi antara kesultanan Deli dan kesultanan Serdang, yang baru berakhir pada awal abad ke-20 dengan campur tangan Belanda. Kesultanan Deli memang memiliki hubungan baik dengan Belanda, namun sebagai konsekuensinya, Deli terikat kontrak politik dengan Belanda.
Riwayat kedekatan penguasa Deli dengan Belanda memicu kemarahan dari masayarakat Deli yang anti kaum feodal setelah Indonesia merdeka. Puncaknya pada 1946, terjadi peristiwa yang dikenal dengan Revolusi Sosial.
ADVERTISEMENT
Banyak bangsawan istana di Sumatera Utara yang dibunuh dan dirampas hartanya. Beruntung, keluarga kesultanan Deli selamat dari peristiwa tersebut berkat penjagaan dari tentara Sekutu yang bertugas di Medan.
Sumber: Gustama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Yogyakarta: Brilliant Book
Foto: flickr.com