Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kesultanan Gowa-Tallo, Serambi Madinah di Wilayah Timur Indonesia
9 Juni 2018 15:01 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesultanan Gowa-Tallo adalah salah satu kerajaan bercorak Islam di Nusantara yang pusat pemerintahannya berada di wilayah Sulawesi Selatan. Diperkirakan, pemerintahan di Gowa telah ada sejak abad ke-14 M.
ADVERTISEMENT
Sebelum Islam masuk, kerajaan Gowa adalah bentukan dari 9 komunitas ada yang melebur menjadi satu pemerintahan, dikenal dengan sebutan Bate Salapang, yakni Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalili.
Gowa dan Talo awalnya adalah dua kerajaan yang berbeda, dipimpin oleh putra dari Raja Gowa ke-6, Tonatangka Lopi. Mereka adalah Batara Gowa, yang melanjutkan kekuasaan ayahnya di wilayah kerajaan Gowa, dan Karaeng Loe ri Sero, yang diberi wilayah untuk kemudian membangun kerajaan Tallo.
Dalam perjalanannya, dua kerajaan bersaudara itu selalu berperang untuk saling menguasai wilayah Sulawesi Selatan. Hingga akhirnya kedua kerajaan itu dapat disatukan oleh Daeng Matanre Karaeng Tumparisi Kallonna.
Bergabungnya Tallo dalam pemerintahan Gowa, membuat sistem kekuasaan di kerajaan itu pun diubah menjadi sistem wewenang ganda. Para raja berasal dari keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari keturunan Tallo.
ADVERTISEMENT
Selama masa pimpinan Daerng Matanre Karaeng Tumparisi Kollonna, disusun berbagai peraturan yang membuat kerajaan Gowa-Tallo mencapai masa kejayaannya. Ia mengatur udang-undang, kebijakan perang, serta sistem perpajakan yang digunakan untuk membiayai kebutuhan kerajaan.
Kerajaan Gowa-Tallo berubah menjadi pemerintahan Islam ketika dipimpin oleh raja I Mangari Daeng Manrabbia, atau Sultan Alauddin I Tuminanga ri Gaukanna, dan perdana menteri I Mallingkang Daeng Manyonri.
Sejak saat itu, kesultanan Gowa-Tallo menjadi pusat dakwah Islam di wilayah Sulawesi Selatan, dan Indonesia bagian timur. Kesultanan ini disebut juga sebagai Serambi Madinah.
Penyebaran ajaran Islam oleh kesultanan Gowa-Tallo tidak selalu berjalan mulus. Ketika mereka akan menyebarkan Islam ke wilayah orang-orang Bugis, yakni kerajaan Bone, kerajaan Soppeng, dan kerajaan Wajo, mereka mendapat penolakan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya terjadi peperangan antara kesultanan Gowa-Tallo melawan tiga kerajaan Bugis tersebut. Satu per satu kerajaan itu dapat ditaklukan dan diislamkan. Kerajaan terakhir yang memeluk Islam adalah kerajaan Bone tahun 1611.
Pemimpin kesultanan Gowa-Tallo yang paling terkenal adalah I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla’pangkana, atau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin.
Ketika berada di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, kesultanan Gowa-Tallo terlibat dalam konflik dengan Belanda yang ingin menguasai kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia timur.
Sultan Hasanuddin berhasil mempertahankan wilayah Gowa-Tallo, dan berusaha menggabungkan kekuatan dengan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia timur untuk melawan Belanda.
Belanda sangat kewalahan dengan perlawanan yang dilakukan oleh kesultanan Gowa-Tallo. Belanda pun melakukan politik adu domba untuk memperlemah kekuasaan Sultan Hasanuddin.
ADVERTISEMENT
Belanda mempengaruhi salah seorang pangeran Bone, yakni Arung Palakka, yang ketika itu sedang berkonflik dengan kesultanan Gowa. Arung Palakka ingin memerdekakan Bone dari Gowa, sehingga ia bekerjasama dengan Belanda untuk menggempur pasukan Gowa.
Pada 24 November 1666, armada besar yang terdiri dari 21 kapal perang, dan 1000 tentara gabungan Belanda dan Bone, menyerang wilayah Gowa. Sultan Hasanuddin mulai terdesak, dan terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667.
Namun, perjanjian itu dirasa telalu merugikan Gowa, sehingga Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan. Akhirnya pasukan Belanda, yang dibantu pasukan dari Batavia, berhasil menerobos benteng terkuat kesultanan Gowa-Tallo, yaitu Benteng Sombaopu pada 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin diturunkan dari tahtanya, dan wafat pada 12 Juni 1670.
ADVERTISEMENT
Putra Sultan Hasanuddin, yaitu Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu, melanjutkan perjuangan ayahnya melawan Belanda. Namun, VOC memberikan perlawanan lebih besar hingga akhirnya kesultanan Gowa berhasil dikuasai sepenuhnya.
Kesultanan Gowa-Tallo sejak saat itu masih dipimpin oleh beberpa sultan namun tidak memiliki kekuasaan yang besar karena pemerintahannya berada di bawah kekuasaan Belanda. Hingga akhirnya kesultanan Gowa masuk dalam wilayah NKRI setelah Indonesia merdeka.
Sumber: Gustama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta : Brilliant Book
Foto: id.wikipedia.org