Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konsep Keraton Masa Islam di Indonesia
20 Januari 2018 20:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keraton merupakan tempat kediaman raja atau sultan, sekaligus pusat pemerintahan sebuah kerajaan. Di ibu kota kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, penempatan keraton selalu di sebelah Selatan alun-alun kota, menghadap ke arah Utara. Keraton-keraton tersebut biasanya terbagi menjadi tiga bagian, dan bagian terdalam dipakai untuk bangunan utama keraton.
ADVERTISEMENT
Konsep keraton masa Islam di Jawa sebenarnya erat kaitannya dengan kebudayaan peninggalan Hindu Budha yang menganggap keraton sebagai tempat dewa-raja tinggal. Di Indonesia, dan beberapa daerah di Asia Tenggara masih menganut konsep dewa-raja tersebut, meskipun sebenarnya di dalam Islam tidak dikenal konsep tersebut tetapi hal itu sudah menjadi bagian dari kebudayaan setempat.
Sama seperti di Pulau Jawa, menurut berita asing istana di kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi tiga bagian bangunan. Konsep tiga bagian tersebut dapat dikaitkan dengan pembagian kompleks percandian Hindu Budha, khususnya di Jawa Tengah dan Bali yang disebut jaba, jaba tengah, dan jero. Selain istana, penempatan makam beberapa Wali Sanga, seperti makam Sunan Kudus, dan makam Sunan Drajat, menggunakan konsep tersebut.
ADVERTISEMENT
Halaman bagian pertama baik untuk keraton atau kompleks pemakaman umumnya diberi gerbang berbentuk candi yang terbelah dua dinamakan candi bentar. Pada halaman antara bagian kedua dan ketiga diberi sebuah gerbang yang atapnya tertutup, disebut kori agung. Di salah satu sisi halaman bagian pertama akan dibuat sitinggil, sebuah bangunan yang bidang tanahnya lebih tinggi dibanding tanah di sekitarnya. Sitinggil digunakan sebagai tempat raja dan anggota kerajaan menonton pertunjukan di alun-alun, atau sekedar berinteraksi dengan masyarakat.
Halam ketiga sebelum memasuki bangunan utama keraton, terdapat sebuah bangunan untuk penerimaan tamu yang disebut srimanganti. Setelah memasuki keraton terdapat pendopo yang digunakan raja dan pejabat pemerintahan untuk mengadakan rapat. Di dalam keraton terdapat bagian khusus untuk putri-putri kerajaan disebut keputren, sedangkan untuk putra-putra kerjaan disebut kaputran.
ADVERTISEMENT
Bentuk atap untuk bangunan keraton biasanya berbentuk limasan, sedangkan untuk bangunan pendopo dan masjid bentuk atapnya joglo dengan tiang pendukunya berjumlah 4 buah dinamakan sakaguru.
Memasuki abad ke-16 setelah masuknya pengaruh Islam dan Eropa, keraton-keraton dibangun tidak hanya dengan bahan baku kayu, tetapi juga bata-bata sehingga terlihat lebih kokoh. Bangunan keraton yang sudah mendapat pengaruh Eropa, di antaranya Banten, Kasepuhan Cirebon, Aceh, Kuta Gede, Plered, Kartasura, dan lain sebagainya.
Keraton-keraton di Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-18 diapit oleh dua alun-alun, yaitu alun-alun utara dan alun-alun selatan. Kedua alun-alun tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Bagian utara digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat, sedangkan alun-alun selatan digunakan sebagai tempat untuk upacara kematian, seperti kepercayaan agama Hindu mengenai Dewa Yama yang merupakan dewa kematian agama Hindu yang berada di selatan.
ADVERTISEMENT
Sumber : Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.
Foto : maioloo.com