Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Konsep Kosmogonis Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara
3 Februari 2018 8:10 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa kerajaan kuno di Asia Tenggara mempunyai sebuah landasan kosmogonis ketika menggambarkan kepercayaan mereka akan hubungan dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Menurut R. von Heine Geldern, seorang ahli sejarah dan arkeolog yang meneliti asal-usul kehidupan manusia Indonesia, kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia menganut kosmogonis tersebut. Dalam kepercayaan ini manusia selalu ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan alam semesta yang dipercaya sebagai tempat tinggal Dewa. Kekuatan makrokosmos dipercaya dapat membawa kebahagiaan, kesejahteraan, dan perdamaian di dalam kehidupan manusia, termasuk di dalam menjalankan sistem kekerajaan.
ADVERTISEMENT
Selama manusia melakukan segala kegiatannya selaras dengan pergerakan alam semesta, maka kehidupannya akan selalu terhindar dari segala bencana. Sebuah kerajaan pun dapat dianggap sebagai kosmos dalam bentuk kecil, selama kerajaan tersebut bergerak dalam kosmos yang lebih besar, yaitu makrokosmos tempat para Dewa. Kerajaan digambarkan sebagai alam semesta dan raja dianggap sebagai perwujudan dari Dewa yang mendiami alam semesta.
Menurut ajaran agama Hindu, alam terdiri dari sebuah benua sebagai pusat yang berbentuk lingkaran, dinamakan Jambudwipa. Benua itu dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan, dan dikelilingi oleh barisan pegunungan sebagai dinding pembatasnya. Pusat dari alam semesta digambarkan sebagai sebuah gunung yang berada di tengah Jambudwipa, bernama gunung Meru. Di puncak Gunung Meru terdapat kota para dewa yang dikelilingi oleh delapan dewa penjaga mata angin, disebut Lokapala. Matahari, bulan, dan bintang-bintang digambarkan mengelilingi Gunung Meru tersebut sebagai perlambangan kekuasaan atas pusat alam semesta.
ADVERTISEMENT
Dalam ajaran agama Buddha konsep alam semesta memiliki beberapa perbedaan dengan ajaran agama Hindu, walaupun pusatnya tetap Gunung Meru yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan. Menurut ajaran agama Buddha, setelah daratan pegunungan sebagai dinding pembatas tempat tinggal Dewa, terdapat empat benua yang berada disetiap penjuru mata angin. Tempat manusia tinggal berada di benua sebelah selatan. Seluruh benua dilindungi oleh barisan pegunungan yang disebut dengan Cakrawala. Di puncak Meru terdapat surga bernama Sudrasana, tempat 33 Dewa tinggal, serta tempat Dewa Indra sebagai raja dari para dewa.
Konsep kosmogonis di Indonesia, tepatnya di Kerajaan Mataram Kuno, dijelaskan dalam prasasti Canggal. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Sanjaya telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitar Mataram. Selama Raja Sanjaya memerintah dengan berikat pinggangkan samudera dan berdada gunung-gunung, rakyat dapat tidur dengan tenang dan aman tanpa merasa takut akan bahaya. Gambaran tersebut memperlihatkan masyarakat percaya bahwa Raja Sanjaya adalah pusat alam semesta di Kerajaan Mataram sekaligus perwujudan dewa yang dikirim untuk mensejahterakan rakyat.
ADVERTISEMENT
Sumber : Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka.