Konten dari Pengguna

Menapak Tilas Perjanjian Renville dan Roem - Royem 1948 (Part II)

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
8 Februari 2017 22:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oktober 1947 - Awal dari eksistensi komisi jasa baik atas usulan Amerika Serikat yang disetujui Dewan Keamanan PBB guna menangani pertikaian antara Belanda dan Indonesia melalui perundingan dan mediasi.
ADVERTISEMENT
Pembentukan komisi jasa baik atau disebut dengan KTN (Komisi Tiga Negara) mengharuskan negara yang bertikai memilih satu negara pendamping yakni Indonesia - Australia, Belanda- Belgia, dan tentu saja Belgia - Australia dinaungi Amerika Serikat yang menjadi pemeran dalam KTN. Atas inisiatifnya, KTN memutuskan untuk menyeret permasalahan Indonesia - Belanda ke dalam meja perundingan. Belanda pun menyetujui cara KTN dan mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, akan tetapi Republik menolak dengan anggapan bahwa di Jakarta tidak ada kebebasan untuk menyatakan pendapat dan tidak adanya jawatan RI yang aktif, akbiat agresi militer.128
Berdasarkan pertimbangan kedua belah pihaknya, KTN memutuskan untuk melakukan perundingan di atas Kapal Angkutan Pasukan milik AL AS, USS Renville, yang dibuka pada 8 Desember 1947 dibawah pimpinan Herremas, Wakil Belgia di dalam KTN.133 Disaat itu pula, terbentuknya Kabinet Amir Syariffudin (di dalam Kabinet Pemerintahan Darurat RI 1948 - 1949) dengan Ali Sastromidjojo sebagai Wakil Ketua dan anggotanya dari dr Tjoa Siek Ien, Sutan Sjahrir, H. A. Salim, Mr. Nasrun, Ir. Djuanda, dan Setiadjit, serta 32 orang penasihat131 menjadi delegasi kabinet Republik di dalam menghadapi perundingan dengan Belanda.
ADVERTISEMENT
Selain daripada itu, dinamika Perjanjian Renville semakin memanas lantaran adanya usulan politik KTN yang membangkitkan semangat tinggi Belanda untuk mengajukan 12 prinsip politik terhadap Indonesia yang berindikasi mengamankan dan memperkuat posisi Belanda dengan konsekuensi apabila terjadi penolakan maka Belanda mengancam akan menolak untuk melanjutkan perundingan. Hal inlah yang semakin membuat dunia geram dan memanas sehingga KTN melalui Dr. Graham melakukan pengajuan 6 tambahan prinsip politik yang diantara 4 dari 6 point tersebut tertulis bahwa sesudah ditandatangani persetujuan politik akan diadakan plebesit yang dinaungi KTN dalam menentukan hasrat rakyat Indonesia untuk ikut ke Pemerintahan Republik dengan penjaminan kekuasaan dan kedaulatan negara yang diserahkan Belanda ke Negara Indonesia Federal tidak berubah dan tidak berkurang. Dan pada 17 Agustus 1948 ditandatangilah persetujuan gencatan senjata dan prinsip - prinsip politik yang setujui bersama dan disaksikan oleh KTN di atas Kapal Angkutan Pasukan AL AS, USS Renville.
ADVERTISEMENT
Begitupun dengan kehadiran Van Roem-Royem Statement (Perjanjian Roem - Royem) 1948 yang merupakan salah satu upaya nyata secara berkelanjutan atas penyelesaian konflik Indonesia - Belanda yang semakin mengkusut. Pengembalian Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakata, proses penyerahan kedaulatan dan kekuasaaan oleh Belanda ke Republik, dan pengutamaan gencatan senjata hingga penarikan pasukan Belanda menjadi inti point Perjanjian Roem - Royem guna memenuhi permintaan dan persyaratan Indonesia untuk ikut berpartisipasi di dalam Konferensi Meja Bundar, Den Haag. Dan pada 7 Mei 1948 Perjanjian Roem - Royem disetujui oleh kedua belah pihak melalui para delegasinya yakni Merle Cochran dari Belanda dan Mr. Moh. Roem dari Republik.
Sumber foto : artikel-pendidikan.blogspot.co.id