Mengenal Muhammad Bakir: Penyalin dan Pengarang Sastra Melayu di Tanah Betawi

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
14 November 2020 15:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku sastra. Sumber: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku sastra. Sumber: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-19 kegiatan kesastraan Melayu di Betawi (Batavia) sudah mulai produktif. Kegiatan itu berjalan terus meskipun belum ada penerbitan. Reproduksi karya sastra pada saat itu masih dalam bentuk tulisan tangan dan tidak diterbitkan dengan peralatan modern (mesin) seperti pada saat ini. Oleh sebab itu, seorang pengarang atau penyalin hanya mereproduksi satu judul karyanya dalam beberapa naskah saja yang jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.
ADVERTISEMENT
Salah seorang yang aktif dalam kegiatan itu adalah pengarang dan penyalin yang tinggal di Pecenongan, gang Langgar, Betawi. Ia adalah Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, yang lazim disingkat Muhammad Bakir.
Dia orang Betawi asli. Ayahnya dikenal dengan nama Syafian yang mempunyai nama kecil Cit. Ia adalah seorang pengarang juga. Dalam naskah-naskah, nama tersebut kadang dikenal dengan Cit Sapirin bin Usman bin Fadil. Kadang pula dikenal dengan Guri Cit bin Usman bin Fadil. Sapirin mempunyai tiga anak, yaitu Muhammad Bakir (anak pertama), Ahmad Beramka (anak kedua), dan Ahmad Mujarab (anak ketiga). Keterangan yang menyatakan Muhammad Bakir memiliki anak tertulis dalam kolofon Hikayat Maharaja Garebeg Jagat.
Sumber: kemdikbud.go.id
Muhammad Bakir memulai kariernya sebagai penyalin pada sekitar awal tahun 1880-an. Rata-rata naskah yang disaIinnya memiliki tulisan yang sangat rapi karena ia sangat teliti. Di beberapa bagian salinannya ia sering memasukkan kata-kata Arab. Oleh sebab itu, kita mendapatkan pesan bahwa ia pandai menulis, pandai berbahasa Arab, dan mempunyai pendidikan yang cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Sehari-hari, Muhammad Bakir tinggal bersama ibunya dan tidak mempunyai pekerjaan lain selain menulis. Itulah yang menjadi sumber nafkahnya sampai akhir abad ke-19. Dia menyalin karangannya sendiri atau karya kIasik lain sampai puluhan jilid. Pada tahun 1897 ia mengaku mempunyai tugas mengajar anak mengaji.
Selain menyalin naskah, Muhammad Bakir juga dapat dikatakan sebagai pemilik naskah. Dalam beberapa naskah, membuat daftar naskah yang dimilikinya, yang juga disewakan. Peryataan itu dimuat dalam Hikayat Maharaja Garebeg Jagat.
Sumber: uinjkt.ac.id
Selain itu, tercatat pula tiga naskah lain yang dihasilkannya yaitu Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak, dan Hikayat Sultan Taburat II. Naskah-naskah miliknya itu memang dipinjamkan dan penyewaan naskah itu menjadi salah satu mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. Semua naskah yang menjadi miliknya tersebut diberi tanda tangan, yang merupakan ciri khasnya. Pembaca yang ingin meminjam dan menikmati naskah harus membayar 10 sen sehari. Peminjam naskah Muhammad Bakir adalah masyarakat Betawi yang tinggal di kota Betawi. Teuku Iskandar (1981) menyebutkan 11 kampung tempat penyebaran naskah Muhammad Bakir.
ADVERTISEMENT
Peminjam naskahnya kebanyakan orang-orang yang berada dalam lapisan sosial kelas bawah. Naskah-naskah itu, terutama dibaca untuk memperoleh hiburan. Selain itu, naskah juga dapat digunakan sebagai ajaran. Karena ada kegunaanya, banyak pembaca yang menyewa naskah itu. Naskah-naskah tersebut dipinjam di tempat peminjaman milik Muhammad Bakir. Tempat tersebut dipakai sebagai tempat pertemuan antara pembaca dan pengarangnya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Muhammad Bakir banyak menyalin cerita-cerita wayang dan cerita romantis.
Karena pembaca harus menyewa naskah yang dipinjam darinya, Muhammad Bakir pun mempunyai beban moral yang tinggi. Oleh karena itu, dalam naskahnya ia sering merendahkan diri dan meminta maaf jika naskah salinannya mengecewakan.