Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membaca Sejarah 'Nyai' dan 'Gundik' pada Masa Kolonial
16 Januari 2017 16:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bahwa ia dijual dari tangan ke tangan
Hingga dijauhi oleh semua orang, Ia pun meninggal di dalam kota
ADVERTISEMENT
Anak kampung berambut pirang....
Sebutan ‘Nyai’ utamanya dalam masyarakat Sunda, Bali, dan Jawa digunakan untuk memanggil ‘perempuan (muda), atau adik perempuan’, dan juga dipakai sebagai istilah panggilan, bahkan hingga saat ini pun panggilan tersebut masih digunakan.
Akan tetapi, ada yang membuat hati terenyuh ketika berbicara 'Nyai' pada masa Kolonial.
Kata 'Nyai' adalah sebutan bagi seorang perempuan pengatur rumah tangga serta juga milik dari seorang pria Eropa. Selain mengatur rumah tangga, 'Nyai' juga memenuhi kebutuhan seks laki-laki Eropa dan menjadi ibu dari hasil hubungan tersebut.
Kalau diartikan, pergundikan atau gundik adalah istri orang terhormat yang tidak resmi, perempuan peliharaan, atau selir. Karena banyaknya gundik yang berasal dari Bali, maka istilah 'Nyai' berkembang menjadi sebutan bagi gundik-gundik laki-laki Eropa.
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda pergundikan masih kerap terjadi di kalangan laki-laki Eropa. Terlepas dari itu, pergundikan menjadi suatu budaya yang diwarisi sejak masa kekuasaan VOC Hingga berlanjut ke masa Hindia-Belanda.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kehidupan seorang 'Nyai' tetaplah memilukan, karena pergundikan merupakan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar dasar-dasar agama, sehingga seorang 'Nyai' sering dikucilkan dan dianggap rendah oleh pribumi.
Belum lagi kalau para 'Nyai' itu ditinggalkan oleh orang-orang Kolonial yang kembali ke negaranya.