Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perjuangan Pasukan Aljazair Menghadang Invasi Prancis pada 1830-1847
17 Agustus 2018 19:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 1830, banyak orang Prancis yang merasa jenuh dengan pemerintahan Raja Charles X. Hal itu disebabkan karena banyak merugikan rakyat dan terkesan tidak melakukan pergerakan apapun yang dirasa penting. Sebagian rakyat Prancis bahkan merindukan masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Masa di mana Prancis menjadi negara yang dihormati, sekaligus ditakuti karena kemampuan militernya.
ADVERTISEMENT
Menyadari ketidakpuasan dari rakyat tersebut, Charles X mencoba mengirimkan 37.000 tentara Prancis ke wilayah Afrika Utara pada Juni 1830. Pasukan itu diperintahkan menaklukan kota Aljazair, dan berhasil dilaksanakan pada 5 Juli 1830.
Namun, percobaan penaklukan itu tidak berhasil menyelamatkan reputasi Raja Charles X. Ia pun akhirnya diturunkan dari takhtanya oleh rakyat Prancis pada Juli 1830. Kekuasaan Prancis pun diberikan kepada keponakan Charles X, Louis Philippe, yang merupakan bangsawan Orleans.
Raja baru itu melanjutkan kegiatan invasi Prancis di wilayah Aljazair pada 9 Maret 1831. Ia menandatangani sebuah perintah yang melahirkan “Ia Legion Etrangere”, dikenal juga sebagai Legiun Pasukan Asing Prancis.
Dengan luas hampir empat kali lipat wilayah Prancis, Aljazair memiliki sejarah panjang mengenai konflik antar suku di wilayah itu. Untuk melawan invasi Prancis, seorang pemimpin tangguh pun muncul, yaitu Abd al-Qadir.
ADVERTISEMENT
Ia adalah seorang pemimpin Muslim dan emir dari Mascara. Abd al-Qadir memimpin orang-orang Aljazair, yang berasal dari berbagai suku untuk menyerang pasukan Prancis di Oran dan Mostaganem pada 1832 sampai 1834. Prancis mengakui kepemimpinan al-Qadir, dan bersedia menandatangani perjanjian Desmichels untuk menyerahkan kekuasaan atas wilayah dalam negeri Oran.
Ekspansi Prancis kembali dilakukan antara tahun 1835 sampai 1837, menghasilkan perang kedua. Legiun Asing Prancis dan pasukan reguler Prancis berperang dalam banyak pertempuran melawan suku-suku pendukung al-Qadir.
Perjanjian Tafna pun dibuat untuk mengakhiri perang kedua antara Prancis dengan Aljazair. Prancis lalu menyerahkan sebagian besar wilayah pedalaman untuk al-Qadir, sementara Prancis mendapat beberapa bagian pelabuahn di pantai Afrika Utara.
Pada Desember 1840, Jenderal Thomas R. Bugeaud mengambil alih pasukan Prancis di Aljazair. Bugeaud berhasil mengusir pasukan al-Qadir ke wilayah Maroko. Abd al-Qadir sangat cakap dalam menyusun strategi perang, dan ia pun bukanlah orang yang mudah menyerah. Selama di Maroko, al-Qadir menyusun kembali pasukannya dan mengajak orang-orang Maroko untuk bergabung.
ADVERTISEMENT
Jenderal Bugeaud dan Abd al-Qadir kembali bertemu pada Perang Isly yang berlangsung di bagian timur Maroko pada 14 Agustus 1844. Perang itu akhirnya dimenangkan oleh Prancis, dan beberapa pertempuran kecil terjadi setelahnya.
Abd al-Qadir menyerahkan diri untuk mengindari konflik berkepanjangan, yang akan menyengsarakan rakyat Maroko dan Aljazair. Namun penyerahan diri itu ternyata memberikan semangat yang lebih besar bagi pasukan Aljazair untuk melawan pasukan Prancis.
Sumber: Crompton, Samuel Willard. 2007. 100 Peperangan yang Berpengaruh di Dalam Sejarah Dunia. Tanggerang : Karisma
Foto: commons.wikimedia.org