Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pernikahan Keluarga Kerajaan di Mesir Kuno
10 Januari 2019 18:04 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa kisah sejarah menyebut bahwa pernikahan antara Ramses Agung dengan istrinya, Nefertari, merupakan bukti cinta sejati di dalam keluarga kerajaan dari peradaban Mesir Kuno. Namun, bisa dipastikan bahwa hal itu salah, dan tidak mampu menjadi contoh bagi kebudayaan Mesir.
ADVERTISEMENT
Sejak masa dinasti ke-13, sekitar tahun 1.800 SM, seorang raja harus memperistri banyak wanita, bahkan jumlahnya mencapai ratusan. Peringkat dari istri itu pun menjadi permasalahan politik tersendiri bagi seorang firaun dan kerajaannya, karena hanya ada satu wanita yang akan mendapat gelar Permaisuri Agung.
Praktek pernikahan bangsa Mesir Kuno itu sangat dipengaruhi oleh legenda Osiris dan Isis. Osiris adalah dewa besar, dan firaun pertama yang menikahi saudarinya, Isis. Menurut kisah, keduanya turun ke bumi untuk mendidik, memberi peradaban, dan mengajari manusia kebijaksanaan, serta keagungan para dewa.
Dengan menikahi saudarinya, Osiris dapat memastikan bahwa sifat kedewaan yang dimilikinya dapat diturunkan kepada seluruh firaun setelahnya, dan tetap terjaga kemurniannya. Oleh karenanya, para firaun tidak ragu-ragu untuk memperistri saudarinya sendiri, baik sedarah ataupun tidak.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, para firaun tidak harus memilih saudari kandungnya, bisa dari kerabatnya, atau siapapun yang masih satu keturunan. Namun, umumnya mereka lebih memilih saudara sedarah karena menganggap hal itu lebih murni.
Walau demikian tidak semua firaun melakukan pernikahan sedarah, beberapa firaun yang memperistri saudarinya, di antaranya Seqenenre Tao II, Ahmose I, Amenophis I, Tuthmosis I, Tuthmosis IV, Ramses II, Marenptah, dan Siptah.
Bahkan ada beberapa raja yang menikahi putrinya sendiri, seperti Amenophis II, dan Akhenaten. Sementara itu, Ramses menikahi tiga putrinya sendiri.
Mungkin banyak orang yang bertanya mengenai degenerasi genetik yang terjadi ketika mereka melakukan praktek seperti itu. Para ahli mengira bahwa kelainan keturunan pasti akan terjadi, namun mengingat jumlah istri firaun sangatlah banyak, mereka yang memegang kekuasaan selanjutnya pasti akan dipilih dari anak-anak terbaik. Sehingga tidak selalu putra keturunan raja dari istri sedarah yang akan memegang kekuasaan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari masalah pernikahan di dalam keluarga kerajaan, bagi masyarakat Mesir, pernikahan merupakan kontrak sipil, bukan agama. Kontrak tersebut memberikan perlindungan bagi wanita yang telah diperistri.
Pernikahan sedarah terus berlanjut hingga Mesir memasuki periode Yunani-Mesir, sekitar tahun 305 SM, yang dikuasai oleh Ptolemaeus, salah seorang jenderal Alexander The Great. Sampai berakhirnya dinasti itupun, terlihat umum bagi para firaun keturunan Ptolemaeus menikahi saudarinya dan mereka memerintah negeri berdua.
Sumber: Montefiore, Simon Sebag. 2012. Pahlawan dalam Sejarah Dunia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Foto: commons.wikimedia.org