Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Proses Pembuatan Kapal Maluku dalam Naskah Bangsa Portugis Tahun 1544
3 Februari 2018 21:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah naskah Protugis tentang sejarah Maluku yang ditulis oleh Antonio Galvao sekitar tahun 1544, diterbitkan untuk pertama kali tahun 1971 oleh H. Jacobs, S.J. Dalam naskah tersebut dijelaskan mengenai cara orang Maluku membuat kapal yang khas, yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Maluku.
ADVERTISEMENT
Menurut Galvao, kapal yang dibuat oleh masyarakat Maluku kedua ujungnya melengkung ke atas dengan bagian tengah kapal berbentuk seperti telur. Bentuk kapal memungkinkan untuk berlayar kearah depan dan belakang secara bersamaan tanpa perlu memutar kemudi kapal. Kapal-kapal yang dibuat tidak diberi paku atau dempul ketika membentuk badan kapal. Untuk merekatkan kapal, masyarakat menggunakan tali ijuk yang dimasukkan ke dalam lubang di beberapa bagian tertentu. Pada bagian haluan akan dibuat ukiran berbentuk ular dengan kepala naga yang bertanduk seperti kijang.
Setelah bagian utama kapal selesai, akan diletakkan sekitar sepuluh buah kayu yang diletakkan melintang di lambung kapal sebagai penunjang agar kapal tidak mudah terisi oleh air dan untuk menstabilkan posisi kapal di air. Proses peletakan balok-balok kayu tersebut dinamakan ngaju. Secara bentuk, balok-balok kayu dalam proses ngaju akan menonjol ke luar badan kepal sepanjang 30 cm. Di atas ngaju, sejajar dengan kapal akan diletakkan barisan bambu yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi para pendayung, terpisah dari para pendayung yang ada di dalam lambung kapal.
ADVERTISEMENT
Di atas ngaju dibuat pula geladak kapal yang lantainya lebih tinggi terbuat dari rotan, dinamakan baileo. Bentuknya bilik-bilik yang ditutup dengan tikar, disebut kakoya, sebagai tempat berteduh terhadap panas matahari dan hujan, Setiap badan kapal dikibarkan bendera kerajaan, biasanya terbuat dari bulu ekor ayam jantan. Baileo yang posisinya lebih tinggi digunakan sebagai tempat raja dan para menteri berlayar. Sedangkan putra-putra raja, atau pangeran kerajaan akan ditempatkan di geladak bersamaan dengan para pedayung. Bagi para pangeran keadaan seperti itu adalah sebuah kehormatan dan bentuk dari pengabdian terhadap raja.
Sumber : Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.
Foto : flickr.com